Menuju konten utama

Hikayat Penutur Visual

Wahyu Aditya tahu, bahwa ia dilahirkan untuk menjadi seorang penggambar. Bermula dari taruhan, ia kemudian memilih menjadi pendongeng visual untuk jalan hidup. Bagaimana akhirnya ia bisa membuat festival visual digital terbesar di Asia Tenggara dan bagaimana ia melihat kondisi industri kreatif Indonesia hari ini?

Hikayat Penutur Visual
Wahyu Aditya[Gambar/Sabit]

tirto.id - “Sebentar, ya, saya mau jemput anak dulu,” kata Wahyu Aditya ketika ditemui di Tebet, pekan lalu. Ia mengenakan kaus hitam dengan celana kain dan sepatu kanvas tipis. Mas Waditya, begitu ia disapa, membuka jok bagasi vespa miliknya dan mengeluarkan jaket warna hijau terang. Jakarta baru saja hujan, beberapa ruas jalan basah, tapi pukul satu siang tak membuat udara menjadi lebih segar.

Setelah menunggu kira-kira 30 menit Mas Waditya datang, sendiri, dan mempersilakan saya masuk ke salah satu ruangan tempat ia bekerja. Ruangan berdinding kayu berwarna merah yang bergambar karakter dari seniman The Popoh. Kami lantas berbincang tentang berbagai hal, bagaimana industri kreatif hari ini, tentang mengenalkan masyarakat kepada desain grafis, sampai obsesi personal dengan pendidikan.

Mas Waditnya mengaku persinggungannya dengan dunia visual melalui kebetulan. Ia ingat betul momennya. Ia ikut lomba menggambar di kota Malang saat kelas 1 SD karena tantangan saudaranya. Siapapun yang menang lomba akan diberi mainan oleh pihak yang kalah. Ternyata Mas Waditya menang. Bukan soal kemenangan yang membuat Mas Waditya senang. Ia merasa bahwa ada penghargaan dan apresiasi terhadap dirinya, bahwa ia punya sesuatu untuk dibanggakan.

"Orang merasa terhibur dengan visual yang saya buat, merasa mendapatkan inspirasi baru dari karya visual. Itu yang membuat saya suka menggambar sampai sekarang," katanya.

Sejak itu kecintaan Mas Waditya terhadap dunia grafis dan seni visual terus. Sejak SD sampai SMA ia banyak menghabiskan waktu menggambar. Mata pelajaran favoritnya selama ini adalah kesenian dan istirahat. Setelah lulus kuliah dan diterima bekerja, kecintaannya terhadap dunia seni visual semakin berkembang.

“Ketika saya diterima kerja, di sebuah stasiun TV swasta, saya tidak melamar, tapi dilamar karena karya animasi saya,” katanya.

Melalui pekerjaannya itulah Mas Waditya merasa menemukan orang-orang yang satu visi, yang bisa menghargai karyanya. Namun lama-lama Mas Waditya menyadari bahwa apresiasi terhadap karya kadang tidak memadai.

“Masih banyak doktrin bahwa dunia visual sama dengan dunia seniman yang tak jelas dan tak seperti profesi lain. Konotasi itu yang ingin saya dobrak,” katanya.

Kerja ini tentu tidak mudah, saat Mas Waditya mulai bekerja sebagai desainer apresiasi terhadap seniman grafis masih belum sebesar saat ini. Internet mendorong berkembangnya kebutuhan terhadap desainer grafis. Perkembangan industri media yang menghasilkan konten yang membutuhkan elemen visual membuat desainer dicari banyak perusahaan.

“Pekerjaan membuat konten visual itu membutuhkan penguasaan dua komponen minimal yaitu desain dan story telling,” katanya. Itulah mengapa pia yang lahir di Malang pada 4 Maret 1980 ini menyebut dirinya sebagai visual story teller. Macam-macam medium yang ia gunakan untuk bercerita, dari animasi, komik dan film pendek.

Menariknya ia percaya, saat ini desain tak lagi ekslusif milik seniman. Siapapun yang mau belajar dan punya konsistensi bisa menjadi desainer yang baik.

Salah satu keinginan Mas Waditya, bila tak mau disebut obsesi, adalah melakukan edukasi terkait seni visual, tepatnya desain grafis.

“Kuncinya ada pada edukasi,” katanya. Sudah banyak infografis atau gambar yang bisa menjelaskan ke publik atau ke klien tentang kerja desain grafis. Selanjutnya edukasi melalui pendidikan formal perlu ditingkatkan. Itulah mengapa ia menganggap apresiasi masyarakat umum perlu ditingkatkan.

“Seperti yang saya lakukan melalui Helo Fest, salah satu tujuannya untuk mengeksposure karya-karya yang hanya dinikmati kalangan tertentu agar bisa muncul di publik,” kata Mas Waditya.

Infografik Wahyu Aditya

HelloFest merupakan festival film pendek terbesar se-Asia Tenggara yang menggunakan konsep menonton film secara massal dengan menggabungkan kegiatan berkesenian. Mas Waditya berharap HelloFest bisa mempertemukan kreator konten dan penontonnya. Dari situ kreator bisa menceritakan proses pembuatan karya dan berbagi pengalaman dengan peserta.

“Untuk mengedukasi (tentang desain grafis dan animasi), tak bisa sendirian. Kita harus bareng-bareng,” katanya

HelloFest pertama diselenggarakan pada 2004, berlangsung di sebuah ruko dua lantai dibilangan Tebet. Selama 11 tahun, HelloFest terus menunjukan konsistensinya dalam menyelenggarakan festival film pendek yang menyatukan semua segi kreativitas, mulai desain komunikasi visual hingga musik. Ia menganggap pekerja kreatif butuh panggung agar karyanya bisa dilihat dan diapresiasi lebih luas.

“Orang bisa nonton film (atau karya lain) tidak di bioskop yang berkapasitas 100-200 orang, tapi minimal 1.000 orang,” katanya. Ia percaya dengan jumlah penonton yang banyak maka para seniman akan terpacu untuk membuat karya yang lebih baik. Pada Hello Fest edisi terakhir, sampai 500 film pendek yang didaftarkan.

Mas Waditya percaya bahwa adaptasi adalah kunci sebuah program agar bisa terus berkembang. Perkembangan teknologi memberi ruang untuk itu. Jika film pendek dulu berdurasi lima sampai 10 menit maka sekarang bisa berdurasi sekian detik.

“Kami juga membuat kategori film delapan detik pas, ada dua ratus film yang diajukan,” katanya.

Mas Waditya tidak hanya berhenti di Hello Fest. Ia sendiri sebelumnya telah mendirikan HelloMotion Academy, lembaga pendidikan non formal untuk memberikan pengetahuan dasar dan teknik dasar desain. HelloMotion mengajarkan orang agar bisa berpikir kreatif. Sudah lima ribuan lulusan HelloMotion yang bergerak di industri kreatif. Perkembangan itulah yang mendorong Mas Waditya membuat sekolah formal setingkat SMA yang akan fokus pada pengembangan industri kreatif.

Pendirian SMA ini berkaca pada pengalaman pribadinya selama masa sekolah. Ia merasa sekolah menjadi menarik karena bisa bertemu dengan pembacanya. Ia menyebut dinding sekolah dan lapangan basket adalah medium tempat berkarya dan menggambar.

Bertahu-tahun, setelah ia cukup lama menyelesaikan SMA, Mas Waditya mengaku pernah bertemu dua orang tua yang berkisah betapa anaknya hanya suka menggambar dan tidak mau belajar. Ia pun ingat dirinya di masa silam.

“Saya melihat orang-orang seperti saya ternyata masih banyak,” katanya.

Perlu pendekatan baru untuk mengakomodasi anak-anak sekarang yang punya minat pada seni visual. Pasalnya, menurut Mas Waditya, zaman sekarang memiliki tantangan yang berbeda dengan generasinya. Mulai teknologi, kesempatan, dan ruang berekspresi.

Kemajuan teknologi mestinya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Para orang tua mesti lebih terbuka memandang jenis-jenis pekerjaan baru, termasuk desainer, sedangkan para anak muda perlu memaksimalkannya untuk menghasilkan konten-konten visual yang baik. Meski demikian ia berharap generasi hari ini bijak memanfaatkan teknologi.

“Karena media ini kalau disalahgunakan atau salah penggunaan akan jadi bumerang. Untuk itu perlu ada literasi digital,” katanya.

Ia percaya bahwa tak semua hal perlu ditunjukkan dan disampaikan di media sosial. Mas Waditya melihat ada profesi baru seperti youtuber, vlogger, dan sosial media influence sebagai kesempatan kerja yang sama sekali baru. Perbedaan generasi ini perlu dijembatani oleh institusi pendidikan agar bisa melahirkan pekerja kreatif yang mumpuni.

“Selama ini institusi pendidikan dan industri tak nyambung. Pendidik mesti merespon hal ini,” katanya.

Baca juga artikel terkait WADITYA atau tulisan lainnya dari Arman Dhani

tirto.id - Humaniora
Reporter: Arman Dhani
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS

Artikel Terkait