Menuju konten utama

Akhir Tragis USS Houston, Kapal Kesayangan Presiden Roosevelt

Awak kapal yang selamat menjadi saksi runtuhnya Hindia Belanda dan menerima nasib buruk sebagai tawanan Jepang.

USS Houston bertempur dalam Perang Pasifik dan tenggelam di Selat Sunda pada 1 Maret 1942. tirto/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Ketika USS Houston berada di Selat Sunda, usia John Reilly menginjak 22 tahun. Zaman sekolah di kampung halamannya, Woodbury New Jersey, ia adalah pemain bisbol yang lumayan. Beberapa bulan sebelum ia terdampar di Jawa, pangkalan Pearl Harbour diserang armada Jepang. Menurut Paul M. Possemato dalam Heroes and Teachers (2008), itulah kenapa Reilly—kelasi kapal USS Houston—dikirim ke Selat Sunda (hlm. 161).

Riwayat kapal yang diawaki Reilly ini cukup istimewa. USS Houston (CA-30), yang mulai beroperasi sejak akhir 1929, pernah berlayar di sekitar Pasifik ketika Jepang dan Cina berperang. USS Houston juga pernah menjadi kapal pesiar bagi Presiden Amerika.

Menurut catatan Public Papers of the Presidents of the United States: F.D. Roosevelt, 1934 (1938), kapal ini berangkat dari Annapolis pada 1 Juli 1934, lalu berlayar sejauh 10.000 mil. Di Pelabuhan Haiti, pada 5 Juli 1934, kapal ini singgah. "Tempat saya menginjak ke darat dan disambut hangat oleh Presiden Vincent dan kabinetnya," tutur Roosevelt (hlm. 342).

“Ini kapal favorit Presiden Franklin Delano Roosevelt,” dalam Naval Order of the U.S. (2003: 104). Dengan kapal ini, presiden yang memimpin AS dalam salah satu kurun tersulit itu juga mengunjungi negara lain.

Sejak 1940, USS Houston—yang berstatus sebagai kapal penjelajah—dinakhodai Kapten Albert Harold Rooks (1891-1942). Pangkat kapten yang disandang Rooks setara kolonel Angkatan Laut Indonesia. Sudah puluhan tahun ia berdinas di Angkatan Laut.

Semasa Perang Dunia I, ia pernah memimpin beberapa kapal perang biasa maupun kapal selam. Perang Dunia II, di front Pasifik, adalah perang besar kedua yang diikuti Rooks.

Tenggelam di Teluk Banten

Menjelang Pearl Harbour diserang oleh pasukan Kamikaze Jepang, USS Houston berada di sekitar Filipina. Kapal ini sedang dalam perjalanan dari Pulau Pinay menuju Darwin, Australia, dengan melewati Balikpapan dan Surabaya. USS Houston terlibat dalam armada laut gabungan Sekutu: American-British-Dutch-Australian-Command (ABDACOM).

USS Houston terlibat pertempuran di sekitar Laut Flores. Pesawat-pesawat tempur Jepang sempat menyerangnya hingga menara kapal hancur dan 48 orang terbunuh di kapal. Setelah pertempuran, kapal ini terus berlayar di bagian selatan Hindia Belanda. Ia makin terancam oleh armada pesawat dan kapal perang Jepang yang kian mendekat.

Akhir Februari, Houston berlabuh di Batavia. Kapal ini berencana menuju Cilacap, sebuah pelabuhan pelarian di selatan Pulau Jawa. Pada malam 28 Februari 1942, bersama kapal Australia HMAS Perth, USS Houston melaporkan tanda bahaya dari armada Jepang, beberapa jam setelah bertolak dari Tanjung Priok.

Di Teluk Banten, menurut James Hornfischer dalam Ship of Ghosts: The Story of the USS Houston, FDR's Legendary Lost Cruiser, and the Epic Saga of Her Survivors (2006: 109-110), kapal perusak Jepang Fabuki adalah kapal pertama yang menjangkau USS Houston dan HMAS Perth. Dua kapal penjelajah itu berusaha keras menghindari sembilan torpedo yang dimuntahkan Fabuki.

"Kapal kami lanjut bertempur sampai pukul 12.15 tengah malam 1 Maret (1942). Kami juga terkena empat torpedo dan tembakan senjata sebelum (kapal) kami tenggelam," tulis Jack Feliz dalam The Saga of Sailor Jack (2001: 38).

Akhirnya, USS Houston bernasib sama dengan HMAS Perth: tenggelam.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/01/21/uss-houston--mild--mojo.jpg" width="860" alt="infografik uss houston" /

Kapten Rooks termasuk yang terbunuh dalam pertempuran itu. Para awak kapal yang tersisa pun mau tidak mau harus berenang. Di antara yang berenang itu adalah John Reilly. Ia berjuang mencapai daratan Jawa. Kala itu, Jawa masih belum dikuasai Jepang sehingga masih bisa menjadi harapan mereka untuk selamat. Dan jika datang perintah, mereka dapat berperang lagi.

Dalam kisah tenggelamnya USS Houston, George S. Rentz, seorang pendeta, menunjukkan heroismenya. Ia ikut membawa orang-orang yang selamat sambil menyanyikan lagu dan doa.

“Rentz diam-diam meletakkan jaket pelampung di dekat pelaut yang terluka, dan menghilang di bawah ombak,” tulis Absolute Victory: America's Greatest Generation and Their World War II Triumph (2005: 206) yang diterbitkan majalah Time.

Heroisme Renzt belakangan membuatnya diganjar Navy Cross secara anumerta. Sedangkan Rooks dianugerahi Medal of Honour.

Sementara para awak kapal yang selamat dan mencapai Jawa menjadi saksi runtuhnya Hindia Belanda, bahkan harus menerima nasib buruk sebagai tawanan Jepang, termasuk John Reilly.

Menurut Paul M. Possemato, Reilly adalah tawanan perang yang dikirim ke Burma untuk membangun rel kereta api, dikenal sebagai rel maut. Zaman pendudukan Jepang adalah masa-masa sengsara bagi orang-orang Barat non-Jerman di Asia.

Meski kehilangan ratusan pelaut dan marinir di USS Houston, Angkatan Laut AS sudah punya 1.000 rekrutan baru—yang dikenal Houston Volunteers—sebelum 30 Mei 1942.

Sebuah kapal penjelajah baru juga sudah disiapkan. Setelah 1942, Amerika setidaknya punya kapal penjelajah ringan USS Houston (CL-81) dan kapal selam USS Houston (SSN-713).

Baca juga artikel terkait KAPAL KARAM atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
-->