tirto.id - Raden Mas Sardjono Soeria Santoso adalah anak kandung Politik Etis. Ia berasal dari Jawa Timur dan mencicipi sekolah menengah ala Barat. Hingga dia bisa diterima di Akademi Militer Kerajaan Belanda, Koninklijk Militaire Academie (KMA), di Breda. Menurut Harry Albert Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2008:142), Soeria Santoso adalah orang Jawa pertama yang diterima KMA Breda pada 1918 (hlm. 142).
Pemuda kelahiran 1898 ini, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988:4), lulus dan menjadi letnan dua KNIL pada 1921. Ia terdaftar di korps artileri (pasukan meriam). Di korps ini, Soeria Santoso adalah satu-satunya kapten bumiputera dari 66 kapten artileri KNIL.
Semasa menjadi serdadu KNIL, Soeria Santoso pernah ditugaskan di Jakarta dan Cimahi. Menurut De Indische Courant van Zaterdag (09/02/1935), dari Jakarta dia dimutasi ke Cimahi pada 9 Februari 1935. Selain itu, dia pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon Artileri di Jagamonyet, Jakarta.
Sudah lazim terjadi militer pribumi susah naik pangkat. Biasanya, pangkat letnan disandang 10 tahun atau lebih, baik bagi perwira pribumi maupun Eropa. Pangkat kapten di zaman kolonial biasanya dijabat hingga 10 tahun. Selama berkarier sebagai kapten artileri KNIL, Soeria Santoso pernah menjadi pelindung bagi surat kabar kaum militer bernama Oentoek Keperloean Kita—yang terbit sejak1928.
Setelah dinas 20 tahun, seperti diumumkan surat kabar Oentoek Keperloean Kita, barulah Soeria Santoso naik pangkat jadi mayor pada 31 Juli 1941. Dia menambah deretan pribumi Indonesia yang jadi mayor KNIL. Orang Indonesia lain yang jadi mayor di KNIL adalah Oerip Soemohardjo dari kesatuan infanteri (pasukan jalan-kaki).
Diam di Zaman Jepang
Masa bahagia Soeria Santoso sebagai mayor KNIL tidaklah lama. Belum genap setahun jadi mayor, KNIL dengan mudah dikalahkan balatentara Jepang dan Hindia Belanda yang dibelanya juga menyerah pada 8 Maret 1945. Hindia Belanda bubar, Soeria Santoso pun jadi orang sipil.
Di masa pendudukan Jepang, menurut catatan Rudolf Mrazek dalam Syahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996: 432-433), Soeria Santoso pernah dekat dengan kelompok gerakan bawah tanah Sutan Sjahrir. Sebagai bekas mayor KNIL, dia tentu saja diawasi militer Jepang.
Anaknya, Iwan Santoso, yang belajar di sekolah kedokteran Ika Dai Gakku Jakarta, terlibat bersama kelompok Sjahrir. Rumah mereka pernah jadi tempat pertemuan, meski sekadar diskusi. Dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991: 114), T.B. Simatupang mengenang bahwa rumah Soeria Santoso berada di Jalan Tosari, Jakarta.
Soeria Santoso, menurut Simatupang, “mempunyai jaringan informasi yang cukup luas.” Di masa pendudukan Jepang, Soeria Santoso ambil risiko mencari tahu jalannya Perang Dunia II. Dari beberapa kunjungan, Simatupang mendapat kesan orientasi Soeria Santoso masih ke Belanda yang sudah kalah. Seolah-olah dia yakin Hindia Belanda akan tegak lagi.
Soeria Santoso adalah orang super sabar hidup di bawah pendudukan Jepang. Ia tak segegabah Amir Sjarifuddin yang nyaris dieksekusi Jepang. Kesabaran Soeria Santoso berbuah manis. Jepang akhirnya menyerah kalah pada Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan.
Tetap Setia kepada Ratu Belanda
Pada September 1945, Soebadio Sastrosatomo mengusahakan pertemuan antara Sutan Sjahrir, Nyonya Sujono dan Soeria Santoso. “Pertemuan ini diadakan di permulaan September dan berlangsung pukul 03.00 pagi. Saya sendiri tidak hadir dalam pertemuan tersebut,” aku Soebadio dalam bukunya, Perjuangan Revolusi (1987: 53). Setelah itu, Soebadio bertanya pada Sjahrir soal pertemuan tersebut. "Bung Sjahrir mengatakan bahwa Nyonya Sujono adalah orang yang lebih nasionalis daripada Mayor Soeria Santoso."
Meski percaya pada Sjahrir, Soebadio mendatangi sang mayor untuk tahu lebih jelas. Tentu saja tanpa menyinggung pertemuan pukul 03.00 pagi itu. Dalam sebuah pertemuan, Soebadio bertanya pada Soerio Santoso soal di sisi mana ia akan berpihak. Dengan tenang Soerio Santoso memberitahu bahwa dirinya adalah penasihat Sekutu. Soal kemerdekaan Indonesia, Soeria Santoso bilang: “Itu terserah kepada kaum nasionalis.”
“Selanjutnya, saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumahnya,” aku Soebadio (hlm. 54). Setelah pertemuan itu, Soebadio ke rumah Mohammad Hatta dan mengeluh soal Soeria Santoso. Hatta tidak terkejut dan bilang: “Sudah saya duga dari semula bahwa Mayor Soeria Santoso tidak pernah menjadi seorang nasionalis.”
Abdul Haris Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1989), mengaku: "Bersama beberapa orang teman mengajukan nama beliau untuk calon menteri pertahanan. Karena ia terkenal dulu dalam KNIL sebagai perwira yang pintar. Tapi, waktu bertemu beliau, ternyata ia tak ada perhatiannya terhadap Republik" (hlm. 210).
“Sehabis perang tiada penting peranan militer,” kata Soeria Santoso seperti diingat Nasution. Tapi, Soeria Santoso bergabung lagi dengan KNIL di Indonesia yang mulai bangkit setelah 1945. Suatu kali pada zaman Revolusi, Nasution didatangi wartawan. Wartawan itu memberi kabar bahwa Soeria Santoso ikut menyusun konsep perang gerilya militer Belanda untuk menghadapi tentara Indonesia.
“Tidak usah khawatir, Kolonel Santoso adalah seorang ahli artileri, belum tentu ahli gerilya,” sahut Nasution.
Pada Maret 1946, Soeria Santoso bukan lagi seorang mayor, tapi sudah naik jadi letnan kolonel. Posisinya cukup penting juga unik. Santoso memimpin Afdeling Intelligence en Loyaliteit Onderzoek (Bagian Intelejen dan Penelitian Kesetiaan). Kepada Charles van der Plas, salah satu pimpinan NICA, Soeria Santoso pernah menulis laporan soal kedekatan kelompok Islam dengan balatentara Jepang di masa pendudukan Jepang (Arsip NEFIS no 18: Verslag CCC IAMA-CAB Afdeling Intellegence en Loyaliteit Sonderzoek Tentang Peringatan kepada Ch. O. van der Plas mengenai propaganda Islam oleh Jepang yang dibuat oleh Letnan Kolonel Soeria Santoso tanggal 20 Maret 1946).
Bulan berikutnya, Soeria Santoso muncul dalam perundingan Indonesia-Belanda di Hooge Veluwe. Harry Poeze mencatat, Soeria Santoso bersama Sultan Hamid II dan Letnan Julius Tahija ikut mengiringi Letnan Gubernur Jenderal Hubertus van Mook (hlm. 369).
Terlihat jelas Soeria Santoso bersilang jalan dengan bekas perwira macam Oerip Soemohardjo dan yang lebih muda seperti Didi Kartasasmita, Nasution, atau Simatupang—yang memilih ikut Republik dan menjadi petinggi tentara. Jika Soeria Santoso bergabung dengan TNI, pangkat jenderal akan didapatnya.
Soeria Santoso lebih merasa terikat sumpah setia kepada Ratu Belanda yang diucapkannya ketika bergabung sebagai perwira KNIL. Meski bagi banyak bekas perwira KNIL, sumpah kepada Ratu Belanda sudah gugur sejak bubarnya KNIL di tahun 1942. Soeria Santoso mirip Abdul Kadir Widjojoatmodjo yang memimpin delegasi Belanda dalam Perundingan Renville.
Pada Februari 1948, seperti dimuat Het Dagblad (25/02/1948), Soeria Santoso sudah jadi kolonel. Jabatannya lebih mentereng lagi: Sekretaris Negara urusan keamanan dalam negeri. Dia juga menjadi Anggota Dewan Federal.
Setelah Pengakuan Kedaulatan, menurut berita Preanger Bode (24/11/1950), Soeria Santoso ditangkap pada 23 November 1950 di Vioslaan, Jakarta. De Telegraf (07/08/1974) memberitakan kematian Soeria Santoso pada 27 Juli 1974 di Jakarta.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan