tirto.id - Kapal van der Wijck tak cuma ada dalam novel karya Hamka yang legendaris itu. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1939), demikian judul novel tersebut, dianggap beberapa kalangan sebagai karya plagiat dari Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr.
Kapal Van der Wijck memang benar-benar ada. Ia adalah kapal milik maskapai pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Namanya diambil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (1840-1914), yang berkuasa dari 1893 hingga 1899.
Sang Gubernur Jenderal punya keterkaitan dengan KPM. Menurut catatan R.P. Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara: Penelusuran Kepustakaan Sejarah (2003), “Sebelumnya ia adalah anggota penasihat dari pelayaran KPM yang baru berdiri” (hlm. 259).
Meski telah diangkat menjadi gubernur jenderal sejak 15 Juni 1893, ia tetap merasa dirinya sebagai anggota KPM. Bahkan, van der Wijck dianggap terlalu KPM-sentris, merasa sayang setengah mati pada KPM dan tak rela jika ada maskapai pelayaran lain yang menyaingi.
Setelah van der Wijck meninggal pada 8 Juli 1914 di Baarn, Utrecht, namanya diabadikan pada sebuah benteng di Gombong. Lalu pada sebuah kapal milik KPM.
Pernah Mengangkut Hatta, Tenggelam di Laut Jawa
Nama kapal Van der Wijck disebut dalam Report on Commerce, Industry and Agriculture in the Netherlands East Indies (1922: 170). Kapal ini diluncurkan sebagai kapal penumpang, dibuat tahun 1921 oleh Maatschappij Fijenoord N.V., pabrik galangan kapal di Fyenoord, Rotterdam. Selain Van der Wijck, diluncurkan pula kapal-kapal barang: Sawah Loentoe, Siaoe, dan Benkoelen. Semuanya adalah kapal uap.
Kapal Van der Wijck memiliki panjang 97,5 meter, lebara 13,4 meter, dan tinggi 8,5 meter. Berat kotornya 2.633 ton; berat bersih 1.512 ton; dan daya angkut 1.801 ton. Kelas pertama mengangkut 60 orang; kelas dua 34 orang, dan geladaknya mampu menampung 999 orang.
Kapal ini juga punya kaitan dengan dunia pergerakan nasional. Ketika hendak dibuang ke Boven Digoel, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir juga naik kapal ini.
“Sesudah seminggu dalam bui Makassar, kami dinaikkan ke kapal KPM van der Wijck menuju Ambon,” tulis Mohammad Hatta dalam memoarnya, Mohammad Hatta: Memoir (1979: 352). Sampai disana, Hatta dan lainnya ganti kapal.
Riwayat kapal ini berakhir pada 20 Oktober 1936 ketika hendak berlayar dari Surabaya menuju Tanjung Priok. Pandji Poestaka edidi 23 Oktober 1936 memberitakan kejadian tenggelamnya kapal ini. Bertindak sebagai nahkoda kapal adalah B.C. Akkerman, yang usianya kala itu 43 tahun, dan sudah berdinas selama 25 tahun dan baru dua minggu bekerja di Van der Wijck.
Rute yang disinggahi kapal Van der Wijck menurut Pedoman Masjarakat (28/04/1937) antara lain: Makassar-Tanjung Perak (Surabaya)-Tanjung Mas (Semarang)-Tanjung Priok (Jakarta)-Palembang. Sebelum karam, kapal ini berlayar dari Makassar dan Buleleng.
Menurut Pandji Poestaka, kapal ini memuat 250 orang ketika lepas jangkar dari Surabaya. Beredar kabar, geladak van der Wijk membawa muatan kayu besi. Muatan kayu ini rencananya dipindahkan ke kapal lain setelah tiba di Tanjung Priok dan akan dibawa ke Afrika.
Kapal ini tenggelam di kawasan yang disebut Westgat, selat di antara Pulau Madura dan Surabaya, sekitar 22 mil di sebelah barat laut Surabaya. Ketika tenggelam, kapal ini baru beroperasi 15 tahun. Kapal jenis ini biasanya berada dalam bahaya ketika berumur 25 hingga 30 tahun.
Delapan pesawat udara jenis Dornier yang bisa mendarat di permukaan air dikirim untuk penyelamatan penumpang. Kapal dan perahu nelayan juga bergerak menyelamatkan korban Van der Wijck. Sekitar 20 penumpang berhasil dievakuasi dengan pesawat dan dibawa ke Surabaya. Sementara perahu nelayan menyelamatkan puluhan penumpang, baik orang Eropa maupun bumiputera ke daratan.
Jumlah penumpang yang kemudian berhasil diselamatkan adalah 153 orang. Sementara ada 70 orang, baik penumpang maupun awak kapal, dilaporkan hilang.
Monumen bagi Para Penyelamat di Pelabuhan Brondong, Lamongan
Tak hanya terbitan berbahasa Indonesia yang memberitakan kecelakaan kapal Van der Wijck. Koran-koran berbahasa Belanda di Belanda dan koran-koran berbahasa Inggris di Australia juga memberitakan bencana yang dialami Van der Wijck.
Pandji Poestaka edisi3 November 1936 merilis berita dari pemerintah tentang korban bumiputera yang hilang. Penumpang yang naik dari Makassar dan hilang antara lain Rabi, M. Saptemo, dan Mohd. Ali. Penumpang hilang yang naik dari Buleleng antara lain Bagoes Poetoe Breges, Ajoe Njoman Majoen, dan Talis Aziz. Penumpang dari Surabaya yang hilang adalah Tomo, Tambang S.M.N, Kasman, Mastoer, Tompo, Basir, Darijah, Djani, Kaban, Kasnawi, Moes, serta Riaman alias Jasmin.
Sementara anak buah kapal yang dinyatakan hilang adalah Aboe Djalil, Kale, Simber, Gefernades Nane, Naim, Matarip, Min, Talka, Ardjo, Moekijar, Awie, Roen, Markan, Markawi, Matjakoep, Atemo, Daklan, Noersalim, Aboe, Ronggeng, dan Taloe.
Pedoman Masjarakat (28/04/1937) memberitakan, untuk memeriksa kasus tenggelamnya van der Wijk, Dewan Pelayaran (Raad van Scheepvaart) yang mengurusi perhubungan laut bersidang di Betawi pada 21 April 1937. Pada sidang itu, seorang petugas komunikasi kapal dipuji karena kesigapan dan pengorbanannya.
Kapten Akkerman, seperti diberitakan The Age (22/10/1936) terbitan Melbourne dalam artikel "Mysterious Marine Disaster: Loss of van der Wijck", disebut termasuk orang terakhir yang keluar dari kapal ketika kapal terbalik. Ia menyelamatkan seorang perempuan Belanda dan seorang anak. Ia menjaga mereka bertahan dari tumpahan minyak kapal.
Peristiwa tenggelamnya kapal itu kemudian diperingati di Lamongan lewat pendirian sebuah tugu di Pelabuhan Brondong. Di tugu itu terdapat prasasti terima kasih kepada para penyelamat, termasuk terhadap para nelayan, bertuliskan: "Tanda Peringatan Kepada Penoeloeng-Penoeloeng Waktu Tenggelamnya Kapal van der Wijck".
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan