Menuju konten utama
24 Desember 1992

Abdulkadir Widjojoatmodjo Membela Ratu Belanda

Hamba Sang Ratu
Belanda. Menyalak di
geladak kapal.

Abdulkadir Widjojoatmodjo Membela Ratu Belanda
Ilustrasi Abdulkadir Widjojoatmodjo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo lahir dari keluarga pegawai negeri Jawa yang loyal kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Priyayi kelahiran Salatiga tahun 1904 itu, menurut harian Nederlandsche Dagbladpers te Batavia (14/01/1948) dalam sebuah artikel berjudul "Abdulkadir", menjadi ambtenaar selepas lulus sekolah menengah kolonial.

Setelah bekerja di kantor wedana, dia bertugas di Konsulat Belanda di Jeddah. Karier macam ini juga pernah dilakoni pahlawan nasional Haji Agus Salim di awal abad ke-20.

Baca juga:Memimpin Itu Menderita, Seperti Agus Salim

Selama di Arab Saudi, dia banyak melakukan perjalanan di sekitar Timur Tengah. Di antaranya ke Kairo dan Yaman. Abdulkadir sempat pulang dan ikut kursus di Batavia. Sejak 1930, menurut catatan M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007), ia menjabat Sekretaris Konsulat Belanda. Pada 1 Mei 1933, Abdulkadir menjadi Wakil Konsul Belanda di Jeddah (hlm. 240).

“Dia dididik untuk dinas kepegawaian dan melewati jenjang jabatan dari tingkat rendah sampai tinggi,” catat Het Nieuws: Algemeen Dagblad (17/01/1948).

Tahun 1941, menurut catatan Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, Abdulkadir melakukan perjalanan dinas ke Amerika dan Inggris. Setelah kembali ke Indonesia, ia menjabat sebagai ketua Vereniging van Indonesische Ambtenaren (Perhimpunan Pejabat Indonesia).

Jelang kalahnya Hindia Belanda oleh balatentara Jepang, Abdulkadir sempat tugas belajar lagi di Bestuur Academie. Menurut pengakuan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993), Abdulkadir tak ragu mendatangi diskusi dengan mahasiswa-mahasiswa muda yang kuliah di sekolah hukum Recht Hogeschool (RHS) Jakarta (hlm. 213).

Laki-laki bertubuh kecil, bersuara bariton, dan rendah hati ini, di mata Hoegeng cukup berwibawa. Awal 1942, Abdulkadir ikut serta dengan pejabat-pejabat Belanda yang kabur ke Australia ketika Hindia

Belanda diduduki Jepang.

Di sanalah Abdulkadir bergabung dan jadi petinggi Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA), sebuah pemerintahan sementara Hindia Belanda. Di NICA, Abdulkadir dapat pangkat kolonel, meski sebenarnya dia pejabat sipil.

Awal tahun 1945, menurut P. J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010), Abdulkadir adalah Staff Officer NICA (SONICA) di Hollandia (Jayapura), Papua (hlm. 89). Ketika Republik Indonesia diproklamasikan, Abdulkadir memilih setia sebagai pegawai negeri Belanda sebagai pejabat NICA. Dia tak bergabung dengan pemerintahan Republik yang baru lahir.

Baca juga: Orang-orang Indonesia di kubu NICA

Bukan Orang Indonesia Sejati?

Abdulkadir, menurut Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, dianggap sebagai tangan kanan Dr. Hubertus van Mook. Pada Juli 1947, Abdulkadir diangkat sebagai Regerings Commissaris Bestuur Aangelegenheden (Recomba) alias komisaris administrasi pemerintah Belanda di Jawa Barat.

Baca juga: Dan Hubertus van Mook pun Kehilangan Tanah Airnya

Tiga bulan kemudian, pada Oktober 1947, Abdulkadir dijadikan Direktur Jenderal Umum Urusan Negosiasi Kerajaan Belanda dengan Republik Indonesia. Posisi itulah yang membuatnya berhadapan dengan pihak republik dalam berdiplomasi.

Buku pelajaran sejarah di Indonesia mencatat nama Abdulkadir sebagai pemimpin delegasi Belanda dalam Perundingan Renville. Sedangkan Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.

“Abdulkadir Widjojoatmodjo—anak didik van Mook yang setia—sebagai ketua komisi yang dibentuk pemerintah Belanda merupakan suatu langkah licik Belanda untuk menguatkan tampilan perseteruan antara Belanda dan Republik Indonesia sebagai urusan keluarga,” tulis Frances Gouda dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?: Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949 (2008: 276).

Menurut catatan Gouda, Abdulkadir pun kena cela siaran radio Voice of Free Indonesia (VOPI) sebagai "bukan orang Indonesia sejati".

Baca juga: Saat Belanda Membatalkan Sepihak Perjanjian Linggarjati

Infografik Mozaik abdulkadir widjojoatmodjo

Setelah tentara Belanda angkat kaki dan mengembalikan kedaulatan Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949, Abdulkadir sempat beberapa tahun tinggal di negeri kelahirannya. Menurut Handelsblad (08/01/1993), selama 17 tahun Abdulkadir bertahan di Indonesia. Ia pernah tinggal di Jalan Surabaya, Jakarta. Hoegeng pernah mampir ke rumahnya.

Menurut Hoegeng, ketika dirinya hendak menjadi Kepala Reserse Kriminal di Medan, Abdulkadir yang makin menua menelponnya. Abdulkadir yang berkawan baik dengan Hoegeng memberitahu bagaimana kultur masyarakat Medan.

Masih menurut Hoegeng, Abdulkadir punya anak tiri yang berseberangan dalam garis politik. Namanya Sardjono, yang biasa dipanggil Djony. Hoegeng pernah ditampung di rumah Djony di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, seusai Agresi Militer Belanda I. Saat itu, Djony bekerja sebagai intel bagi Republik.

Baca juga: Diancuk, Jenderal Hoegeng jadi Menteri

“Selama sekitar 17 tahun [Abdulkadir] berada dalam keadaan sulit di Indonesia. Lalu dia datang sakit dan kelelahan ke Belanda,” tulis Handelsblad (08/01/1993). Koran itu memuji Abdulkadir sebagai laki-laki istimewa, berkepribadian karismatik, sopan dan menarik, sangat patuh dan tepat waktu. Seseorang yang halus dan pemberani.

Di negeri Belanda, Abdulkadir bertahan hingga kematiannya yang tiba-tiba, sehari sebelum Natal 1992, tepat hari ini 25 tahun lampau. Ia meninggal dalam usia 87.

Handelsblad mencatat, “Abdulkadir bukanlah seorang nasionalis dari tipe Republiken pascaperang. Namun, dia adalah seorang patriot, yang menganggap kepentingan negeri Indonesia akan lebih terjamin jika bergabung dengan Belanda atas dasar kesetaraan yang utuh.”

Di mata para nasionalis Indonesia, Abdulkadir tentu punya citra buruk karena berada di pihak Belanda. Ia lebih banyak dikenang sebagai seorang pengkhianat.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan