Menuju konten utama
5 April 1964

Inspeksi Jenderal Douglas MacArthur di Tengah Desing Peluru Jepang

Jenderal Douglas MacArthur tak ragu untuk maju menginspeksi pergerakan pasukannya di medan pertempuran.

Inspeksi Jenderal Douglas MacArthur di Tengah Desing Peluru Jepang
Ilustrasi MOZAIK Douglas Macarthur. tirto.id/Sabit

tirto.id - Dari atas dek kapal penjelajah USS Claveland, jenderal berkacamata hitam itu fokus mengamati sebuah kota yang sedang jadi neraka. Douglas MacArthur, nama jenderal itu, adalah panglima tertinggi dalam komando sekutu anti-Jepang di Pasifik. Dia merasa kota itu harus diduduki Sekutu.

Di sebelah MacArthur ada jenderal lain tak berkacamata yang juga ikut mengamati: George Kenney. Di sebelah Kenney, ada Jenderal Courtney Whitney, juga tak berkacamata. Begitu yang digambarkan dalam buku MacArthur: The Supreme Commander at War in the Pasific (2015) yang disusun James W. Zobel. Mereka berharap Operasi Oboe Dua dapat merebut kota Balikpapan.

Dari jauh dia mengamati kota itu sedang ditembaki dari laut, sebelum pasukan pendarat (amfibi) Australia dari Divisi ke-7 bergerak maju. Sebelumnya, selama tiga minggu kota itu dijatuhi bom dari udara oleh pesawat-pesawat sekutu. Hingga banyak serdadu-serdadu Jepang terpanggang.

“Serangan amfibi di Balikpapan, berlangsung pada 1 Juli 1945. Setelah tiga minggu kota itu dibom dari udara dan dari laut,” tulis Ian Pfennigwerth dalam Royal Australian Navy & MacArthur (2009).

Pendaratan ini bukan hal mudah. “Satu-satunya pantai yang bisa dipakai untuk pendaratan di dekat pelabuhan dirintangi oleh barikade kayu dengan tanda air rendah dan oleh sebab itu dijagai banyak post senapan mesin dan artileri.”

Kata berita radio, "malam sebelumnya pasukan Divisi ke-7 Australia telah mendarat tanpa korban dan pukul enam petang itu tercatat 11 orang jadi korban, satu di antaranya luka serius,” lapor Kenney dalam General Kenney Reports: A Personal History of the Pacific War (1997). Ini bisa dimaklumi karena banyak sisa-sisa serdadu Jepang yang bertahan di lubang-lubang persembunyian.

Di lubang-lubang perlindungan, biasanya serdadu-serdadu Jepang menunggu dengan senapan mesin mereka. Serdadu-serdadu Australia yang terlihat pasti jadi sasarannya. Hingga saat ini, beberapa sisa lubang perlindungan yang biasa disebut sebagai Goa Jepang masih bisa ditemukan di sekitar Balikpapan.

Rupanya, MacArthur tak sabar untuk memasuki kota yang sedang diurus Divisi ke-7 Australia pimpinan Mayor Jenderal Teddy Milford itu. Karena masih belum benar-benar bersih dari tembakan serdadu, tentu MacArthur dihalang-halangi. Kematian seorang jenderal adalah kerugian. Namun, MacArthur tak mau menunda. Terpaksa sebuah sekoci disediakan untuk mengangkut.

“Mereka berangkat setelah serdadu-serdadu Jepang masuk gua di bukit-bukit. MacArthur mengajak Daniel Barbey dan lainnya untuk ikut menemaninya untuk melakukan inspeksi ke darat,” tulis William M. Leary dalam We Shall Return!: MacArthur's Commanders and the Defeat of Japan, 1942-1945 (1988). Beberapa staf dan wartawan mengikutinya.

MacArthur dan rombongannya hanya sekitar 200 meter garis pertahanan lawan. Suara rentetan senapan mesin masih menyalak di beberapa titik. “Sekitar ratusan meter dari pantai pendaratan, MacArthur dan rombongan perwira tingginya berdiri di sebuah bukit melihat sekitar kota Balikpapan,” kata Kanney.

Seorang Brigadir Australia meminjami MacArthur sebuah peta. Mereka berjalan ke sebuah titik di mana terdapat pasukan Australia. Menurut catatan Park Penny dalam The Most Dangerous Man in America: The Making of Douglas MacArthur, Barbey mengaku: “Seorang mayor Australia berlari mendekati mereka dan memperingatkan kepada semuanya untuk berlindung ada senapan mesin di atas bukit. Belum selesai dia melapor, di sana terdengar suara rentetan peluru senapan mesin.”

Semua yang ikut pun berlindung. Beberapa detik suara tembakan berhenti, tampaknya terpojok oleh serangan serdadu-serdadu Australia. MacArthur santai saja. “Dia tetap berdiri dan mengamati petanya," lanjut Barbey.

Infografik Mozaik MacArthur mendara di Indonesia

Infografik Mozaik MacArthur mendara di Indonesia. tirto.id/Rangga

Setelah merasa cukup mempelajari peta, MacArthur melipatnya lalu memberi perintah kepada Brigadir Australia: “Ayo kita pergi ke sana dan melihat apa yang sedang terjadi. Omong-omong, Brigadir, saya kira usul yang bagus jika pasukan patroli mengambil terlebih dahulu senapan mesin itu sebelum seseorang terluka karenanya.”

Tak lama MacArthur di kota yang luluh lantak itu. Dia harus kembali ke kapal. Selain sebelum ada peluru Jepang menembus kulitnya, tentu saja dia banyak urusan bersama stafnya untuk memantau front lain.

“Dua hari kemudian MacArthur kembali ke Manila dari pendaratan di Balikpapan,” tulis Walter Bornemen dalam MacArthur at War: World War II in the Pacific (2016).

Balikpapan bukanlah daerah pertama yang pernah dikunjungi MacArthur. Setelah memberi perintah merebut Morotai pada bulan Juli 1944, menurut Robert Ross Smith dalam The Approach to the Philippinesli (1953), pulau yang terletak di Maluku Utara ini direbut sekitar bulan September.

Pulau itu kemudian disulap menjadi pangkalan militer, baik untuk Angkatan Laut dan Udara, yang rencananya akan digunakan untuk batu lompatan militer ke Mindanao, Filipina, dan daerah-daerah lainnya di Pasifik. Pulau itu baru diinjak MacArthur pada 15 September 1944.

Sebelum Morotai, Papua termasuk daerah yang lebih dulu diduduki. Pada 22 April 1944, MacArthur dan stafnya mendarat di Jayapura, setelah sekitar pantai diamankan. Kegembiraan perebutan kota penting di Papua dari tangan serdadu Jepang itu dirayakan dengan es krim soda.

Sejarah kemudian mencatat kebesaran jenderal Amerika ini. Setelah front Perang Pasifik, MacArthur dikenal dalam Perang Korea juga. Jenderal yang sudah puluhan tahun jadi perwira militer yang pernah ditugasi di Filipina sebelum Perang Pasifik ini, kemudian oleh Amerika Serikat ditambahi satu bintang lagi di pundaknya, jadilah dia Jenderal Bintang Lima.

MacArthur meninggal pada 5 April 1964, tepat hari ini 57 tahun lalu.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 1 Juli 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani & Irfan Teguh