tirto.id - Dunia priayi begitu melekat pada diri Umar Kayam. Ini bukan saja karena ia lahir dari kalangan tersebut, tapi juga lantaran salah satu fokus tulisan-tulisannya adalah kehidupan priayi beserta segala persoalannya, termasuk hubungannya dengan lapisan sosial wong cilik.
Itu diperlihatkan dengan kuat dalam Para Priyayi dan sekuelnya, Jalan Menikung—dua novelnya yang termasyhur. Pengetahuan tentang dunia priayi yang kuat ia tunjukkan pula dalam kolom-kolomnya di harian lokal Yogyakarta Kedaulatan Rakyat. Kumpulan kolom tersebut kemudian dibukukan menjadi empat jilid: Mangan Ora Mangan Kumpul (1995), Sugih Tanpa Banda (1994), Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1997), Satrio Piningit ing Kampung Pingit (2000).
Mengetengahkan beragam persoalan yang dibahas dengan ringan dan senda gurau, Kayam melebarkan ulasannya tentang dunia priayi. Kolom-kolom yang ditulis dalam rentang waktu penerbitan novela Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dan Para Priyayi (1992) ini pun terbilang unik karena Kayam menggunakan unsur-unsur dramatik seperti penokohan, setting, plot, dan dialog dalam narasinya.
Tapi, pilihan itu bukanlah kepura-puraan ataupun kegenitan.
“Satu hal jelas,” tulis Goenawan Mohamad dalam kata pengantar Mangan Ora Mangan Kumpul, “Umar Kayam tidak pernah berpura-pura ‘populer’. Ia tidak pernah mengambil pose seorang pintar yang merendah-rendah secara palsu seperti juru penerang yang punya siasat agar bisa dijangkau orang banyak. Setiap tulisan dalam Mangan Ora Mangan Kumpul ini adalah cerminan suatu pendekatan ramah yang otentik, tanpa siasat ini dan itu.”
Otentik karena Umar Kayam “tidak mengambil jarak (lebih tinggi atau lebih rendah) dengan pembacanya,” lanjut Goenawan Mohamad. Sayangnya, ketiadaan jarak ini pula yang mungkin membuat pembaca di luar penutur bahasa Jawa mengalami kesulitan. Karena kolom-kolom ini dipenuhi oleh kata dan frasa bahasa Jawa.
Begitu pula dengan kalangan wong cilik, lumayan sulit pula menangkap secara penuh kolom-kolom ini karena Umar Kayam spontan memuntahkan istilah-istilah asing.
“Tentunya jika wong cilik masa kini diartikan sebagai lapisan masyarakat yang oleh bangsa Inggris disebut uncultured atau unlettered, yang tidak mampu menghayati kebudayaan adiluhung,” tulis Sapardi Djoko Damono dalam pengantar Sugih Tanpa Banda.
Persoalan-persoalan yang dibahas Kayam dalam kolom-kolomnya sangat beragam mulai dari makanan, gaya hidup, politik, ekonomi, kebudayaan, termasuk sepakbola.
Membicarakan Sepakbola
Saya tak tahu adakah Umar Kayam dalam hidupnya menggemari sepakbola. Yang saya tahu, alter ego Kayam, Pak Ageng, tokoh sekaligus narator kolom-kolomnya, sering menyempatkan diri menonton bola. Bahkan ketika waktu siaran bola dini hari. Tak hanya itu, Pak Ageng pun sering terlibat percakapan mengenai bola bersama batur-nya, Mister Rigen, yang juga gila bola.
Menurut pengakuannya sendiri, Pak Ageng semasa sekolah dasar di Solo pernah menjadi anggota dua klub bal-balan. Di sekolah ikut perkumpulan O(nze) V(oetbal) C(lub) dan di kampung menjadi anggota B(romantakan) V(oetbal) C(lub). Kendati ia hanya menjadi pemain “cadangan abadi” dan bertugas sebagai “tukang kepruk es prongkol” untuk dibagikan pada pemain saat turun minum.
Umumnya, tulisan kolom dibuka lewat deskripsi atau obrolan mengenai sepakbola luar negeri, baik liga-liga Eropa, Piala Eropa, maupun Piala Dunia. Setelah itu barulah suara-suara kritik terhadap kondisi sepakbola Indonesia merembes dari percakapan antara tuan dan pembantunya itu.