tirto.id - Banyak orang menulis karena takut dilupakan. Mereka yakin bahwa kata-kata yang terucap bakal disapu angin, sedangkan yang tertulis akan tinggal. Minke, karakter rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam Kuartet Buru, bahkan berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Tapi keabadian adalah sebuah proyek yang mustahil. Masa depan adalah hilir yang terus bergeser, kuala yang senantiasa menjauh, dan di dalamnya: yang tetap justru kemungkinan dilupakan. Dari hari ke hari, para pembaca hanya bisa berkata: kami masih ingat Illiad, Shui Hu Zhuan, Lazarillo de Tormes, Sophocles, Chaucer, Shakespeare.
Sejak Januari 2016, King's College dan 24 institusi kesenian, kebudayaan, dan pendidikan di Kota London dan sekitarnya menggelar Shakespeare400, sebuah festival untuk merayakan empat abad warisan William Shakespeare. Di bawah payung festival tersebut, pameran naskah, pemutaran film, kuliah, diskusi, napak tilas, serta pertunjukan-pertunjukan musik, tari, dan teater hasil pengembangan karya-karya Shakespeare sudah, sedang, dan akan diselenggarakan di berbagai kota di Inggris selama setahun. Shakespeare400 adalah wahana untuk mengumumkan sekaligus menyebarluaskan ingatan atas sang penulis dan karya-karyanya.
William Shakespeare adalah seorang penyair, pengarang lakon, dan dramawan yang tumbuh di lingkungan teater London pada periode Elizabethan (1558-1603). Meski periode itu dikenal sebagai masa Emas sekaligus puncak Renaisan Inggris karena sejumlah pencapaian penting di pelbagai bidang, London kala itu tentu jauh dari kilau kemajuan yang dibayangkan oleh manusia-manusia hari kini. Sehari-hari para penduduk menghamburkan kotoran dari balkon yang menghadap jalan dan menumpahkan limbah ke Thames. Orang bisa dengan gampang ditikam sampai mati di kedai-kedai minum, dan kaum papa dihukum cambuk atau dicocok lubang kupingnya dengan besi panas hanya karena tidak terdaftar.
Lingkungan teater tentu tak luput dari keterbelakangan itu. Catatan pengantar penerbitan ulang karya-karya Shakespeare untuk seri Collins Classics oleh Harper Press menyampaikan: Rumah-rumah pertunjukan—kadang merangkap bordil dan kandang anjing—dibangun di pinggiran kota karena citra buruk yang dilekatkan oleh para paderi dan “kaum terhormat” atasnya. Sebagian besar penonton adalah pengisruh berselera buruk yang melulu minta dipuaskan. Karakter-karakter perempuan diperankan oleh lelaki muda bersuara melengking, serta bau tak sedap dan ancaman kebakaran dan kejahatan ada dalam setiap pertunjukan.
Tetapi Shakespeare, pria dari udik Stratford-upon-Avon yang mendapat pendidikan formal hanya selama tujuh tahun dari sebuah sekolah gratis, sanggup bertahan dalam habitat itu dan menempa bakatnya menjadi keterampilan yang luar biasa. Shakespeare menciptakan 37 lakon, 154 soneta, 2 puisi naratif panjang, serta sejumlah sajak lain dalam bahasa Inggris Modern Awal dan menebar pengaruh yang melampaui masa hidup, bahasa yang ia gunakan dan ikut dibentuknya, serta batas-batas tanah airnya. Karya-karyanya berada di jantung kanon kesusastraan Barat dan ikut memperkaya bahasa dan kesusastraan dari tradisi-tradisi lain.
Bagi orang-orang Indonesia hari ini, misalnya, “Jatuh cinta”, “Cinta itu buta”, “Berhati emas”, “Memecah kebekuan”, dan “Membunuh dengan kebaikan” adalah ungkapan-ungkapan yang bukan hanya akrab, melainkan telah jadi klise saking seringnya digunakan. Mereka biasa diucapkan dan dipahami maksudnya oleh orang-orang dari segala kelas dan latar belakang. Ungkapan-ungkapan itu—dan ribuan lainnya yang hingga kini dipakai oleh para penutur pelbagai bahasa—adalah ciptaan Shakespeare. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ungkapan-ungkapan itu mula-mula dipakai dalam lakon-lakonnya.
Terlepas dari pertukaran pengetahuan secara lisan, sebagian lakon Shakespeare memang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain: Hamlet dan Macbeth oleh W.S. Rendra, Romeo dan Julia oleh Trisno Sumardjo (Pustaka Jaya, 1955), dan Julius Caesar oleh Asrul Sani (Pustaka Jaya, 1979).
Dalam seni penulisan, cap jari Shakespeare jelas lebih banyak dan terang. Soneta Shakespearean dipelajari, digunakan, dan dikembangkan oleh para penyair dari seluruh dunia. Caranya membangun cerita: mengatur tempo, menempatkan informasi, dan menyusun tangga dramatik, ditambah kepribadian karakter-karakternya, adalah model yang berguna bagi penciptaan karya-karya lakon dan prosa oleh penulis-penulis setelah dia. Perkataan karakter-karakter rekaan Shakespeare bahkan kerap dipakai sebagai judul karya-karya baru. Judul novel Javier Marias, A Heart So White, misalnya, dipinjam dari ejekan Lady Macbeth kepada suaminya yang lemah hati: “My hands are of your color, but I shame/to wear a heart so white”; demikian pula The Fault in Our Stars karya John Green berutang kepada ucapan Cassius dalam lakon Julius Caesar: “The fault, dear Brutus, is not in our stars/but in ourselves, that we are underlings.”
Harold Bloom, kritikus sastra asal Amerika Serikat dan Guru Besar Humaniora Yale University, menempatkan Shakespeare pada kedudukan yang amat tinggi. Dalam sebuah wawancara dengan Susannah Carson dari San Fransisco Chronicle, ia berkata, “Kita semua, tiap-tiap diri kita, menjalani semacam gabungan peran-peran Shakespearean.” Untuk kerja Shakespeare menciptakan karakter-karakter dengan kepribadian yang berlapis dan kompleks sebagaimana manusia sungguhan, Bloom bersaksi: “Tiada Tuhan selain Tuhan, dan namanya adalah William Shakespeare.”
Orang bisa setuju atau tidak dengan pernyataan Bloom, tapi pesannya sukar dibantah: Shakespeare benar-benar penting. Pandangan itu agaknya dimiliki pula oleh Departemen Pendidikan Inggris. Dalam kurikulum yang dirilis lembaga tersebut pada 2014, salah satu pembaruan terjadi atas mata pelajaran bahasa Inggris. Siswa-siswi berumur 11 hingga 14 tahun diwajibkan mempelajari dua buah lakon Shakespeare secara utuh. Perdana Menteri David Cameron menyebut kurikulum itu ketat, menantang, dan sukar. Namun, pemerintah meyakini disiplin baru itu mesti dijalani supaya “para siswa dipastikan siap menghadapi kehidupan Inggris modern sekeluarnya dari sekolah.” Menurut data terbaru yang dirilis oleh Departemen Pendidikan Inggris, pada awal 2015 ada 8,4 juta siswa yang belajar di 24,3 ribu sekolah negeri dan swasta di seantero negara tersebut.
Tak hanya di Inggris, gema penghargaan terhadap Shakespeare terdengar dari seluruh dunia. Menurut hasil riset yang ditayangkan BBC, sebanyak 84 persen warga Brazil menganggap Shakespeare relevan untuk masa kini. Di India, 50 judul film Bollywood telah dibuat berdasarkan lakon-lakon Shakespeare. Pejuang hak asasi sekaligus presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan yang termahsyur, Nelson Mandela, membaca karya-karya Shakespeare selama 27 tahun ia dipenjarakan oleh pemerintahan apartheid. Dan di Jepang, replika Globe Theatre—tempat kerja Shakespeare yang hancur dilalap api pada 1613, dibangun ulang pada 1614, dan dirobohkan pada 1644—didirikan pada 1988, sepuluh tahun lebih cepat ketimbang rekonstruksi modern bangunan bersejarah itu di London.
Rangkaian fakta tersebut belum berakhir. 15 September 2008, The Times mewartakan perkiraan jumlah penjualan karya-karya Shakespeare sepanjang masa, yaitu 4 miliar eksemplar. Dari seluruh dunia, pesaingnya cuma ada dua: Alkitab dan Agatha Christie. Di balik angka penjualan sebesar itu tentu ada banyak sekali kisah-kisah yang menarik, sebagaimana ada banyak kisah-kisah menarik dari kalangan pembaca Agatha Christie dan kitab-kitab suci.
Dua tahun sebelum kabar dari The Times, satu dari 230 eksemplar berkas First Folio—himpunan pertama lakon-lakon Shakespeare yang disusun oleh rekan-rekannya setelah ia wafat—yang diperkirakan beredar di masa ini terjual di rumah lelang Sotheby's di London dengan harga 2,8 juta pound atau 53.8 miliar rupiah.
Empat abad setelah kematiannya, William Shakespeare ternyata bukan hanya diingat, melainkan juga dipedulikan dengan sungguh-sungguh. Bagi para pembaca, penulis kreatif, kritikus sastra, dan sejarawan: Semakin banyak telaah atas sosok dan karya Shakespeare, semakin banyak pula pintu terbuka untuk mengawali pendekatan-pendekatan baru. Bagi para kolektor dan pedagang barang antik: Nilai ekonomis artefak yang ditinggalkan Shakespeare senantiasa bertambah tinggi.
Semua itu, termasuk gegap-gempita perayaan Shakespeare400 di Inggris, memang tak bisa dijadikan bukti tercapainya keabadian lewat kerja menulis. Tidak ada yang bisa. Namun, ketiadaan jaminan untuk jadi kekal, bahkan bagi salah seorang penulis terbesar dalam sejarah, justru mengirimkan pesan penting sonder ilusi bagi para penulis, akademisi, serta penikmat karya-karya Shakespeare hari ini: kerja mesti diteruskan, sebab ia, sebagaimana dikatakan Chairil Anwar, “belum selesai, belum apa-apa.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti