tirto.id - Waktu zaman Hindia Belanda, Morotai dan banyak pulau lain di bagian timur tak sekeras cengkeraman kolonialismenya seperti di Pulau Jawa. Orang-orang Morotai hidup dalam kesederhanaan.
“Orang lokal Morotai masih berpakaian kulit kayu Ganemo atau Malijo. Itu Suku Galela dan Suku Tobelo,” kata Muhlis Eso, seorang penggiat sejarah dan wisata setempat.
Mereka menyambung hidup dengan cara melaut dan berkebun. Selain itu ada juga yang jadi cacanga alias bajak laut.
Sejak era kolonial, orang-orang Belanda sudah masuk ke Morotai. Satu di antaranya Willem Heybel, pegawai partikelir Belanda. Kedatangan Jepang memengaruhi banyak hal, termasuk hidup Heybel.
Nasib Heybel tanpa juntrungan pada masa pendudukan Jepang. Saat itu orang-orang sipil di Morotai juga merasa terancam oleh kehadiran serdadu Dai Nippon. Orang-orang Morotai dipekerjakan oleh pasukan Hirohito.
“Jepang mempekerjakan orang-orang. Pohon kayu yang besar-besar ditebang, diangkat. Mereka membuat jalan dan landasan,” ujar Muhlis Eso.
Nohodeto, yang waktu zaman Jepang masih bocah dan kini berusia sekitar 80-an tahun, mengingat bagaimana kehidupan di masa Jepang. Nohodeto mengingat penggalan lagu yang diajarkan militer Jepang. Dengan bahasa gado-gado Jepang-Indonesia, ia bernyanti: "… di fajar di laut timur. Matahari tertinggi bersinar-sinar. Kini aku gembira di dada kita. Penuh-penuh harapan kepulauanku. Oseio onasaku..."
“[Masa] Jepang bagus. Tapi kalau ada salah, kita harus lari, nanti dipukul,” ujar Nohodeto. Seingatnya, serdadu Jepang cepat lupa pernah marah terhadap warga sipil.
“Sebelum pendaratan pasukan Amerika dan sekutunya, surat edaran disebar di daratan Morotai. Orang Morotai mulai lega,” ujar Muhlis.
Pada 15 September 1944, armada Sekutu masuk ke Morotai dari Siyo, Pangeo, Pilowo, Wayabula, Tanjung Gila, dan Joubela. Pulau Morotai saat itu terbakar oleh bom Sekutu lantaran serdadu Jepang pantang menyerah, memilih mundur ke pedalaman.
Setelah pendaratan, pihak Sekutu mencari orang-orang Morotai guna jadi pemandu untuk mengejar serdadu Jepang yang lari ke hutan di pedalaman Morotai. Ada juga orang-orang suku Galela dan Suku Tobelo yang ikut membantu menghancurkan Jepang.
“Orang Suku Galela dan Suku Tobelo terdepan masuk hutan. Apabila ada serdadu Jepang keluar dari hutan, orang Morotai bersembunyi, Amerika dan sekutunya membuang tembakan, hutan menjadi gundul,” cerita Muhlis.
'Pasukan Sekutu Suka Memberi Permen'
Tak semua serdadu Jepang tewas atau menyerah. Salah satu yang lolos dan baru turun gunung pada 1970-an adalah Teruo Nakamura, yang diabadikan sebagai nama jalan di Morotai.
Berbeda sikap terhadap pasukan Jepang, menurut Nohodeto dan beberapa orang tua Morotai yang saya temui, tentara Sekutu dipandang baik oleh warga lokal. Mereka adalah tuan-tuan bule Amerika dan Australia yang baik alias Meester voorgoed. Mereka suka bagi-bagi permen, termasuk kepada Nohodeto.
“Hi baby, you lika candy?” cerita Nohodeto meniru ucapan tentara bule dari pihak Sekutu, sebuah peristiwa lebih dari tujuh dekade lalu.
Pihak yang diuntungkan dari kemenangan Sekutu dalam pertempuran di Laut Pasifik adalah Belanda, yang kontribusinya minim dalam Perang Asia Timur Raya. Nohodeto punya pengalaman buruk dengan seorang tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Si tentara itu keturunan Ambon dan menabraknya saat ia berjualan pisang di masa Belanda menguasai sebentar Pulau Morotai.
Kepergian Sekutu berarti kesempatan bagi Kerajaan Belanda membangun kembali angkatan perangnya.
Di Morotai, Belanda mendirikan Leger Organisatie Corps, yang menjadi rintisan dari pendirian kembali KNIL. Korps ini berperan dalam pendudukan pasukan Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) alias Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di beberapa kota di Indonesia bagian tengah dan timur. Dan orang-orang Morotai tentu termasuk golongan masyarakat Indonesia yang tidak mendengar Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Kisah Willem Heybel dan Letnan Fisher
Kembali ke cerita Willem Heybel, pegawai partikelir Belanda. Ia termasuk yang dimasukkan ke dalam Leger Organisatie Corps. Seingat Wempie, ayahnya berpangkat Sersan Mayor di KNIL.
Di tangsi LOC Morotai, yang saat ini lokasinya di sekitar Lanud Leo Wattimena milik AURI, Heybel bertemu seorang perempuan Tobelo dari marga Djoe. Mereka menikah pada 1946 di tangsi LOC. Tempat itu jadi rumah sakit.
Wempie lahir pada 1948. Ketika Willem kembali ke Belanda, Wempie dan ibunya sempat ikut. Sebelum pulang, Willem pernah membangun perkebunan dan sempat punya kapal besi yang berlayar di antara Tobelo-Morotai hingga tahun 1949. Namun, sang ibu memilih kembali ke Maluku dan Wempie mengikuti sang ibu.
Setelah Wempie besar, ia jadi pegawai negeri sipil. Sementara ayahnya jadi pengusaha gandum di negeri Belanda. Wempie kini sudah menginjak usia 70 tahun. Ia kawin dua kali dan masuk Islam. Nama depannya berganti menjadi Wahidin Djoe.
Di masa pensiun, ketika saya bertemu dengannya pada awal April lalu, Wempie tidak pernah bertemu dengan ayahnya dan kehilangan kontak. Terakhir ia mendapatkan kabar soal ayahnya sewaktu Sail Morotai.
Tak cuma Wempie sebagai orang Indo di Morotai. Ada seorang Indo lain, campuran orang Galela dan perwira tentara Amerika.
Sewaktu tentara Sekutu masih di Morotai, Letnan Franky Fisher terlibat cinta lokasi sekaligus cinta kilat dengan perempuan Morotai bernama Sarina. Menurut Wempie, keduanya belum sempat nikah resmi.
Sayangnya, Letnan Fisher keburu pulang. Sarina ditinggal dalam kondisi hamil. Sekitar tahun 1946, Sarina melahirkan bayi laki-laki bernama Nani, diambil dari penggalan kata letnan seperti pangkat Fisher.
Seharusnya Nani berhak menyandang nama Fisher di belakang namanya. Begitu juga anak perempuan Nani yang dinamai Sara. Sara berwajah Indo dan kulitnya putih. Mirip dengan aktris Suzanna muda, sebelum ia jadi ratu film horor Indonesia. Sara, yang kini berusia 35 tahun dan bekerja di toko pakaian milik orang Jawa, dengan malu-malu bercerita kepada saya bahwa setelah kepergian Fisher, baik sang letnan maupun neneknya tak pernah menjalin kontak lagi.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam