tirto.id - Warna sekunder merupakan salah satu konsep dasar dalam teori warna yang sangat penting untuk dipahami, terutama dalam bidang seni rupa, desain grafis, hingga fashion.
Menurut Sir David Brewster, seorang ilmuwan asal Skotlandia yang mengembangkan teori warna berbasis tiga warna primer RYB (Red, Yellow, Blue), warna-warna lain dapat dihasilkan melalui proses pencampuran.
Berdasarkan teori ini, warna sekunder adalah hasil dari pencampuran warna primer dalam proporsi tertentu.
Dalam dunia seni dan desain, memahami warna sekunder sangatlah penting. Tidak hanya sebagai pelengkap dalam palet warna, tetapi juga dalam menciptakan harmoni visual.
Lantas, apa sebenarnya warna sekunder itu? apa saja contoh warna sekunder? serta bagaimana pencampuran warna sekunder dapat dilakukan?
Apa itu Warna Sekunder?
Sebelum membahas lebih dalam mengenai warna sekunder, penting untuk memahami bahwa dalam teori warna tradisional, semua warna yang kita lihat dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok utama: warna primer, warna sekunder, dan warna tersier.
Dilansir dari laman Adobe, warna primer adalah warna dasar yang tidak dapat dihasilkan dari pencampuran warna lain.
Dalam sistem warna tradisional RYB (Red, Yellow, Blue), warna primer merupakan fondasi untuk membentuk warna-warna lainnya.
Sistem ini didasarkan pada persepsi visual manusia yang bersifat trikomatik—artinya mata manusia mampu mengenali spektrum warna berdasarkan tiga warna dasar tersebut.
Sementara itu, warna sekunder adalah warna yang dihasilkan dari pencampuran dua warna primer dalam jumlah yang seimbang.
Pada roda warna tradisional, warna sekunder terdiri dari warna yang terletak di antara warna-warna primer.
Misalnya, merah dan kuning menghasilkan oranye, merah dan biru menghasilkan ungu, serta biru dan kuning menghasilkan hijau.
Inilah dasar dari pencampuran warna sekunder yang digunakan secara luas dalam seni rupa dan desain.
Dalam konteks digital, terutama pada model warna RGB (Red, Green, Blue), terdapat versi lain dari warna sekunder yang disebut sebagai warna aditif.
Contohnya, biru dan hijau membentuk cyan, biru dan merah membentuk magenta, dan biru serta kuning tetap membentuk hijau.
Namun, dalam pembahasan kali ini, kita akan fokus pada teori warna tradisional RYB (Red, Yellow, Blue) yang dikembangkan oleh Sir David Brewster.
Dengan memahami pengelompokan warna berdasarkan roda warna, kita dapat lebih mudah mengenali bagaimana warna sekunder terbentuk dan bagaimana peranannya dalam membangun harmoni visual.
Contoh Warna Sekunder
Dalam dunia seni dan desain, contoh warna sekunder sangat sering digunakan sebagai bagian dari eksplorasi estetika dan fungsi visual.
Ketiga warna sekunder terdiri dari warna hasil pencampuran primer yang sudah ditentukan sejak lama dalam teori warna klasik.
Menurut buku Seni Rupa Jilid 1 untuk SMK Kelas X yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, warna sekunder terdiri dari warna hijau, jingga (oranye), dan ungu.
Warna-warna ini terletak di antara warna primer pada lingkaran warna dan memiliki peran penting dalam menciptakan harmoni visual dalam karya seni.
Berikut adalah tiga warna sekunder utama beserta penjelasannya:
1. Hijau
Hijau adalah warna sekunder yang dihasilkan dari pencampuran warna biru dan kuning. Warna ini sering dikaitkan dengan kesan alami, segar, dan harmonis. Dalam desain grafis, hijau digunakan untuk menyampaikan ketenangan, keseimbangan, dan pertumbuhan.2. Ungu
Ungu merupakan hasil dari pencampuran warna merah dan biru. Warna sekunder ini sering diasosiasikan dengan kemewahan, kreativitas, dan misteri. Dalam pencampuran warna sekunder, ungu bisa hadir dalam berbagai gradasi tergantung pada proporsi warna primer yang digunakan.3. Oranye
Oranye terbentuk dari campuran warna merah dan kuning. Warna sekunder menggambarkan energi, semangat, dan kehangatan. Dalam dunia seni rupa, oranye banyak digunakan untuk menambahkan kesan dinamis dan hangat pada karya visual.Bagaimana Cara Menghasilkan Warna Sekunder?
Untuk menghasilkan warna sekunder, dibutuhkan pemahaman tentang dasar pencampuran warna primer.
Proses pencampuran warna sekunder bisa dilakukan secara manual, misalnya menggunakan cat atau pigmen, atau secara digital melalui aplikasi desain grafis seperti Adobe Photoshop, Illustrator, atau Figma.
Dalam dunia seni rupa tradisional, proses pencampuran warna menggunakan prinsip subtraktif—yaitu pencampuran pigmen warna.
Ketika dua warna primer dicampurkan, mereka menyerap (mengurangi) panjang gelombang cahaya tertentu dan memantulkan warna baru yang tampak oleh mata. Inilah dasar terbentuknya warna sekunder.
Menurut buku Seni Rupa: Menjadi Sensitif, Kreatif, Apresiatif, dan Produktif Jilid 1 (2008) terbitan Departemen Pendidikan Nasional, warna sekunder dapat dihasilkan dengan mencampurkan dua warna primer dalam perbandingan 1:1, atau seimbang.
Sementara itu, dalam desain grafis digital, pencampuran warna mengikuti prinsip additive color mixing—yaitu pencampuran cahaya.
Model warna RGB (Red, Green, Blue) digunakan di layar komputer, dan pencampuran dua warna primer cahaya akan menghasilkan warna sekunder seperti cyan, magenta, dan kuning.
Namun, dalam konteks teori warna tradisional RYB (Red, Yellow, Blue), berikut adalah hasil pencampuran manual yang paling umum:
- Hijau: Dihasilkan dari campuran biru dan kuning dalam takaran seimbang.
- Ungu: Diperoleh dari campuran merah dan biru. Proporsi yang berbeda akan menghasilkan variasi ungu, seperti ungu tua (lebih banyak biru) atau ungu muda (lebih banyak merah).
- Oranye: Terbentuk dari campuran merah dan kuning. Jika merah lebih dominan, oranye akan cenderung gelap; jika kuning lebih dominan, oranye menjadi lebih terang.
Oleh karena itu, eksperimen dan latihan visual sangat penting agar seniman maupun desainer dapat menguasai nuansa warna dengan baik.
Pemahaman tentang pencampuran warna sekunder ini tidak hanya penting dalam industri kreatif, tetapi juga telah dikenalkan sejak dini melalui pelajaran seni rupa di sekolah dasar.
Tujuannya adalah untuk melatih kepekaan estetis siswa, serta memperkenalkan mereka pada logika visual yang akan terus mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.
Editor: Robiatul Kamelia & Yulaika Ramadhani