tirto.id - Usia Arthur Bancroft baru 19 tahun ketika meninggalkan pacarnya dan bank tempatnya bekerja. Ia memutuskan untuk mendaftar di Royal Australian Navy (RAN), Angkatan Laut Australia. Dalam bukunya, Arthur's War (2010), ia mengisahkan pangkat pertamanya adalah kelasi (pelaut) dua dengan nomor F-3239. Kala itu tahun 1940 dan AL Australia baru saja punya armada baru berupa kapal bekas yang dibeli dari Angkatan Laut Inggris.
Kapal itu sebelumnya bernama HMS Amphion, dan saat dibeli armada Australia berubah nama HMAS Perth. Pada 1942, HMAS Perth dinahkodai Kapten Hector Macdonald Laws Waller (1900-1942). Bagi Laksamana Andrew Browne Cunningham, seperti ditulis dalam A Sailor’s Odyssey: The Autobiography of Admiral of the Fleet, Viscount (2017), Hector Waller adalah sosok “yang selalu gembira, humoris, liat, dan selalu bikin musuh kecut.”
Setahun setelah Arthur bergabung dengan AL Australia, Stoker Lloyd Munro menyusul. Arthur dan Stoker masih sama-sama muda dan di kapal HMAS Perth mereka berpakaian layaknya Popeye si Pelaut. Menurut David Spiteri dalam Stoker Munro: Survivor (2014), sebelum di Perth, Stoker bergabung lebih dulu di HMAS Cerberus di Victoria. Ia adalah kelasi bagian mesin.
Pada hari Valentine tahun 1942, ketika Perang Pasifik berkecamuk, HMAS Perth berlayar ke luar Australia. “Di bawah komando Kapten Hec Waller, HMAS Perth lepas jangkar dari Fremantle menuju Hindia Belanda, yang kala itu di bawah ancaman militer Jepang,” tulis David Spiteri.
HMAS Perth bergabung dengan armada American-British-Dutch-Australian-Command (ABDACOM). Kapal perang AS USS Houston sudah lebih dulu bergabung. Ini kapal kesayangan Presiden F.D. Roosevelt dan baru saja terlibat pertempuran di sekitar Laut Flores. JUga armada Belanda De Ruyter yang dipimpin Laksamana Karel Doorman bergabung.
Penderitaan di atas Laut Jawa
Seperti tertulis dalam Australia in the war of 1939-1945: Ser. 5. Medical, Volume 4 (1961), yang disusun Australian War Memorial, kapal perang penjelajah HMAS Perth tiba di wilayah Sekutu pada 24 Februari 1942. Awak kapal HMAS Perth menjadi sibuk setelahnya. Mereka harus berhadapan dengan suhu daerah tropis (hlm. 61).
“Setelah hari gelap, tanggal 28 Februari (1942), HMAS Perth dan USS Houston meninggalkan Tanjong Priok dengan tujuan melewati Selat Sunda,” tulis Foster Hailey dalam Pacific Battle Line (2017).
Baru beberapa jam berlayar, saat masih di sekitar Teluk Banten dan belum sempat melewati celah Selat Sunda, HMAS Perth melaporkan bahaya musuh. Rupanya, kapal-kapal Jepang dari St. Nicholas Point menghampiri mereka dalam armada yang besar.
James Hornfischer dalam Ship of Ghosts: The Story of the USS Houston, FDR's Legendary Lost Cruiser, and the Epic Saga of Her Survivors (2006) mencatat, kapal perusak Jepang Fabuki adalah kapal pertama yang menjangkau USS Houston dan HMAS Perth. Dua kapal penjelajah itu berusaha keras menghindari sembilan torpedo yang dimuntahkan Fabuki (hlm. 109-110).
Fabuki tak sendiri. Ada perusak Hamikaze dan Hatakaze yang juga diperintahkan menembak oleh Komodor Yasuo Yamashita. Pertempuran pecah sekitar pukul 23.00, menjelang hari berganti 1 Maret.
“Kapal kami lanjut bertempur sampai pukul 12.15 tengah malam, 1 Maret (1942). Kami juga terkena empat torpedo dan tembakan senjata sebelum (kapal) kami tenggelam,” tulis bekas awak USS Houston, Jack Feliz, dalam The Saga of Sailor Jack (2001: 38). Akhirnya, USS Houston tenggelam. HMAS Perth bernasib serupa: remuk oleh torpedo armada Jepang.
“Ketika pertempuran sedemikian menghebat, Kapten Waller mencoba mencari langkah aman dengan mendekati armada Jepang. Tak lama kemudian Perth digebuk empat torpedo dan tenggelam pada pukul 12.25 tanggal 1 Maret 1942,” tulis David Sliteri.
Arthur ingat bagaimana torpedo mengenai sisi kanan kapal. Ketika kapal tak bisa diselamatkan lagi, sang Kapten memberi perintah kepada awaknya: “Abaikan kapal, setiap orang (harus berjuang) untuk dirinya sendiri.”
Kapten Waller terbunuh dalam pertempuran itu.
Bagi awak yang ingin selamat, jalur terbaik adalah dengan mengapung menuju ke arah Serang, Banten. Daratan Jawa kala itu belum diduduki Jepang.
“Dengan memanjat pagar, aku meluncur turun ke dalam laut,” ujar kelasi Arthur.
Air laut terasa hangat, tertutup minyak yang lengket dan tebal, tumpahan dari kapal yang hancur ditorpedo. Arthur terhitung beruntung karena di dekat puing-puing kapal terbakar. “Aku mengambil napas dalam-dalam dan meniup jaket penyelamatku,” tulis Arthur. Kapal HMAS Perth perlahan turun ditelan ombak.
Hari sudah menunjukkan tanggal 1 Maret 1942 ketika ia dan para awak lain mencapai daratan. Upaya lolos dari maut memang rampung, tapi serbuan Jepang atas Hindia Belanda masih berlanjut.
Seminggu kemudian, di Kalijati, Subang, pada 8 Maret 1942, Hindia Belanda akhirnya takluk. Negeri jajahan yang loyo armada militernya ini harus menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang. Penderitaan Arthur dan kawan-kawannya pun kian berlarut-larut.
Arthur dan ratusan awak kapal lain jadi tawanan perang Jepang. Bukan di kamp interniran di Jawa, tapi Arthur dikirim ke Burma. Di sana, ia dipaksa melakukan kerja rodi untuk kepentingan militer Jepang: membangun rel kereta api—yang dikenal sebagai rel maut.
Menurut Spiteri, dari HMAS Perth ada 106 pelaut meninggal dan hanya 214 yang bisa dipulangkan ke Australia setelah perang.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan