Menuju konten utama

Sukarno & Para Pekerja Seks di Masa Pergerakan Indonesia

Pelacur tidaklah buruk di mata Sukarno. Mereka justru punya potensi besar sebagai pendukung pergerakan nasional juga.

Sukarno & Para Pekerja Seks di Masa Pergerakan Indonesia
Presiden Soekarno dan Letnan Kolonel Untung [Foto/Wordpress.com]

tirto.id - Tak ada tempat aman bagi kaum pergerakan nasional. Polisi rahasia bernama Politieke Inlichtingen Dienst (PID) ada di mana-mana. Menurut Takashi Shiraishi dalam Hantu Digoel (2001), kantor lembaga intel itu sudah ada di Betawi, Surabaya, dan Semarang. Agen-agen PID pun sudah tersebar di seluruh Hindia Belanda.

”Agen-agen yang tersebar tersebut biasanya dikonsentrasikan pada wilayah-wilayah yang memiliki kegiatan politik radikal, seperti di Jawa dan Sumatera,” tulis Allan Akbar dalam skripsinya yang dibukukan, Memata-matai Kaum Pergerakan: Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 (2013). Hampir semua tokoh pergerakan menjadi intaian PID. Termasuk Sukarno ketika dia tinggal di kota Bandung.

“Aku menjadi sasaran utama bagi [mata-mata PID] Belanda. Mereka mengintipku seperti berburu binatang liar. Mereka melaporkan setiap gerak-gerikku. Sangat tipis harapanku agar bisa luput dari intipan ini. Kalau para pemimpin dari kota lain datang, aku harus mencari tempat rahasia untuk berbicara,” aku Sukarno dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1965).

Sukarno mengaku dia sering berbicara di belakang sebuah mobil sambil menundukkan kepalanya. Itu bahkan bukan satu-satunya cara. “Aku memikirkan siasat gila-gilaan untuk membikin bingung polisi,” kata Sukarno. “Tempat lain yang kami pergunakan untuk pertemuan ialah rumah pelacuran. Aduh, ini luar-biasa bagusnya.”

Rapat di rumah pelacuran biasa dilakukan sekitar pukul 08.00 atau pukul 09.00 malam. Sukarno dan kawan-kawan tidak masuk berombongan sekaligus, sebab itu akan mencurigakan. Mereka masuk satu per satu. Jika pun dengan yang lain, hanya dalam rombongan kecil. “Setelah memperoleh kebulatan kata kami bubar; seorang melalui pintu depan, dua orang lagi melalui pintu samping, aku mengambil jalan belakang dan seterusnya.”

Hari-hari setelah pergi ke rumah pelacuran, ada panggilan dari Komisaris Besar Polisi, Albrechts. Dia menanyai Sukarno sebagai orang paling tahu karena mendapat info dari mata-matanya. “Sekarang dengarlah, tuan Sukarno, kami tahu dengan pasti, bahwa tuan ada disebuah rumah pelatjuran semalam. Apakah tuan mengingkarinya?”

“Tidak, tuan” jawab Sukarno kepada Komisaris. “Saya tidak dapat berdusta kepada tuan. Tuan mengetahui saya, saya kira."

Perwira polisi itu bertanya lagi lebih dalam dengan galak: “Untuk apa? Kenapa tuan pergi kesana?"

“Apa maksud tuan? Bukankah saya seorang lelaki? Bukankah umur saya lebih dari 16 tahun?” Sukarno bertanya balik, tapi si perwira terus ngotot mendesak ingin tahun. Sukarno pun berusaha pasang wajah mesum agar teryakinkan dia adalah hidung belang yang datang bercinta dan bukan rapat.

“Yaaahhh, dugaan tuan untuk apa saya ke sana? Untuk bercintaan dengan seorang perempuan, itulah alasannya," kata Sukarno.

Dalam autobiografinya, Sukarno mengakui bahwa "pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia.” Setidaknya mereka menurutnya lebih hebat dibanding intel melayu yang suka bawa handy talky dan berjaket hitam. Kepada kolega-koleganya di Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno pernah mengajarkan, “Kalau menghendaki mata-mata yang jempolan, berilah aku seorang pelacur yang baik.” Daya tarik seks pelacur menjadi alat penting dalam dunia intelijen.

Hasilnya, mengagumkan menurut Sukarno, juga koleganya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan para pelacur itu untuk membantu kaum pergerakan nasional. Paling tidak, “aku dapat menyuruh mereka menggoda polisi Belanda. Jalan apa lagi yang lebih baik supaya melalaikan orang dari kewajibannya selain mengadakan percintaan yang bernafsu dengan dia”

Selain mengelabui polisi, para pelacur itu bisa juga mengorek keterangan dari polisi itu dengan daya goda birahi yang menggetarkan polisi-polisi kolonial. “Dan betul-betul ia memperolehnya. Polisi-polisi yang tolol ini tidak pernah mengetahui, dari mana datangnya keterangan yang kami peroleh.”

Hal macam ini sulit diperoleh dari kader partainya. Selain mengelabui dan mengorek informasi dari aparat kolonial, mereka juga menyumbang harta. Karena mereka selalu didatangi laki-laki hidung belang yang mencicipi tubuh mereka dengan imbalan uang, mereka lebih sering punya uang dibanding anggota partai yang dipimpin Sukarno.

“Mereka menjadi penyumbang yang baik apabila memang diperlukan.” Sejarah mencatat mata-mata perempuan terbilang efektif dalam mengumpulkan data intelijen. Salah satu yang terkenal adalah Mata Hari.

Berhubung kaum moralis sudah banyak di zaman itu, maka Sukarno juga sering mendapat kecaman. Ali Sastroamidjojo mengeluh dengan sopan ke Sukarno, “Sangat memalukan. Kita merendahkan nama dan tujuan kita dengan memakai perempuan sundal.” Bagi Ali juga “ini melanggar susila.” Suatu kali, Ali juga pernah bertanya alasan mengapa Sukarno mengumpulkan 670 orang pelacur.

“Sebabnya ialah karena saya menyadari, bahwa saya tidak akan dapat maju tanpa suatu kekuatan. Saya memerlukan tenaga manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagi saya persoalannya bukan soal bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang ampuh, itulah satu-satunya jang kuperlukan," kata Sukarno.

“Mereka memiliki daya-penarik seperti besi berani. Setiap hari Rabu cabang partai mengadakan kursus politik dan anggota-anggota dari kaum bapak akan datang berduyun-duyun apabila dapat melepaskan pandang pada tentaraku yang cantik-cantik itu.” Bagi Sukarno, bukan masalah asusila atau tidaknya pekerjaan seseorang, tapi seberapa bisa menjaga rahasia partai. Adalah tanggung jawab besar “untuk membasmi anasir-anasir dalam partai—baik laki-laki maupun perempuan—yang tidak bisa menyimpan rahasia.”

Pelacur di masa pergerakan nasional, bagi Sukarno, bukan musuh pergerakan. “Kamipun harus membasmi cecunguk-cecunguk—yaitu orang yang dibayar untuk memata-matai partainya sendiri.”

Ketika pelacur-pelacur itu kena razia dan dikenakan penjara 7 hari atau bayar denda lima rupiah, Sukarno menyarankan mereka memilih penjara ketimbang membayar denda. Para pelacur itu menuruti Sukarno. Di dalam penjara, mereka akan berguna bagi Sukarno, “karena penjara adalah sumber keterangan yang baik.”

Setelah bebas, seorang kepala penjara pun bisa jadi korban keisengan para pelacur itu. Satu dari pelacur itu akan mengganggu kepala penjara dan istrinya yang sedang jalan-jalan di malam hari. Di hadapan istrinya, si pelacur akan menggoda si kepala penjara. Bagi Sukarno, ini adalah perang urat saraf juga: merusak rumah tangga aparat kolonial.

infografik sukarno dan pelacur

Di masa pendudukan Jepang, para pelacur "menolong" Sukarno lagi. Nafsu seks serdadu-serdadu Jepang sulit dibendung. Gadis-gadis sipil jelata Indonesia banyak yang terancam. Dalam kasus yang ditemui Sukarno, banyak gadis Minangkabau terancam dicabuli Jepang. Sukarno pun melirik lagi barisan pelacur. Jika dulu di Bandung, kali ini di ranah Minang.

“Semata-mata sebagai tindakan darurat, demi nama baik anak-anak gadis kita dan demi nama baik negeri kita, saya bermaksud hendak menggunakan layanan (jasa) dari para pelacur di daerah ini. Dengan demikian orang-orang asing itu dapat memuaskan hatinya dan tidak akan menoleh untuk merusak anak gadis kita,” kata Sukarno.

Tentu saja cara Sukarno berkolaborasi dengan para pelacur itu tak bisa diterima sebagian kalangan. Serdadu-serdadu terkenal ganas untuk urusan selangkangan. Mengarahkan mereka ke pelacuran, dalam pikiran Sukarno, akan menjauhkan mereka dari tindakan mengganggu dan memperkosa anak-anak gadis.

Tentu saja tak semua perempuan Indonesia terselamatkan dari gerayangan tangan dan nafsu birahi serdadu-serdadu Jepang. Banyak perempuan dijadikan pemuas nafsu serdadu-serdadu Jepang—yang dikenal dengan sebutan Jugun Ianfu.

Baca

Tak semua tokoh masyarakat berpikir seperti Sukarno. Jasa para pelacur zaman itu bagi Indonesia seharusnya dihargai. Belakangan, ketika potret Sukarno menghias rumah pelacuran, Sukarno tidak marah.

"Biarkanlah aku di sana,” katanya.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani