Menuju konten utama

Perang di Antara Orwell dan Hemingway

Apa yang membedakan George Orwell dan Ernest Hemingway dalam menyikapi Perang Sipil di Spanyol?

Perang di Antara Orwell dan Hemingway
Ernest Hemingway saat meliput Perang Saudara Spanyol tahun 1937. FOTO/Istimewa

tirto.id - Ketika Ernest Hemingway makan malam di sebuah hotel modis di rue de Rivoli, George Orwell sedang berpeluh sebagai pencuci piring. Keduanya sama-sama masih bau kencur sebagai penulis. Dua raksasa sastra ini sama-sama menetap di Paris kala itu. Bahkan, sampai Maret 1928, Hemingway tinggal di rue Férou, hanya beberapa blok dari tempat Orwell.

Tak ada pertemuan, tapi keduanya sama-sama berbagi pengalaman sebagai ekspatriat dan penulis yang masih berjuang. Paris direkam dalam memoar separuh fiksi oleh keduaya. George Orwell dalam Down and Out in Paris and London dan Hemingway dengan A Moveable Feast serta The Sun Also Rise. Orwell dan Hemingway baru bertemu kemudian di Paris pada 1940an, sebagai sesama koresponden Perang Dunia II.

Dua penulis ini memang punya beberapa hubungan menarik. Ada kemiripan gaya penulisan mereka: bahasa konkret, kalimat sederhana dan lugas, serta dialog tangkas. "Jangan pernah gunakan penuturan panjang jika bisa pakai yang singkat," tegas Orwell, yang secara tak langsung diamini Ernest Hemingway.

Baca juga:

Kedua penulis menelurkan karya-karya pilih tanding, namun prestasi terbesar mereka ada pada bahasa. Gaya lugas dan keringkasan mereka menjadi sesuatu yang menggema panjang, keduanya mengubah cara penulisan bahasa Inggris di abad kedua puluh. Orwell dan Hemingway secara tidak langsung “membentuk kembali” bahasa Inggris.

Selain dari segi estetika, sumbangan perspektif politik mereka berdua soal perang patut dicatat. Orwell dan Hemingway sama-sama menyaksikan, bahkan terlibat langsung, dalam Perang Sipil Spanyol. Meski ada perbedaan persuasi politik, keduanya berada di sisi yang sama untuk memerangi fasisme.

For Whom the Bell Tolls dan Homage to Catalonia merupakan catatan berdasarkan pengalaman langsung yang menggambarkan persimpangan antara keterlibatan politis dan pandangan personal kedua penulis dalam Perang Sipil Spanyol.

Hemingway dan Kepada Siapa Genta Berdentangan

Perang Sipil Spanyol adalah gladi menuju Perang Dunia II. Spanyol menjadi panggung berbagai ideologi abad ke-20 saling bertarung. Perang brutal ini berlangsung hampir tiga tahun (Juli 1936-Maret 1939), memakan korban setidaknya satu setengah juta jiwa dan mengirim satu setengah juta lainnya menjadi pengungsi.

Pada 1930-an, Spanyol terpolarasi antara partai sayap kanan Nasionalis dan Republikan sayap kiri. Nasionalis terdiri dari pendukung monarki, pemilik tanah, pengusaha, Gereja Katolik Roma dan tentara. Republikan terdiri dari para serikat pekerja, kelas menengah terpelajar, kaum buruh dan petani. Keduanya saling bergilir kuasa. Puncaknya, pada 1936, tentara memberontak dan secara paksa berusaha menurunkan Republikan dari pucuk kekuasaan. Perang sipil pun terjadi.

Pada bulan Maret 1937, Hemingway pergi ke Madrid untuk melakukan liputan perang bagi North American Newspaper Alliance (NANA). Hemingway mengirim 31 laporan dari Spanyol. Dia juga membantu produksi film pro-Republikan, The Spanish Earth. Pengalamannya selama perang sipil ini yang kemudian menjadi materi novel For Whom the Bell Tolls.

Baca juga: Retrospeksi 55 Tahun Kematian Hemingway

Novel ini menggambarkan kebrutalan perang saudara di Spanyol. Kisah seorang pemuda Amerika yang bergabung di Brigade Internasional. Diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga lewat pemikiran dan pengalaman sang protagonis, Robert Jordan, yang menjadi bagian unit gerilya antifasis sebagai ahli dinamit.

Bergerak di pegunungan Sierra de Guadarrama antara Madrid dan Segovia, latar novel tersebut berlangsung selama empat hari tiga malam. Robert ditugaskan meledakkan sebuah jembatan. Dengan gaya yang berdekatan dengan karya sebelumnya, Farewell to Arms, novel ini mengulas keberanian dan fanatisme, cinta dan kekalahan, dan kematian tragis akan sebuah ideal. Hemingway mempertunjukan kemunafikan, lelucon, dan ketidakberesan yang tercipta berkat perang.

Novel ini sekaligus bisa dibilang kisah cinta terbesar Hemingway. Cerita antara Robert dan Maria jauh lebih dari sekedar romansa kacangan. Kisah cinta penuh gairah dari dua jiwa tersesat. Maria dihadirkan sebagai alusi atas tanah Spanyol. Bagi Robert, Maria memberikan dorongan untuk pengembangan pribadinya dari pemikir dan pelaku tanpa belas kasih menjadi seorang individu romantis.

Bagi Hemingway, novel ini menjadi wahana kritikannya pada kepemimpinan Republikan dan sebuah ratapan atas destruksi fasis pada cara hidup petani Spanyol yang bersahaja. Novel berjalan pada musim semi 1937, saat perang terhenti, sebulan setelah pasukan Jerman meratakan kota Guernica.

"Jika fungsi seorang penulis adalah untuk mengungkapkan kenyataan," tulis Maxwell Perkins, menyurati Hemingway setelah membaca manuskripnya, "tidak ada yang benar-benar melakukannya."

Baca juga: Di Mana Ada Penulis di Situ Ada Cemooh

Orwell dan Bakti untuk Katalunya

Jika Hemingway cuma meminjam nyawa Robert, maka Orwell terjun langsung. Homage to Catalonia merupakan memoar setengah reportase. Tidak seperti Robert, meski sama-sama berada di sisi Loyalis, Orwell tidak bergabung dengan barisan Brigade Internasional yang diongkosi Uni Soviet.

Buku ini dimulai pada akhir Desember 1936, dengan pemandangan kota Barcelona yang dihiasi bendera merah hitam. "Kaum anarkis masih memegang kendali atas Katalunya dan revolusi masih berjalan lancar,” tulis Orwell. “Setiap toko dan kafe memiliki coretan yang mengatakan bahwa tempat-tempat ini telah dikolektivisasi.”

Ada beberapa partai politik di sisi Loyalis Spanyol, dan setiap partai punya milisi tersendiri. Orwell dimasukkan ke POUM, Partido Obrero de Unificacion Marxista, kelompok revolusioner anti-fasis sekaligus anti-Stalin yang relatif mungil.

Orwell menggambarkan milisi POUM; persenjataan yang kurang dan ketinggalan zaman, rekrutan yang kurang pengalaman dan tidak tahu arti perang, stok makanan dan rokok yang terbatas, serta mengeluh tentang orang Spanyol yang terlalu santai dan keahlian menembak mereka yang payah.

Orwell menulis dengan sinis sekaligus komikal. Pengalaman ketika pertama menembak fasis, juga ketika dirinya tertembak saat berada di garis depan. Perjalanan berubah secara dramatis ketika Orwell menyadari bahwa musuh bukan lagi berasal dari fasis Nasionalis, tapi juga dari "sekutu sayap kiri". POUM dinyatakan illegal. Partai Komunis yang berafiliasi dengan Soviet mengubah kantor pusatnya di Barcelona menjadi penjara bagi para “terduga Trotskyis”.

Pengalaman Orwell, yang berpuncak pada pelarian bersama istrinya Eileen dari persekusi Komunis di Barcelona pada bulan Juni 1937, meningkatkan simpatinya pada POUM. Dengan tetap berkomitmen secara moral dan politik terhadap sosialisme, Orwell menjadi anti-Stalinis seumur hidupnya.

Baca juga:

Infografik Ode Untuk Spanyol

Orwell, Hemingway dan Pergulatan yang Memuaskan

Sebelum meninggalkan Spanyol, pada bulan Desember 1936, Orwell sempat menyuarakan kritik keras terhadap tulisan dan politik Hemingway: "Hemingway, di sisi lain, diperlakukan dengan lebih terhormat (karena Hemingway, seperti yang Anda tahu, dikabarkan main-main sama Komunis)."

Keduanya memang berbeda di titik ini. Novel Hemingway mencuatkan tendensi representatif slogan Popular Front: tak ada musuh di kiri. Sedangkan Orwell meyakini, karena ia merasa melihat dan mengalami sendiri, Revolusi Spanyol justru dikhianati Komunis.

Hemingway berkilah, karyanya tercipta atas hubungan personalnya dengan Spanyol. Seperti Orwell, dia berpendapat versi ceritanya sama jujurnya, baik dengan menciptakan karakter dan lingkungan yang serealistik mungkin, dan dengan terus-menerus menegaskan bahwa situasi Spanyol terlalu rumit untuk direduksi dalam dikotomi.

“Secara sadar atau tidak, semua orang menulis sebagai partisan,” tulis Orwell dalam bagian tambahan di Homage to Catalonia. “Waspadalah terhadap keberpihakan saya, dan distorsi pasti disebabkan karena saya hanya melihat satu sudut kejadian. Dan waspadalah terhadap hal yang persis sama saat Anda membaca buku lain tentang periode perang Spanyol ini."

Baca juga:

Setelah kematian Orwell pada 1950, berbagai karyanya diterbitkan. Homage to Catalonia diterbitkan secara anumerta di Amerika Serikat pada Februari 1952. Hemingway bukan hanya terkesan oleh buku ini tetapi juga dengan beberapa fiksi Orwell, terutama Burmesee Days dan kritiknya akan kejahatan imperialisme.

Redaktur New York Times Book Review menyurati dan meminta Hemingway menulis resensi Homage to Catalonia. Hemingway meminta maaf dan menyuarakan rasa hormatnya yang mendalam kepada Orwell baik sebagai sesama pria maupun penulis. Hemingway menolak dengan alasan bahwa ia lelah dengan politik dan tidak ingin menulis apapun tentang buku yang sangat politis.

Berjuang menjadi penulis di Paris, menyaksikan Perang Sipil Spanyol, dan meliput Perang Dunia II, mereka berdua telah melihat yang terburuk. Karya mereka, tampak pesimistis: pertempuran yang berakhir kekalahan. Namun, yang mereka tawarkan justru pengharapan, bukan dalam optimisme murahan. Mimpi buruk dalam 1984-nya Orwell dan ketakberdayaan si kakek dalam The Old Man and the Sea adalah seruan untuk terus bergelut, bukan ajakan untuk berputus asa.

Baca juga artikel terkait SASTRA atau tulisan lainnya dari Arif Abdurahman

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arif Abdurahman
Penulis: Arif Abdurahman
Editor: Zen RS