tirto.id - 10 Oktober 2012, sekitar pukul empat dinihari di Tokyo, seorang perempuan meninggalkan sebuah bar. Ia berjalan dan menunduk dan sebuah buku didekapnya di dada. Seorang reporter koran Mainichi menghampiri dia. “Saya senang sekali pemenangnya orang Asia,” kata perempuan itu. Ia bicara tentang Nobel Sastra yang penerimanya baru saja diumumkan.
Menurut situs judi Inggris Ladbrokes, peluang terbesar untuk memenangi Nobel Sastra tahun itu, yakni 10/1 atau 9,09 persen, dipegang oleh Haruki Murakami, pengarang asal Jepang yang karya-karyanya amat populer di kalangan pembaca remaja dan dewasa muda di seluruh dunia. Sebagai pembanding, Ian McEwan, novelis besar Inggris yang mendapat Man Booker Prize tahun 1998, dianggap berpeluang 50/1 atau 1,9 persen saja.
Perempuan yang keluar dari bar itu adalah seorang Harukis atau pengagum berat Haruki Murakami. Ia dan kawanannya berkumpul untuk sebuah kemenangan besar. Mereka menyiapkan anggur dan bir dan, mungkin, beberapa gerakan akrobatik buat melipatgandakan kegembiraan saat sang idola dinyatakan sebagai laureat Nobel. Tapi pesta itu layu sebelum berkembang. Roland Kelts menulis di The New Yorker: “Juaranya adalah Mo Yan, seorang penulis Cina, dan para Harukis yang getun hanya bisa mendesah dan memberi tepuk tangan ala kadarnya buat keberhasilan tetangga mereka.”
Pada 14 April 2016, sekitar pukul delapan malam di Yogyakarta, seorang pria membuka tautan yang terpacak dalam sebuah retweet. Tautan itu membawanya ke laman berisi daftar pendek (shortlist) calon penerima Man Booker International Prize. Satu dari dua orang penulis kesukaannya yang berada dalam daftar panjang (longlist) penghargaan itu tidak lolos. Ia kembali ke Twitter dan mengirim sebuah tweet: “Man Tiger Eka Kurniawan nggak masuk shortlist Man Booker. Nggak apa-apa.”
Pria itu bernama Bernard Batubara, seorang penulis sekaligus pengagum berat karya-karya Eka Kurniawan. “Walaupun dia nggak lolos, aku sudah cukup senang,” kata Bernard. Penghargaan yang ditaja Man Group—korporasi di bidang manajemen investasi asal London—sejak 2005 itu adalah salah satu penghargaan paling bergengsi untuk bidang kesusastraan, hanya setingkat di bawah Nobel Sastra.
Bernard mengaku tidak terkejut sewaktu tahu Man Tiger, terjemahan novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, masuk daftar panjang Man Booker International Prize tahun ini. Ia sudah menduganya. “Aku bahkan tidak terkejut seandainya, katakanlah, lima tahun lagi Eka jadi salah seorang nomine Nobel Sastra,” katanya. Menurut Bernard, Eka Kurniawan telah berdiri di langkan yang sama tinggi dengan pengarang-pengarang terbaik dunia saat ini.
Sejak penerbitan Man Tiger dan Beauty Is a Wound—terjemahan Inggris Cantik itu Luka masing-masing oleh VersoBooks dan New Directions, Eka Kurniawan memang banyak dibicarakan di dunia kesusastraan berbahasa Inggris. Kedua novel itu dan profil sang pengarang berkali-kali dibahas di media-media besar dan berpengaruh seperti The Economist, New York Times, Le Monde, dan Publishers Weekly. Eka juga berkesempatan menyampaikan gagasan-gagasan dan pengalaman membacanya, serta memberikan informasi tentang sastra Indonesia kepada Electronic Literature, BOMB Magazine, dan sejumlah media lain dalam sejumlah wawancara.
Nada tulisan-tulisan itu hampir seluruhnya mengesankan kegembiraan dan, sampai taraf tertentu, ketakjuban. Mereka bicara seperti pengelana pulang kampung: telah kami temukan seorang pengarang dahsyat dari tempat yang selama ini hanya saudara-saudara lihat sambil lalu. Ia adalah penerus Pramoedya Ananta Toer, pengarang besar yang sepertinya kita pernah tahu, tetapi menulis dengan cara yang berbeda. Ia menulis seperti Salman Rushdie seperti Gabriel Garcia Marquez dan ia lucu dengan caranya sendiri. Humornya gelap dan masam khas orang-orang sebangsanya, seolah-olah terpantul begitu saja dari sejarah negeri mereka. Sebagai penjelas, umumnya terpacak pula sebuah kutipan dari Cantik itu Luka tentang bayi yang baru saja meluncur keluar dari saluran peranakan, tetapi sudah sulit dibedakan dari seonggok tahi.
Di dalam negeri, reaksi orang-orang atas demam yang melanda bule-bule itu tentu tak seragam. Sebagian girang dan optimistis belaka, sebagian cuma pasang muka gelap dan masam. Beberapa orang terbirit-birit ke toko-toko buku setelah pertanyaan “Eka siapa?” yang mereka ajukan kepada calon gebetan terbukti menurunkan nilai diri. Ada juga yang melulu membicarakan kepatutan Eka menjadi representasi kesusastraan Indonesia.
Selain ragam reaksi itu, ada pula orang-orang Indonesia yang baru mengetahui keberadaan Eka Kurniawan begitu popularitasnya mengembang. Sebagian membaca karya-karyanya, kemudian memutuskan untuk membaca lebih banyak karya sastra dalam bahasa Indonesia. Dedi Setiadi, misalnya. Pemuda berusia 26 tahun asal Bekasi itu menjadikan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas—novel ketiga Eka Kurniawan yang terbit pada 2014—sebagai pintu masuk ke ouvre Eka Kurniawan dan sastra Indonesia. Semua pembaca mengerti: jatuh cinta pada buku adalah hal yang penting, sebuah utang besar yang mesti dibayar dengan terus membaca dan berbagi bacaan kepada orang-orang lain.
Pada 3 April silam, Dedi menghadiri diskusi yang digelar IHATEMONDAY BOOK CLUB di Pasaraya Blok M, Jakarta, tentang novel Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom. Dari seluruh peserta acara itu, rupanya ada seorang lagi penggemar Eka Kurniawan selain Dedi.
“Kamu belum baca O? Kita nggak usah berteman saja, deh,” katanya. Dia bernama Novita D.U. Surya dan dipanggil Tata oleh teman-temannya.
Beberapa tahun yang lalu Tata membaca Cantik itu Luka dan novel itu membuatnya jadi pendongeng untuk teman-teman di indekosnya selama berpuluh-puluh malam. Mulanya ia meminta mereka membaca saja, tetapi sebagian besar berhenti sebelum merampungkan bab kedua.
Karena tetap merasa kisah sedahsyat itu perlu dinikmati banyak orang, Tata kemudian mencoba peruntungan dengan teman-teman kuliahnya. Hasilnya memang lain: Cantik itu Luka miliknya beredar dari satu pembaca ke pembaca lain dalam rangkaian yang kelewat panjang dan ruwet. Sampai sekarang, ia belum berhasil memecahkan misteri keberadaan buku itu.
Tata mendirikan sebuah komunitas bernama Kelab Pemuja Eka. “Itu bercandaan saja,” katanya, “Kalaupun benar ada, anggotanya aku sendiri. Harus begitu. Dulu pernah juga pakai istilah fan garis keras Eka.”
Tata bilang tak ada novel Eka Kurniawan yang tidak ia sukai. Demikian pula Bernard. Namun, bila diminta menjajarkan keempat novel Eka—Cantik Itu Luka; Lelaki Harimau; Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas; dan O—di atas sebuah meja lalu mengambilnya satu per satu dalam urutan berdasar tingkat kesukaan, Bernard akan mengambil Lelaki Harimau setelah tiga yang lain. Bukan berarti menurutnya novel itu buruk. Ia hanya sempat bosan membaca penjelasan latar belakang Margio dan keluarganya, tetapi kembali bersemangat begitu bagian itu berakhir dan tempo penceritaan kembali cepat.
Bernard menghargai percobaan teknik yang dilakukan Eka dalam menulis Lelaki Harimau, sebagaimana selalu dilakukan penulis itu dalam seluruh novelnya. “Kupikir aku mengagumi Eka karena, salah satunya, ia sangat sadar teknik,” ujar Bernard. “Setahuku, tidak banyak penulis Indonesia yang seperti itu.” Hal itu juga memberikan Bernard kesenangan khusus sewaktu membaca karya-karya Eka. Ada jejak-jejak pengalaman membaca sang pengarang di dalamnya, dan penemuan-penemuan itu, khususnya jejak yang samar, adalah sebuah permainan yang mengasyikkan bagi dia.
Tetapi Bernard adalah seorang penulis dan Tata rutin membaca karya-karya sastra Indonesia, termasuk dari para pengarang yang jarang dibicarakan. Keduanya tak dapat mewakili pasar yang sebagian besarnya terdiri dari pembaca rata-rata. Menurut data redaksi Gramedia Pustaka Utama, dalam dua belas tahun Cantik Itu Luka dicetak ulang sembilan kali dengan jumlah penjualan 20 ribu eksemplar. Itu berarti novel tersebut rata-rata terjual 1.666 eksemplar per tahun dan 138 eksemplar per bulan. Lelaki Harimau (2004) dicetak lima kali dan terserap sebanyak 12 ribu eksemplar. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014) terjual 10 ribu eksemplar.
Yang menyedihkan: dalam konteks pasar buku sastra di Indonesia, menyebut angka-angka itu buruk adalah sikap tak tahu diuntung. Kabar bahwa sebuah buku kumpulan cerpen hanya terjual sebanyak 43 atau 56 eksemplar dalam bulan pertama setelah terbit bukanlah kabar yang mengejutkan bagi para pekerja buku. Mengingat bahwa prosa fiksi adalah jenis karya sastra yang secara umum terbukti paling laku di Indonesia, tak heran bila rencana penerbitan kumpulan puisi atau kumpulan esai menerbitkan air mata para editor.
Itu tak berarti minat baca di Indonesia rendah. Dari sisi bacaan populer toh terdengar kabar yang lebih menggembirakan. Inteligensi Embun Pagi karya Dewi Lestari, misalnya, menyamai jumlah penjualan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas selama dua tahun hanya dalam sepuluh hari setelah pihak penerbit membuka sesi pemesanan pra-cetak. Terlepas dari perkara kesetiaan pembaca novel-novel popular yang lazimnya tinggi, jarak yang tak kecil itu menengarai adanya kebiasaan “pilih-pilih bacaan” di kalangan pembaca dalam negeri. Andai alasan yang menyokong kebiasaan itu karena pasar hanya mau membaca buku-buku bermutu, tentu tidak masalah. Namun, beginilah suara yang kerap bergema dari pasar: sastra adalah bacaan yang membikin kepala pening dan tidak menghibur.
Di Jepang, batasan itu jauh lebih cair. Haruki Murakami dapat menjadi seorang penulis yang dianggap serius oleh para ahli sastra dan pembaca berpengalaman, sekaligus menikmati jumlah penjualan yang pantas untuk karya-karyanya. Menurut Japan Times, seluruh karya mayor Murakami telah melewati pos terjual sejuta eksemplar. Karyanya yang dianggap paling ringan dan normal—namun sebetulnya hasil pertaruhan besar sang penulis untuk bereksperimen dengan gaya yang belum pernah digunakannya—Norwegian Wood, bercokol di anak tangga teratas dengan jumlah penjualan 11,16 juta eksemplar. Pada 2013, Bungeishunju menerbitkan Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage karya Murakami. Ia hanya perlu waktu sepekan untuk terjual lebih dari sejuta eksemplar.
Lima tahun lagi Eka Kurniawan mungkin saja, seperti kata Bernard, menjadi salah seorang nomine Nobel Sastra. Tapi, apakah mungkin karyanya terjual di Indonesia sebanyak karya Murakami terjual di Jepang?