tirto.id - “Nama dan bukunya yang di waktu-waktu yang lalu berkumandang ke seluruh penjuru Indonesia hampir-hampir dilupakan dan menjadi kenang-kenangan belaka. Hanya kadang-kadang dramanya terdengar dimainkan dengan minta nama Utuy T. Sontani muncul di alam pikiran sebagai raksasa dramaturg yang terbesar di masanya,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam buku Menggelinding 1.
Utuy Tatang Sontani lahir di Cianjur pada 1 Mei 1920. Sebelum menjadi eksil dan meninggal di Moskow dan dilupakan orang, ia adalah penulis drama terkemuka di Indonesia. Karya-karyanya—bahkan sampai sekarang—kerap dipentaskan di berbagai panggung.
Utuy banyak menimba daya kreatif dari mata air kegagalan percintaannya. Dengan menyampaikan informasi itu, tulisan ini tak bermaksud mengerdilkan Utuy, melainkan justru memandangnya sebagai manusia dengan segenap kerumitan pengalamannya, manusia yang lengkap, bukan sekadar “pengarang penting yang tersia-sia.” Siapa, memangnya, yang tak pernah remuk redam karena asmara?
Dalam memoarnya Di Bawah Langit Tak Berbintang, Utuy bercerita bahwa ia adalah anak seorang saudagar batik di Cianjur. Kakaknya sempat belajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar serta hanya menampung anak-anak ningrat dan kaum kaya. Tetapi si kakak keburu mati dimakan wabah pes sebelum menyelesaikan sekolah.
Utuy sendiri mulanya disekolahkan di sekolah Desa karena situasi keuangan keluarganya memburuk. Kemudian, setelah bisnis ayahnya mulai pulih, ia dipindahkan ke sekolah Schakel atau sekolah perantara antara sekolah dasar Ongko Loro (Kelas Dua) dan sekolah menengah Middelbare Universile Laager Onderwijs (MULO). Di sekolah itu ada pelajaran bahasa Belanda. Namun, pada tahun keduanya di sekolah itu, Utuy minggat.
“Soalnya sederhana. Karena aku kurang baik menghafal, aku disetrap, disuruh berdiri di depan kelas. Dan karena aku merasa dibikin malu, keesokannya aku pun tidak masuk sekolah. Dan karena aku tidak masuk sekolah, maka ketika aku datang lagi ke sekolah, aku disetrap lagi—kali ini oleh Belanda kepala sekolah, dengan dikatakan pula kepada murid-murid lainnya, ‘Ni dia, contoh anak Inlander!’”
Sekali waktu, ketika Utuy bersekolah di Taman Siswa, ia bertetangga dengan keluarga ningrat pensiunan amtenar pegadaian. Keluarga itu mempunyai seorang anak angkat perempuan. Hati Utuy panas. Meski sama-sama berusia 15 tahun, gadis itu telah duduk di kelas enam—sementara ia kelas lima—dan gadis itu pandai berbahasa Belanda karena bersekolah di HIS.
Entah kepalanya terbentur apa, Utuy kemudian mendapat gagasan supaya si gadis balik mengagumi dia: menulis. Ia mengirimkan puisi dan cerita pendek ke koran Sinar Pasundan. Utuy menggunakan nama pena Sontani, yang diambil dari karakter novel berjudul Pelarian dari Digoel, karya yang tidak diketahui siapa pengarangnya, tampaknya seorang Digoelis. Novel tersebut diperkenalkan kepadanya oleh Wiranta, seorang Digoelis yang menulis Boeron dari Digoel, yang juga adalah paman si gadis yang disukai Utuy (C.W. Watson, Of Self and Injustice: Autobiography and Repression in Modern Indonesia, hal. 90).
Naskah yang ia kirimkan ke Sinar Pasundan ternyata disambut baik oleh redaktur dan ditayangkan. Berkat itulah pihak sekolah memberi Utuy kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke Taman Dewasa di Bandung tanpa ujian. Ia pindah bersama keluarganya karena ayahnya juga hendak membuka restoran di Bandung. Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak: baru sekolah empat bulan di Bandung, Utuy harus kembali ke Cianjur karena bisnis ayahnya rontok. Tak lama setelah itu, kedua orangtuanya bercerai. Ayahnya pergi entah ke mana, meninggalkan ia dan ibunya dalam rumah yang kosong tanpa perabotan dan gelap tanpa aliran listrik.
Ibunya kemudian memutuskan untuk menggadaikan rumah tersebut, lalu mereka kembali ke Bandung. Dua tahun di kota itu, Utuy mendengar kabar bahwa gadis tetangga yang ia sukai menikah dengan seorang pegawai pegadaian.
“Berita itu cukup membikin aku jadi terhuyung-huyung beberapa hari lamanya,” tulis Utuy. Namun, pada tahun yang sama, ia berhasil menulis dua karya: Mahala Bapa (Membinasakan Bapak) dan Tambera, keduanya dalam bahasa Sunda.
Di Bandung, Utuy dititipkan di rumah seorang janda tua—tukang jahit yang pernah menjadi pembantu ayahnya sewaktu masih berjualan batik. Utuy tidur dan menulis di tempat yang sama, yaitu di atas selembar tikar yang dibentangkannya di balik pintu. Suatu hari, ketika ia menulis, seorang perempuan muda dengan wajah dan perawakan Indo-Eropa berkunjung.
Perempuan itu kerabat si janda tukang jahit. Nama panggilannya Onih, dari Nonih, sebutan yang lazim untuk anak-anak perempuan Indo. Bapak Onih memang orang Belanda, seorang penguasa perkebunan, sedangkan ibunya gundik. Setelah jumpa berkali-kali, Onih dan Utuy saling menyukai.
Sekali waktu Utuy hendak pergi ke tempat tinggal Onih, namun dilarang oleh induk semangnya. “Jangan! Biar dia saja yang datang ke sini,” ujarnya. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
Namun, Utuy yang penasaran terus menerus mendesak induk semangnya agar memberitahukan alamat Onih.
“Kalau di sana ditemukan hal-hal yang tidak menyenangkan, jangan Dadang bertambah menyesal lagi,” ujar perempuan itu.
Tiba di tempat tujuan, Utuy mendapati rumah panjang dengan banyak pintu. Pintu kamar tempat Onih tertutup. Saat pintu itu terbuka, seorang laki-laki keluar sambil membetulkan pecinya. Utuy menyelonong masuk dan melihat Onih yang hanya bersarung dan telanjang dada. Perempuan yang ia cintai ternyata seorang pekerja komersial.
Onih si pekerja seks komersial, atau cabol dalam bahasa Utuy, lantas menjelma jadi tokoh Titi dalam lakon karangannya Selamat Jalan Anak Kufur.
“Laki-laki gila. Setelah masuk kamar, dia tidak berbuat apa-apa selain duduk terdiam kaya tihul. Diajak tidur menggelengkan kepala. Setelah lama terdiam, tiba-tiba dia berair mata. Dan setelah ditanya apa sebabnya bukan dia menyahut, tapi jatuh terguling kaya orang sekalor. Lantas dia memeluk kaki sambil menangis. Saya jadi jengkel. Tidak tahan. Terus saya sepak, saya suruh keluar,” ujar Titi kepada germonya dalam lakon itu.
Yang menarik, istilah “kufur” dalam lakon itu tak merujuk kepada praktik prostitusi, melainkan sikap Titi yang menyimpang dari cabol pada umumnya.
“Cabol itu tidak lebih dan tidak kurang dari perempuan sewaan. Dan sekali kau jadi cabol, pendirian itu mesti kau jadikan pegangan. Lepas dari pegangan itu, kau jadi orang kufur,” bentak Si Ibu. “Ya, kufur. Orang Islam yang melanggar agama Islam disebut kufur sebagai orang Islam. Maka cabol yang tidak bertindak sebagai cabol pun kufur sebagai cabol,” kata tokoh germo kepada Titi.
Utuy menyudahi kisah tersebut dengan kepergian Titi bersama Rais, tukang becak yang kerap mengantarkan tamu ke tempat Titi. Menurut si cabol, Rais punya pendirian tegas dan karena itulah ia berminat kepadanya.
Selain menampilkan potret nyata dan umum tentang praktik pelacuran di masyarakat, lakon itu juga menghadirkan pengalaman personal Utuy. Secara tak langsung, ia menyatakan bahwa ada tarik-menarik antara laku asusila dengan kodrat manusia yang mengharapkan sebuah hubungan yang normal.
Dalam lakon Awal dan Mira, Utuy lagi-lagi menjadikan sebagian pengalamannya dengan Onih sebagai bahan. Mira, sebagaimana Onih yang dikenal Utuy sebelum pertemuan yang menghancurkan hatinya di rumah bordir, adalah seorang penjaga kedai kopi cantik, dan kecantikannya itulah yang membuat pengunjung laki-laki berdatangan. Berlatar tahun 1951, dua tahun setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Utuy menghamparkan situasi kacau di mana orang-orang tak dapat saling percaya.
“Di zaman ini, di mana ada manusia? Maksud saya manusia yang bisa dipercaya? Memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman sekarang ini, aku pun sering bertanya-tanya, apakah dunia sekarang sudah akan kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana terjadi penggedoran, perampokan, pembunuhan, seolah-olah sudah tidak ada lagi cinta di antara sesama manusia,” ujar seorang pengunjung kedai kopi kepada Mira.
Awal adalah pemuda berbadan ringkih dan pemarah yang mencintai Mira. Situasi pascaperang membuatnya putus asa. Di kedai kopi Mira, setiap kali ada yang menyalakan radio, Awal mencak-mencak dan menyuruhnya mematikan radio tersebut.
“Apa arti golongan atas di zaman edan seperti sekarang ini? Sangka ibu perempuan yang tadi berpidato di radio itu dari golongan atas? Perempuan bicara asal berbunyi? Orang-orang semacam itulah yang mengusai masyarakat kita sekarang, orang-orang yang maunya mengatasi orang lain dengan bicara terus bicara, tak tahu jiwanya sendiri kering-dangkal, dunianya sendiri sempit. Lebih sempit dari ini: kedai-kopi!” kata Awal kepada tokoh Ibu Mira yang menyalakan radio di depannya.
Berbeda dari Titi dalam Selamat Jalan Anak Kufur, Mira tak menyambi sebagai pelacur. Namun, bukan berarti nasib mereka tak paralel. Keduanya ialah korban keadaan. Jika Titi—dan Onih dalam hidup Utuy—menjadi pelacur karena tak ada cara lain yang mereka ketahui untuk bertahan hidup, Mira cacat karena perang.
“Inilah kenyataanku. Kakiku buntung. Buntung karena peperangan. Tapi lantaran inilah Mas, lantaran ke atas aku cantik ke bawah aku cacat, selama ini aku bagimu merupakan teka-teki,” kata Mira kepada Awal.
Drama Bunga Rumah Makan berkisah tentang seorang gadis cantik bernama Ani. Ia sebatang kara dan bekerja di sebuah rumah makan.
Seperti dalam dua lakon sebelumnya, Utuy kembali menghadirkan tokoh laki-laki yang menyadarkan karakter gadis cantik. Iskandar, seorang gelandangan, mengingatkan Ani bahwa ia hanya dijadikan penarik pelanggan—dengan kata lain, dijual juga—oleh pemilik rumah makan.
“Aku memang gelandangan. Tapi bagiku lebih baik gelandangan daripada kau, diam di sini untuk jadi boneka yang mendagangkan kecantikan!” ujarnya.
Dan sebagaimana yang sudah-sudah, Ani akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja dari rumah makan tersebut dan pergi bersama Iskandar.
Kisah-kisah dalam tiga lakon itu adalah artefak pengalaman Utuy yang jatuh hati kepada Onih. Ia sendirilah yang menyatakan itu dalam memoarnya.
“Apa dan siapa Onih itu, asal kau teliti memeriksanya, akan kaujumpai dia dalam berbagai karanganku. Dan sekalipun sudah berpuluh tahun lamanya aku berpisah dengan dia, nama dan kedudukannya sebagai pelacur itu masih terus meminta tempat untuk ditulis; sedang peranan wanita penjual kopi dengan suasana di sekitarnya berkali-kali pula muncul di dalam drama-dramaku. Ini tidak lain, karena haru yang kurasakan akibat perkenalan dengan dia itu bagiku tak ada habis-habisnya.”
Ada pula pantulan diri Utuy—atau, setidaknya, apa-apa yang dibayangkan Utuy tentang dirinya sendiri—dalam karakter Rais, Awal, dan Iskandar. Mereka bukan tipe laki-laki penggoda, terus terang, tetapi cenderung terpinggirkan. Pada mulanya, mereka tampak remeh namun senantiasa muncul sebagai juru selamat.
Meski kerap mengolah pengalaman pribadinya, Utuy tak berhenti sebatas itu. Ia justru menjadikannya pijakan buat mengangkat soal-soal rumit dan gawat yang disaksikannya: pelacuran, kondisi pascaperang yang menggiriskan, dan kekayaan watak manusia.
Menjelang kejatuhan Sukarno, Utuy yang sudah bergabung dengan Lekra, pergi ke Cina. Kepahitan pun datang: Utuy tak bisa kembali ke Indonesia karena pergantian rezim. Ia dianggap bagian dari PKI, sebagaimana ribuan pelajar dan mahasiswa lain yang sedang menuntut ilmu di negara-negara kiri, sehingga tak bisa kembali pulang.
Ia terpisahkan dari keluarganya, termasuk dari istrinya. Kerinduan pun menumpuk, dan menebal, dari waktu ke waktu. Salah satu yang ia lakukan untuk menawarkan kerinduan pada istrinya adalah dengan merepro foto istrinya. Saat ia wafat pada 1979, repro foto istrinya itu sudah sangat banyak, tanda bahwa Utuy merepro foto istrinya dari waktu ke waktu, terus menerus.
Lakon-lakon Utuy tak hanya menjadikannya sebagai “Raksasa dramaturg yang terbesar pada masanya”, tetapi juga memberitahu kita bahwa tak ada kehidupan yang terlepas dari situasi sosial. Dan karena itulah, kesedihan pribadi Utuy dapat menjelma jadi—meminjam kata-katanya sendiri: haru yang tak kunjung kering.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Dea Anugrah