tirto.id - Menduduki Filipina adalah hal penting bagi Jenderal Douglas MacArthur (1880-1964). Sebelum Perang Dunia II, MacArthur yang menjalani masa pensiun menjadi penasihat militer di Filipina. Namun, Perang Pasifik membuatnya ditugaskan pada 1941, menjabat Panglima Angkatan Darat Amerika Serikat di Timur Jauh. Kekuatan Jepang di sekitar Filipina membuat MacArthur dan pengikutnya mundur ke Australia. Di sana MacArthur pernah bilang, "Aku akan kembali."
Untuk bisa kembali ke Filipina, kekuatan Jepang di sekitar Papua harus dipreteli. Sebuah pulau dengan dataran luas tentu diperlukan sebagai batu pijakan untuk menuju Filipina. Pilihan jatuh ke Halmahera atau Morotai.
“Data intelijen yang tersedia mengindikasikan bahwa garnisun tempur Jepang yang kuat ada di Halmahera,” tulis Robert Ross Smith dalam The Approach to the Philippines (2014: 451). Sementara di Morotai pertahanan militer Jepang terbilang lemah. Akhirnya, MacArthur memilih Morotai.
Rencana penyerbuan itu diberitahukan via radio kepada Jenderal Walter Krueger (1881-1967), komandan Sixth United States Army di Area Pasifik Barat Daya pada Perang Dunia II. Pada 21 Juli 1944, Krueger diperintahkan melakukan persiapan.
Kruger lantas menunjuk Mayor Jenderal Charles Philip Hall (1886–1953), yang baru selesai dalam kampanye serbuan ke Aitape, sebuah kota kecil di pesisir utara Papua Nugini, untuk memimpin satuan tugas Operasi Tradewind guna merebut Morotai. Serangan itu dilakukan pada 15 September 1944.
MacArthur bergerak semakin ke utara. William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk (1994) menulis bahwa sang jenderal membuat markas besar di Hollandia (nama saat itu untuk Jayapura) pada 30 Agustus 1944, dan pada 15 September 1944 ia berada di kapal penjelajah Nashville menuju Morotai.
Memimpin pasukan pendarat menuju pantai, yang ditingkahi arus dan gelombang, MacArthur mendapati bahwa Pulau Morotai hanya dihuni 500-1.000 tentara Jepang, sementara ia punya pasukan 61.000 personel.
“Pendaratan itu tidak mendapat perlawanan; tanpa korban seorang pun,” tulis Manchester.
Smith menulis, sekitar 16 September pukul 8 pagi, pada hari-hari pertama operasi, ketiga resimen Divisi ke-31 pimpinan Mayjen John Cecil Persons bergerak maju. Sekitar pukul 1 siang mereka menemukan tentara Jepang menyerah begitu saja.
Divisi itu pun mengamankan daerah Pitu, yang dikenal sebagai daerah landasan pacu. Pada hari-hari berikutnya, pasukan penyerbu itu seolah menjadi pasukan pemburu terhadap satuan-satuan kecil serdadu Jepang yang bertahan di pulau itu. Resimen Infanteri ke-126 pada 17 September mulai menduduki pulau-pulau di lepas pantai barat daya dan sekitarnya.
Di bagian utara dan sepanjang pantai barat, militer AS menghantam aktivitas serdadu Jepang. Peralatan musuh berhasil dihancurkan, termasuk sekitar sepuluh truk peralatan radar, bahan bakar minyak, pakaian, dan mesin duplikasi. Banyak serdadu Jepang melarikan diri ke pedalaman Morotai ketika diserang, dan tak ingin mengambil langkah damai.
“Selain itu, stasiun radar dan pos pengamatan didirikan di banyak pulau lepas pantai dan di berbagai titik di sekitar pantai Morotai,” tulis Smith.
Pos-pos militer diperbanyak pada hari-hari berikutnya. Pos-pos tambahan dibangun di sekitar pantai timur laut dan utara. Kemudian di Pulau Raoe, stasiun radar terakhir didirikan pada 21 September 1944.
Sementara pos-pos dan stasiun radar dibangun, menurut catatan Smith, Divisi ke-31 telah membangun instalasi dan bivak militer. Morotai pun dijadikan basis pasukan AS dalam Perang Pasifik. Ia menjadi pusat arus logistik bagi pasukan AS beraksi ke arah Filipina dan Borneo timur.
- Akhir Tragis USS Houston, Kapal Kesayangan Presiden Roosevelt
- Kisah Apes Kapten Gordon dan Kapal Penjelajah Inggris HMS Exeter
- HMAS Perth: Dihantam Empat Torpedo Jepang, Karam di Selat Sunda
- Diserang Kapal Selam Musuh, Ashigara Karam di Laut Bangka
- Torpedo Menenggelamkan Ribuan Tawanan Perang Kapal Junyo Maru
- Karel Doorman Memilih Tenggelam bersama De Ruyter di Laut Jawa
Biaya Perang di Pihak Jepang & Sekutu
Militer Jepang di Halmahera, masih menurut catatan Robert Ross Smith (2014), berusaha dengan keterbatasannya, mengirim tak lebih tiga atau empat tongkang ke Morotai dari 15 September hingga 4 Oktober 1944.
Serdadu Jepang yang terbunuh di Morotai mencapai 104 orang, sementara 13 orang ditangkap. Beberapa nahkoda mencatat setidaknya 200 serdadu Jepang tenggelam dalam sebuah serangan di perairan antara Morotai dan Halmahera. Di pihak sekutu, hingga 4 Oktober, 30 orang tewas, 85 terluka, dan satu orang hilang. Sedikitnya, ada 46 kuburan tentara sekutu di daerah Tanjung.
Jenderal Krueger menyatakan operasi Morotai berakhir pada 4 Oktober 1944. Namun, bulan-bulan berikutnya, beberapa pasukan tongkang Jepang berhasil menyelinap melalui blokade Sekutu untuk mencapai Morotai dari Halmahera. Meski begitu, serangan via tongkang ini cuma bikin gangguan kecil bagi militer Sekutu.
Serangan militer Jepang via udaralah yang cukup merugikan bagi pasukan Sekutu. Meski hanya 12 prajurit Sekutu yang terluka, serangan-serangan udara berikutnya menyebabkan kerusakan pesawat-pesawat Sekutu di Morotai.
Hingga 4 Oktober 1944, hanya ada 49 kasus malaria dan 22 kasus demam berdarah; sebagian besar di luar Divisi ke-31. Sekitar 990 pria dari satuan tugas dirawat di rumah sakit. Di antara itu ada sekitar 175 tentara Sekutu yang cedera di luar pertempuran; dan 103 personel terluka akibat pertempuran. Hingga 4 Oktober, hampir semua kasus ini telah dievakuasi di kapal Seventh Fleet LST's.
Pihak yang luar biasa untung, dan nyaris tanpa kontribusi, atas perebutan Morotai dari pihak Jepang adalah Belanda. Sebelum Perang Dunia II, Morotai termasuk koloni Hindia Belanda. Di masa perang, di Australia, pejabat pelarian dari Hindia Belanda sudah mempersiapkan diri membentuk Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), yang diartikan sebagai pemerintah sipil Hindia Belanda.
"Urusan sipil di Morotai ditangani, seperti biasa, oleh Detasemen NICA [...] detasemen ini cepat membawa penduduk asli kembali di bawah kedaulatan Belanda," tulis Smith.
Itu tugas yang tergolong mudah mengingat penduduk lokal bersikap kooperatif. Bekerja melalui NICA, banyak penduduk setempat memberikan informasi mengenai disposisi Jepang di Morotai dan Halmahera; sementara yang lain bertindak sebagai pemandu untuk patroli yang tersebar di Morotai.
Dari sanalah NICA memobilisasi penduduk lokal membangun desa-desa. Setidaknya ada sekitar 350 penduduk yang terlibat.
Warisan Vital Pasca-PD II
Sesudah keberhasilan Sekutu mengoyak kekuatan Jepang yang lemah di Morotai, gugus tugas Operasi Tradewind dibubarkan pada 25 September 1944. Pasukan sekutu lantas berfokus membangun lapangan udara.
Dari sanalah Jenderal MacArthur memutuskan memperluas pembangunan lapangan udara di Morotai. Melebihi dari yang dipikirkan sebelumnya, ada tujuh landasan pacu yang dibangun, lima bandara sepanjang 2 kilometer dan dua lain sepanjang 3 kilometer.
Mengingat serangan udara Jepang cukup bikin kerepotan Sekutu, pengerjaan landasan pacu itu agak terhambat. Toh, pada hari-hari berikutnya, landasan udara bisa dibereskan, dengan bahan material yang mudah ditemukan di Morotai yang penuh karang.
Setelah hari ke-19 perebutan Morotai, pada 4 Oktober, landasan di Morotai mulai didarati pesawat pertama. Puluhan pesawat, bahkan pesawat pembom berukuran besar, akhirnya bisa mendarat.
Posisi Morotai itu sekali lagi sangat vital bagi pasukan Jenderal Douglas MacArthur karena “menghindari 22 ribu pasukan musuh dan berada 300 mil dari Filipina,” tulis William Manchester dalam MacArthur: Sang Penakluk.
Semasa di Morotai, MacArthur sempat tinggal di Pulau Zum-zum. Berkat menguasai Morotai, armada MacArthur tak hanya mampu merebut Filipina, tentara Australia Divisi VII pun bisa merebut beberapa kota di kawasan Indonesia bagian timur.
Belasan tahun setelah Perang Dunia II, Morotai menjadi tempat yang menarik. Hingga tahun 1950-an, peninggalan basis Sekutu itu menjadi landasan pacu terbesar di Indonesia bagian Timur. Hal ini pernah dimanfaatkan oleh Ventje Sumual dan pemimpin Permesta lain, yang pernah mengirim pasukannya untuk beberapa saat menguasai Morotai. Harapannya, jika Permesta punya pesawat besar, mereka bisa menempatkannya di sana.
Maka, demi kemenangan Sekutu di Pasifik bagian timur, merebut Morotai adalah kunci.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam