tirto.id - Pada malam penganugerahan hadiah sastra Lemon Prize 2012, seorang pria Irlandia berambut cepak dengan cambang yang melengkung ke pipi terlihat seakan-akan baru saja ditendang dari kedai minum langganannya karena tak sanggup menebus bon. Pria itu Dermot Hoggins, penulis, dan ia kesal karena novelnya diabaikan orang. Menurut dia, kegagalan itu disebabkan oleh ulasan buruk kritikus Felix Finch.
Ia mengambil sehelai kliping dari saku dan membacakan isinya keras-keras: "Tuan Hoggins harus meminta maaf kepada pohon-pohon yang ditebang dan dijadikan kertas novel otobiografisnya yang bengkak itu. Empat ratus halaman yang luar biasa sia-sia dan diakhiri dengan penutup yang datar dan tolol minta ampun.
“Fock it!” kata Hoggins sesaat sebelum menghampiri Finch yang sedang jadi pusat orbit segerombolan orang.
Kelanjutan acara di bubungan terbuka itu horor belaka. Setelah dihina sekali lagi oleh Finch, kali ini secara langsung dan di hadapan umum, Hoggins yang tidak sanggup mengucapkan tiga kalimat beruntun tanpa kata 'fock' itu menyeret sang kritikus ke tepi dan melemparkannya seperti sekampel besar sampah dapur. Beberapa puluh meter kemudian, kepala Finch bertemu aspal dan pecah dengan bunyi garing seakan-akan terbuat dari kulit telur ayam. “Itu baru akhir yang datar dan tolol minta ampun,” katanya sembari melongok ke bawah.
Adegan itu adalah bagian dari film Cloud Atlas (2012) yang disutradarai Tom Tykwer dan Wachowski Bersaudari. Skenarionya diadaptasi dari novel berjudul sama karya David Mitchell.
Dalam kenyataan tentu ada banyak contoh ketidakakuran pengarang dan kritikus, atau antar penulis secara umum. Setiap penulis yang mendapat komentar buruk, baik tentang karya maupun pribadinya, dan merasa dirugikan oleh hal itu, barangkali pernah punya pikiran serupa Hoggins. Tetapi, untunglah, sebagian besar dari mereka menerapkan kontrol.
“Berhentilah sembunyi di balik bulu dada palsumu, Ernest. Kami semua kenal kau,” tulis Max Eastman dalam kritiknya terhadap Death in the Afternoon, karya nonfiksi Hemingway tentang tradisi tarung banteng di Spanyol.
Saat keduanya berjumpa di ruangan Maxwell Perkins, editor penerbit Scribner yang menangani karya sejumlah penulis penting di masa itu, Hemingway membuka kancing kemeja yang ia kenakan, lalu berkata kepada Eastman: “Lihat baik-baik, Max, apa ini terlihat palsu?”
Perkins mencoba menenangkan Hemingway dengan mengambil buku Eastman dari laci, lalu membacakan nukilan esai tentang Death in the Afternoon yang tidak terkesan meledek. Langkah keliru, tentu. Hemingway merampas buku itu, membacakan bagian “bulu dada palsu”, menjejalkan buku itu ke wajah Eastman dalam keadaan terbuka, lalu mengatupkannya keras-keras. Demikianlah roti kertas apit isi hidung kritikus pertama di dunia tercipta.
“Kritikus sanggup membeset pengarang bila karya pengarang itu membikin mereka kesal, namun yang mesti sungguh-sungguh diwaspadai oleh para pengarang ialah kaumnya sendiri. Dalam hal membakar asam sulfur penghinaan, melecehkan dengan gaya, serta kekejaman tulen, pengarang kerap kali tak tertandingi oleh kritikus,” tulis Hephzibah Anderson di BBC Culture.
Gustave Flaubert, kata Anderson, menyebut George Sand (novelis perempuan Prancis yang bernama asli Amantine Lucile Dupin) 'sapi besar yang penuh tinta'. Dan Flaubert bukan satu-satunya penulis yang sampai hati menyamakan penulis lain dengan hewan. Pelakunya banyak sekali, mulai dari Robert Louis Stevenson kepada Walt Whitman ('seperti anjing gondrong besar yang baru dilepaskan dari rantai lalu berlari-lari kecil di pantai-pantai dunia dan melolong ke arah bulan') hingga Friedrich Nietzsche terhadap Dante Alighieri ('seekor dubuk yang menulis puisi di kuburan').
Mark Twain, penulis Amerika Serikat yang lazim dianggap sebagai manusia paling jenaka pada zamannya, punya rencana sedap terhadap Jane Austen. “Setiap kali membaca Pride and Prejudice, aku ingin menggali Austen dari kubur dan menggetok kepalanya dengan tulang keringnya sendiri,” katanya.
Tentang pengarang roman sejarah James Fenimore Cooper, Twain berkomentar: “Di dunia ini ada orang-orang nekat yang menyatakan bahwa Cooper sanggup menulis dalam bahasa Inggris, tapi mereka semua sudah mati.” Dan mengenai Henry James: “Sekali kau meletakkan buku James, kau takkan mengambilnya lagi.”
Seakan terjebak dalam sebuah battle royale, alih-alih membalas Twain, Henry James malah mengayunkan kampaknya kepada Edgar Allan Poe, “Minat terhadap karya Poe adalah tanda kemampuan berpikir tingkat primitif.”
Karya-karya Mark Twain dicintai banyak pembaca dan dihormati para pengarang dari berbagai zaman. Tapi, apakah itu berarti tak ada yang berani menggasak dia? Menurut seorang pria kampung dari Mississippi yang bernama William Faulkner, Twain tak lebih dari penulis abal-abal, penulis kelas empat dalam ukuran Eropa. “Dia hanya mengotak-atik bentuk-bentuk lawas yang keberhasilannya sudah teruji dengan menambahkan warna lokal untuk memikat orang-orang palsu dan malas,” tulis Faulkner.
Faulkner juga tidak menyukai gaya penulisan Hemingway yang serba hemat dan berkebalikan dari gayanya sendiri yang ekstravagan, maka ia berkata, “Orang itu tidak pernah menggunakan satu pun kata yang menggiring pembaca ke kamus.”
Hemingway, selain menangkup hidung Max Eastman, pernah pula menjotos sutradara Orson Welles. Namun, kepada Faulkner ia membalas dengan penuh kasih: “Faulkner yang malang. Apa dia pikir perasaan-perasaan yang besar mesti berasal dari kata-kata yang besar?” Bonusnya: Hemingway mengaku tahu kalimat mana saja yang ditulis Faulkner setelah minum segelas khamr. Gampang kojor, kita tahu, bukanlah pujian dalam situasi apa pun, bagi kalangan mana pun.
Dari pelbagai jenis serangan itu, barangkali tak ada yang lebih brutal ketimbang menyatakan tulisan seorang pengarang sebagai bukan tulisan. “Karya Virginia Woolf itu cuma rajutan yang mempesona,” ujar Edith Sitwell, seorang penyair Inggris. Dan Truman Capote, yang disebut Gore Vidal sebagai ibu rumah tangga Republikan dari Kansas, menganggap novel On the Road karya Jack Kerouac naskah ketikan belaka.
Di mana Ada Penulis, di situ Ada Cemooh
Prinsip itu berlaku pula di Indonesia. Suatu kali, Idrus, pengarang cerita pendek terbaik di Indonesia pada masanya, ringan saja berkata kepada Pramoedya Ananta Toer, “Pram, kamu itu tidak menulis. Kamu berak!”
Pramoedya sering mengungkit kejadian itu. Boleh jadi ia dendam. Namun, pengalaman itu jelas tidak mencegahnya meneruskan tradisi cemooh di kalangan penulis. Dalam memoar berjudul Kenang-kenangan Orang Bandel (2008), Misbach Yusa Biran menceritakan bahwa Pramoedya pernah mengatai dia di koran sebagai orang yang “rambutnya seperti karbon lecek.”
Saling cemooh antar penulis telah lumrah dikumpulkan, terutama di dunia berbahasa Inggris, sebab ia adalah dokumen kebudayaan yang penting. Di dalamnya kerap terkandung rekaman pertentangan ideologi, estetika, dan lain-lain. Dan yang nilainya tak kalah besar: pertunjukan keterampilan para penulis dalam mempergunakan kata-kata.
Andai ada pengarsip yang berencana menyusun kompilasi khusus Indonesia, ia hendaknya tak melupakan Mahbub Djunaidi. Hanya lewat satu tulisan pendek berjudul “Wajah” (Kompas, 20 Maret 1988), Mahbub sanggup menggasak orang-orang dari separuh dunia, mulai dari bekas Menteri Luar Negeri Cina Chen Yi hingga Panglima ABRI Benny Murdani.
Dalam tulisan itu Mahbub juga membicarakan dua orang penulis lokal: Ajip Rosidi dan Totok Sudarto Bachtiar. Mengenai Totok: “Orang ini jadi hitam legam, habis terbakar mentari karena jadi pelatih tenis, tidak ada urusan dengan sajak lagi...”, sementara Ajip dikatakannya “tak kenal sisir seumur hidup” dan tampak seperti “petani yang lagi coba-coba urbanisasi ke kota.”
Tema rambut muncul kembali dalam esai Mikael Johani, “Idiotika Damhuri”, yang dipacak di Facebook pada 3 Agustus 2009. Tulisan itu adalah tanggapan Mikael terhadap esai Damhuri Muhammad, “Romantika Pasca-Enam Lima” yang diterbitkan harian Kompas sehari sebelumnya.
Mikael menulis: “Apakah minyak rambut yang membuat rambut panjang Damhuri yang selalu dikuncir jadi selalu terlihat licin telah membuat otaknya suka kepeleset juga dalam berpikir?” dan “sastrawan berambut panjang dan berminyak macam Damhuri memang sering mencak-mencak jika sastra yang oh so suci dikotori dengan hal-hal yang tidak sastrawi macam sejarah, apalagi politik.”
Tulisan itu diakhiri dengan kombo ejekan yang serba otentik dan brutal dan menghibur, sekalipun tidak lagi membicarakan rambut: “Damhuri sepertinya lebih masokis daripada von Sacher-Masoch sendiri. Damhuri ingin membaca cerpen dan novel Martin (Aleida) sebagai 'romantika pasca-65' di mana kekerasan politik macam apa pun 'tiada bakal berkutik di hadapan cinta sejati' walaupun para pemilik cinta sejati itu semuanya mati tersiksa dalam penderitaan. Happily dead ever after. Semacam gabungan antara Mills & Boon dan American Psycho. Damhurinya yang psycho.”
Patut disayangkan bahwa dalam esai itu Mikael juga membahas keadaan ekonomi Damhuri dan Damhuri jadi tersinggung karenanya. Andai itu tak ada, boleh jadi ia bakal balas meledek Mikael. Ia bisa bicara tentang tatanan rambut (misal: saya melihat Mikael di sebuah acara sastra beberapa bulan lalu, dan saya pikir rambutnya yang bergaya mullet membuat dia mirip pokemon/pengidap down syndrome) dan lain-lain.
Ancaman UU ITE
26 Maret 2015, penyair Saut Situmorang yang terbiasa mencemooh penulis-penulis lain, dijemput polisi di kediamannya di Yogyakarta. Ia dilaporkan oleh Fatin Hamama, dubber film-film India di sejumlah televisi swasta dan pembawa drama radio Butir-butir Pasir di Laut, dengan tuduhan pelanggaran pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tentang pencemaran nama baik.
Berdasarkan kesaksian sejumlah orang yang terlibat, Fatin adalah makelar yang menghubungkan beberapa penulis dan proyek buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Proyek itu disponsori oleh Denny J.A., konsultan politik yang, menurut sumber Tirto.id (ia mendapatkan informasi itu langsung dari Fatin), merasa berhak diakui sebagai sastrawan karena semasa muda kerap kongko di Taman Ismail Marzuki. Fatin sendiri, kepada sumber yang sama, mengaku telah 'berdarah-darah' menulis puisi sampai-sampai 'dikucilkan' oleh keluarganya.
Sejumlah penulis dan pemerhati kebudayaan menganggap buku itu sebagai usaha manipulasi sejarah sastra Indonesia. Dan Saut, dalam konteks itu, menyebut Fatin “bajingan” dan “seperti lonte tua yang tidak laku” di Facebook. Sampai sekarang, Saut masih harus menjalani proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Fatin mungkin tidak pernah mendengar tentang Bill Ryan. Ryan, seorang penulis Amerika Serikat, membawa tradisi saling cemooh itu ke tingkatan yang sama sekali baru. Sejak 2009, ia rutin mengunjungi acara-acara peluncuran dan pembacaan buku oleh penulis-penulis ternama. Dan pada sesi tanda tangan, berbeda dari kebanyakan orang, ia tidak meminta para penulis itu “menambahkan kata-kata mutiara” bersama tanda tangan mereka, melainkan makian untuknya.
Ryan mengerti nilai yang sesungguhnya dari cemooh. Ia juga paham bahwa ada sisi yang menghibur dari urusan tersebut. Hingga kini, Ryan telah mengumpulkan lebih dari 50 buku yang dilengkapi cemooh penulisnya. Dokumen-dokumen tersebut ia unggah ke situs insultedbyauthors.com. Favorit Bill Ryan adalah makian Amy Sedaris: “Bill, aku bisa saja menyebutmu memek, tapi kau kurang hangat dan mendalam.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti