Menuju konten utama

Jejak Orang-orang Indonesia di Pasukan Amerika

Pada Perang Dunia II, orang-orang Indonesia bergabung dan ikut bertempur dengan tentara AS melawan Jepang.

Jejak Orang-orang Indonesia di Pasukan Amerika
Adolf Gustaaf Lembong (tengah). FOTO/Istimewa

tirto.id - Kisah orang-orang Indonesia yang bergabung dengan tentara Amerika pernah terjadi. Mereka menjadi serdadu Amerika Serikat (Amerika) sebelum terbentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dan lahirnya Tentara Nasional Indonesia.

Alasan mereka bermacam-macam, antara lain karena sengaja mendaftarkan diri sebagai tentara Amerika saat mereka berada di Amerika, ada juga yang terjebak dalam peperangan lalu bergabung untuk bergerilya melawan tentara pendudukan Jepang. Setelah perang usai, di antara mereka ada yang pulang kembali ke Indonesia dan bergabung dengan TNI yang baru berdiri pada 1945. Namun, tak sedikit juga orang Indonesia yang dipekerjakan sebagai penerjemah pasukan Amerika di Jepang.

Salah satu dari mereka adalah Adolf Gustav Lembong. Namun, Lembong tak pernah mendaftarkan diri sebagai tentara Amerika. Ia hanya tercatat sebagai anggota unit gerilya Luzon, Luzon Guerrilla Army Force (LGAF), yang terkoordinasi dengan satuan tempur Amerika di Timur Jauh, United State America Force Far East (USAFFE). Kisah Lembong ini bisa ditemukan dalam laporan tugasnya di Filipina dalam: Rapporten inzake de guerillaaktiviteiten van KNIL-militair Adolf Lembong als 1e luitenant infanterie van de LGAF USAFFE op de Filipijnen van augustus 1943 tot april 1945 en betreffende zijn voordracht tot toekenning van een koninklijke onderscheiding. (Koleksi Arsip Nasional Belanda). Laporan itu diketik oleh Lembong dalam bahasa Inggris.

Sebelum bergerilya di Filipina, Lembong adalah petugas radio dari Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) pada era Hindia Belanda. Ia sempat ditawan di Bandung, lalu dijadikan pembantu tentara Jepang (Heiho) di front Pasifik. Ia berhasil kabur bersama orang-orang Minahasa mantan KNIL yang dijadikan Heiho lainnya, lalu bergabung dengan gerilyawan Filipina yang melawan tentara pendudukan Jepang di sana. Mereka di antaranya adalah: Alexander Rawoeng, Jan Pelle, Marcus Taroreh, Marthin Sulu, Alexander Kewas, Albert Mondong, Hendrik Terok, Andries Pacasi, dan William Tantang.

Saat Lembong bertugas di KNIL hanya sebagai petugas radio yang pangkatnya di bawah level perwira. Saat bertugas di LGAF-USAFFE, Lembong di bawah komando Kapten Robert Lapham dari Tentara ke-6, dengan pangkat Letnan Satu. Ia juga sempat jadi perwira di Batalyon Pertama Infanteri APO 6, di bawah komando Letnan Kolonel Francis Corbin—dari ketentaraan Amerika—sebagai komandan batalyon.

Di Filipina, ia tak hanya menemukan bahaya melawan serdadu-serdadu Jepang, tapi juga menemukan jodohnya. Seorang perempuan Filipina bernama Asuncion Angel. Jelang berakhirnya perang, Lembong pernah membuat proposal pembebasan Minahasa dari tangan militer Jepang. Proposal itu tak terlaksana, karena Jepang akhirnya menyerah.

Setelah perang selesai, ia dikembalikan ke KNIL dengan pangkat Letnan. Ketika Agresi Militer Belanda I, Lembong kabur dari KNIL dan masuk TNI, ia terbunuh dalam kudeta APRA Westerling di Bandung 1950.

Selain Lembong dan kawan-kawannya, beberapa orang Kalimantan juga direkrut sebagai serdadu oleh militer Amerika, di bawah komando sekutu. Mereka dibawa dari Samboja, Kutai, Kalimantan oleh sisa pasukan komando SAD-Force alias Z Force, yang melakukan pengintaian dan penggalangan di Samboja. Sisa pasukan yang dipimpin Letnan William Dwyer—dari Amerika—itu berhasil membawa empat orang antara lain Sapran, Saat, Usup, dan Pa Solo. Begitu cerita dari buku Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-sanga (1982).

Sampai di Morotai (kini Maluku Utara), yang dikuasai militer Amerika dan sekutunya, mereka dilatih jadi tentara oleh sekutu. Setelahnya, empat orang itu kembali lagi ke Samboja. Dengan misi yang kurang lebih sama, tapi tak lagi ditemani orang-orang Amerika. Dalam misi ini, mereka berhasil merekrut orang Samboja lain untuk melawan Jepang. Mereka adalah Maksum, Marta, Berahim, Bakar, dan Kari Asan yang sama-sama dilatih di Morotai.

Menurut buku Palagan Perebutan Kota Minyak Sanga-sanga, orang-orang kecil yang namanya tak dikenal dalam sejarah Indonesia itu, belakangan terlibat dalam pendaratan pasukan sekutu yang hendak melemahkan pasukan-pasukan Jepang di Balikpapan, Samboja, Samarinda, Tarakan, dan sekitarnya pada 1945.

Infografik orang indonesia dalam tentara

Kisah Sudarmo Boender dan Imam Pamoedjo

Kisah lain datang dari Sudirmo Boender. Sudirmo berkisah dalam buku Terhempas Prahara ke Pasifik : Kenangan Seorang Prajurit Bekas Anggota The Rainbow Division, Sebuah Divisi Yang Terkenal Selama Perang Pasifik (1982). Buku yang berkisah tentang dirinya yang sedang kuliah dan ikut serta dalam militer Amerika di front Pasifik. Ia terpilih “untuk dididik jadi Underwater Demolition Team (UDT), rombongan perusak benda di bawah permukaan air (semacam pasukan katak). Latihannya? Tobaaat! Kalau latihan gabungan sudah hampir tak tertahankan, maka latihan UDT ini sepuluh kali lebih berat dari itu,” kenang Sudirmo.

UDT adalah cikal-bakal dari satuan elit Navy SEAL Amerika. Setelah Perang Pasifik selesai, Sudirmo pulang ke Indonesia. Di mana dia tak menemukan lagi keluarganya di Yogyakarta, yang sudah sangat lama ditinggalkan. Ia sempat bertahun-tahun ditawan pejuang Republik di Jawa Timur. Setelah dibebaskan dia sempat ikut pasukan Belanda dalam Perang Korea dan akhirnya masuk TNI. Selain Sudirmo yang punya kisah jadi tentara Amerika, ada juga Soedarpo Sastrotomo.

Soedarpo Sastrotomo yang merupakan pengusaha pelayaran pendiri PT Samudra Indonesia Tbk. Soedarpo juga punya cerita seorang kawannya yang pada saat Perang Dunia II, malah terjebak di Amerika, ia adalah Imam Pamoedjo. Imam bersama mantan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) Hoegeng Iman Santoso pernah bikin band Hawaian waktu masih sekolah di Yogyakarta. Mereka kos di depan MULO Ngupasan. Kisah itu ditulis dalam biografi Soedarpo, Bertumbuh Melawan Arus (2001) karya Rosihan Anwar.

“Imam sudah jadi pelajar AMS suka menjadi pandu kaum turis di Yogyakarta untuk memperoleh uang, Ia juga jadi super oplet.” Kisah Imam Pamoedjo tak hanya seru seperti cerita petualangan tapi juga romantis dan tragis ala anak muda zaman itu. “Ia pacaran dengan seorang gadis ningrat bernama Siti Sundari, Putri Pangeran Suryodiningrat. Sebagai ayah, sang pangeran tidak setuju hubungan anaknya dengan Imam. Mereka tetap menikah dan akibatnya Siti Sundari diusir dari rumah. Imam dan Sundari pindah ke Surabaya. Mereka hidup dalam kesukaran ekonomi. Mereka sudah mempunyai anak laki-laki.”

Kejadian Perang Dunia II rupanya bertanggungjawab juga atas bubarnya rumah tangga Imam. “Taktala perang dengan Jepang pecah akhir 1941, Imam bekerja di kapal KPM yang membawanya ke Australia, kemudian ke Amerika. Di San Fransisco dia meninggalkan kapal, menghilang dalam masyarakat, bergabung dengan tentara Amerika sebagai prajurit selama Perang Dunia II.” Sementara itu, keluarga kecilnya tertinggal di Jawa—yang menjadi daerah pendudukan Jepang dan sukar kehidupannya.

Tak jelas Imam berdinas di nama. Menurut Hoegeng Iman Santoso, dalam autobiografinya Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), “Sebelum militer Jepang menduduki Indonesia, Mas Imam Pamoedjo mendengar berita bahwa Amerika Serikat membuka kesempatan bagi siapa saja buat menjadi serdadu Amerika. Begitu nekatnya ia sehinga ia hanya naik kapal kecil Amerika, menempuh perjalanan sulit dan penuh bahaya. Nah, ketika sampai di Amerika ia ditangkap pihak imigrasi sebagai pendatang gelap, sedangkan lowongan buat jadi serdadu sudah ditutup.”

“Seusai perang menjadi Warga Negara Amerika. Namanya menjadi James Imam Pamoedjo,” tulis Rosihan. Imam ingin bersatu kembali dengan keluarganya seusai perang. Ia hendak hidup di Amerika. “Sundari dan anaknya yang ditinggalkan di Jawa diusahakannya bergabung dengan Imam. Melalui seorang teman, Darmanto, yang kembali ke Indonesia. Tapi takdir menghendaki lain. Teman itu malahan jatuh hati pada Sundari dan menikahinya.”

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra