tirto.id - “Aku percaya, di bawah mikroskop, tak ada yang lebih hidup dibandingkan setetes air dari kolam yang tenang.”
Begitu kutipan dari salah satu buku Agatha Christie, novelis Inggris yang suka menyematkan unsur-unsur sains ke dalam karyanya.
Mungkin itu juga yang dirasakan Dyna Rochmyaningsih (38) ketika pertama kali melongokkan kepala ke mikroskop saat bersekolah di tingkat SMP.
Dyna remaja menyadari bahwa mata telanjang manusia mustahil menangkap kehidupan makhluk mikroskopis yang luar biasa berisik.
Bertahun-tahun kemudian, momen eureka tersebut memicu Dyna untuk menyelami ilmu biologi. Lebih jauh, biologi mengantarnya menjadi seorang jurnalis sains.
Menariknya, mencintai bidang yang dipilih dengan kesadaran sendiri ternyata tidak membuat masa depan jadi lebih mudah bagi Dyna.
Beberapa kali ibu dua anak ini menghadapi sederet tantangan berupa kegagalan dan ancaman, tak terkecuali pencerahan.
Seiring itu, Dyna menjadi saksi kebangkitan jurnalis sains perempuan dengan keberanian yang membara.
Menemukan Cinta pada Biologi
Dyna tumbuh dewasa di kawasan Jakarta. Semasa kecil, dia mengaku bukan anak yang senang aktivitas fisik. Perawakannya tergolong kecil, sehingga selalu kalah saat bermain dengan teman-temannya.
Kegiatan belajar menjadi eskapisme bagi Dyna yang merasa tidak punya terlalu banyak teman.
Dyna pun merasa beruntung tumbuh di lingkungan yang ideal untuk memupuk kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Sang ayah, yang berprofesi sebagai teknisi piano, juga merupakan pengagum sains yang kerap mengajak Dyna menonton program Discovery Channel di kala senggang.
Ketika duduk di bangku SMP, Dyna mendapat kesempatan untuk menjajal mikroskop pertama kali.
Betapa terkejutnya Dyna. Dia tak menyangka dapat menemukan ‘dunia’ yang dihuni oleh beragam makhluk mikroskopis yang penuh energi dan riuh.
“Kemudian, sewaktu SMA, aku bertemu guru yang juga ilustrator. Hasil gambarnya bagus sekali—termasuk aneka ragam invertebrata atau hewan tak bertulang belakang. Dari situ aku melihat bahwa, wah, ternyata kehidupan mikroskopis sangat luar biasa,” Dyna berkisah dengan mata berbinar.
Tatkala teman-teman sebayanya memilih jurusan mentereng untuk mendaftar ke universitas, pilihan Dyna tertambat pada Jurusan Biologi di Institut Pertanian Bogor.
Jurusan yang underdog, tekan Dyna berkali-kali, akan tetapi ilmunya dipuja-puji begitu “fascinating”.
Menuangkan Sains dalam Tulisan
Setelah diterima di kampus IPB melalui jalur rapor, Dyna menekuni perkuliahan dengan sepenuh hati.
Meskipun berhasil mendapatkan IPK tinggi, bahkan mendapat beasiswa Goodwill International, bukan berarti jalan yang Dyna lalui tidak terjal.
Sebagaimana mahasiswa pada umumnya, Dyna mengalami kebingungan tentang karier dan masa depan.
Mujur, ia memiliki dosen sekaligus mentor yang mengenalkannya kepada komunitas sains internasional dan jurnal bergengsi Science. Sosok itu tidak lain adalah Dr. Bambang Suryobroto.
Sesaat sebelum lulus Dyna mendapat pertanyaan dari dosennya yang kelak mengubah trajektori hidupnya, “Beliau bertanya, aku mau jadi apa. Terus aku jawab keinginanku adalah menjadi science writer.”
Dr. Bambang kemudian memberikan potongan artikel dari majalah Nature yang membahas tentang neuroscience dengan preferensi politik konservatif.
Dyna juga memberikan kredit bagi dua penulis yang sama-sama memiliki latar belakang di bidang biologi evolusioner: Richard Dawkins dan Daniel Dennett.
“Tahun-tahun 2000-an merupakan zaman [aliran filsafat] New Atheism, di antaranya dipopulerkan oleh penulis ilmuwan seperti Richard Dawkins dan Daniel Dennett. Karya mereka sangat berkesan. New Atheism itu berlangsung bersamaan dengan kemunculan science communication,” jelas Dyna yang dulu pernah aktif di klub debat bahasa Inggris.
Namun, lagi-lagi, Dyna harus menelan pil pahit. Upaya melamar pekerjaan dan mendapatkan beasiswa untuk S-2 gagal terlepas dirinya memiliki segunung prestasi.
Ia mengenang masa-masa putus asa tersebut. Pada satu kesempatan, Dyna meminta maaf kepada sang ayah karena belum mendapatkan pekerjaan.
Diperlukan waktu sekitar dua tahun setelah lulus bagi Dyna untuk menemukan apa yang betul-betul dimaui.
Di tengah kegagalan beruntun, pada 2009 tulisan Dyna tentang neuroscience dan partisipasi perempuan dalam politik rilis di Jakarta Post.
Menjadi Perempuan Berani di Tengah Represi Sains
“... Sains tidak dapat didiskusikan tanpa kontak, terkadang sekilas, terkadang berhadapan langsung, dengan sejumlah isu sosial, politik, agama, dan filsafat,” tulis Carl Sagan dalam buku Kosmos (1980).
Prinsip itu diterapkan Dyna Rochmyaningsih dalam setiap tulisan, terutama setelah dia berjejaring dengan SciDev, situs berita ilmu pengetahuan dan pembangunan yang memberinya kesempatan untuk mendalami jurnalisme sains, pada 2011 silam.
Dyna kemudian mulai menulis artikel kritis terhadap pemerintah Indonesia tentang iklim sains di Indonesia.
Misalnya, pada 2015, ia menulis di Naturetentang keputusan pemerintah mendukung penelitian dengan metode sains yang tidak jelas atas nama nasionalisme.
Kemudian, pada 2019, mantan ketua Society of Indonesian Science Journalist (2020–2023) ini mengkritik Rancangan Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (sekarang UU No. 11 Tahun 2019) yang mengancam kebebasan akademik.
Aturan tersebut berpotensi mengancam dunia keilmuan di Indonesia, akan tetapi saat itu belum banyak yang menaruh perhatian.
Menjadi seorang jurnalis sains perempuan adalah pekerjaan yang berat dan berisiko. Terkait ini, pengalaman pada 2022 silam menunjukkan Dyna sebagai saksi suara jurnalis perempuan yang berani.
Kala itu, Dyna menerima intimidasi karena tulisannya di Scienceyang kritis terhadap kasus pencekalan sejumlah ilmuwan asing oleh pemerintah.
Dyna lantas memutuskan untuk rehat menulis soal represi sains. Selama itu, dia menerima beasiswa Knight Science Journalism Fellow 2023/2024 di Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Arti Menjadi Perempuan bagi Dyna
Pada 2010 silam, Dyna pernah terpilih mengikuti program Harvard Summer Course yang diadakan di Pulau Kalimantan.
Melihat kinerja baik Dyna, salah satu profesor dari Harvard menawarkan pekerjaan dan kesempatan bagi Dyna untuk melakoni pendidikan S-2 di luar negeri.
Namun, Dyna menolak dengan halus. Pada waktu itu, di usia yang relatif muda—23 tahun—dirinya telah menerima pinangan seorang laki-laki. Setahun kemudian, anak pertama mereka lahir.
Di sela-sela keseharian sebagai ibu, Dyna memanfaatkan jaringan internet dan perangkat komputer jadul untuk berselancar di dunia digital.
Bagi Dyna, menjadi ibu dan istri tidak mengurangi ketajaman tulisan dan pikirannya.
“Semua saya lakukan sambil menggendong bayi dan mengupas bawang. Saya bersyukur bahwa teknologi memungkinkan semua hal. Termasuk di antaranya membuka sekat-sekat fisik di sekitar saya, seorang ibu rumah tangga. Saya bisa belajar meski tidak bersekolah dan saya bisa bekerja meski bukan di kantor,” demikian kicauan Dyna di Twitter (sekarang X) pada 25 September 2021 lalu yang menuai ratusan komentar kagum dari warganet.
Ketika diminta untuk merefleksikan posisinya sebagai perempuan yang berkecimpung di dunia jurnalistik, Dyna berseloroh bak hidup di alam berbeda yang saling terhubung.
“Itu jadi privilese sendiri buatku. Di mana ada dua dunia berbeda yang aku hidupi... Mesti rewang [tradisi membantu acara tetangga], karena tempaku tinggal yang berjarak dua jam dari Medan itu tergolong daerah rural. Aku jadi seorang tetangga, jadi teman, jadi ibu-ibu yang ikut pengajian—jadi agak lupa [pada hal-hal yang menyita emosi] tentang pekerjaan. Seru,” tutur Dyna.
Kehidupan bertetangga justru membuka percakapan yang berdaya. Dyna menyuarakan mimpi bahwa menjalani pendidikan tinggi bagi perempuan di sekitarnya bukan lagi mustahil.
Dyna juga bangga dapat memperlihatkan dunia yang ia selami kepada kedua putrinya, misalnya melalui pertemuan dengan komunitas jurnalis sains seluruh dunia, atau ketika mereka mengamati secara langsung ibunya melakukan aktivitas liputan.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih