tirto.id - Almarhum Gus Dur yang kocak itu, suatu hari pernah berkelakar soal polisi Indonesia. “Di negeri ini,” katanya, “cuma ada tiga polisi jujur: patung polisi, polisi tidur, dan polisi Hoegeng.” Barangkali itulah salah satu lelucon Gus Dur yang paling terkenal dan sering direproduksi orang banyak (baca: Belajar Menertawakan Diri Sendiri dari Gus Dur).
Orang yang disebut Gus Dur dalam joke itu, Hoegeng Iman Santoso, memang sosok langka. Ketika korupsi menjadi sinonim Kepolisian Negara Republik Indonesia pada awal Orde Baru berkuasa, Hoegeng tampil sebagai antonimnya. Ia dikenal sebagai Kapolri yang jujur, bahkan teramat jujur. Saking bersihnya Hoegeng, sampai-sampai di masa pensiun ia harus mencari tambahan pendapatan dengan bekerja sebagai host acara musik Hawaiian di TVRI sekaligus menjadi penyanyinya.
Baca juga:Polisi Korup Hindia Belanda
Namanya hingga hari ini melegenda sebagai ikon polisi bebas korupsi. Pada saat menjabat sebagai Kapolri (9 Mei 1968- 2 Oktober 1971), ia tidak mempan sogokan duit sebesar apapun. Ia juga tak segan melawan kehendak kekuasaan yang ingin mengintervensi kasus yang ditangani kepolisian.
Orang seperti Hoegeng tentu saja tidak disenangi penguasa korup. Pendiriannya yang tegas terhadap penyelewengan jabatan dan kekuasaan membuatnya tersingkir dari gelanggang. Konon, Soeharto tidak berkenan dengan Hoegeng gara-gara sikap tegasnya itu.
Akhirnya Hoegeng memang benar-benar digusur. Pada zaman itu, ada istilah “di-dubes-kan” untuk pejabat-pejabat yang tidak mau menuruti kehendak Soeharto. Setelah dicopot dari jabatannya sebagai Kapolri, Hoegeng dipanggil menghadap ke Cendana untuk ditawari menjadi duta besar.
“Bagaimana, Mas Hoegeng, mengenai dubes itu?” tanya Soeharto.
Hoegeng menjawab bahwa dirinya tidak bersedia menjadi dubes, tapi posisi apa pun di Indonesia akan dia terima dengan lapang dada.
“Di Indonesia tidak ada lowongan, Mas,” timpal Pak Presiden.
Hoegeng membalas pernyataan presiden tanpa ragu, “Kalau begitu, saya keluar saja.”
Mendengar jawaban Hoegeng yang tegas, penguasa Orde Baru itu cuma diam.
Baca juga:
Hoegeng lahir di Pekalongan, sebuah daerah di pantai utara Jawa yang secara kultural berbeda dengan kebudayaan Jawa Mataraman yang penuh unggah-ungguh. Orang-orang Pekalongan dan sekitarnya punya kecenderungan nyablak yang tinggi. Barangkali inilah yang membentuk karakter Hoegeng yang selalu berterus terang, terutama ketika berhadapan dengan penyelewengan-penyelewengan.Seorang teman masa kecilnya pada suatu siang berkunjung ke kantor Hoegeng. Waktu itu, Hoegeng baru saja dilantik Bung Karno sebagai Menteri Iuran Negara di Kabinet “100 Menteri” pada 1965. Tanpa basa-basi, orang itu masuk begitu saja ke dalam kantor.
“Pak Hoegeng pasti akan menerima saya,” katanya percaya diri, sembari memaksa kepada sekretaris.
Baca juga: Serba-serbi Sejarah Kabinet di Indonesia
Begitu masuk ke dalam ruangan dan pintu tertutup kembali, Hasan Bongkok, nama si kawan itu, langsung menyalami Hoegeng dengan penuh keakraban.
“Asu, kowe bener-bener asu, ya. Gendeng benar wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri!”
Keduanya kemudian tertawa dan saling berangkulan. Itulah gaya orang Pekalongan yang, kata Hoegeng, “Segala tatakrama dan bahasa halus lenyap, diganti dengan bahasa Tarzan yang hangat, spontan, dan jujur.”
Pada kesempatan lain, Hoegeng menerima sebuah telegram dari teman akrabnya sejak masa kuliah. Pengirimnya: Dr. Soebandrio. Saat itu, Soebandrio menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Aljazair. Ia mendengar dari saluran radio, sahabatnya itu diangkat menjadi menteri.
Maka, jauh-jauh dari Aljazair, Soebandrio segera mengirim ucapan selamat lewat telegram. Isinya sambutan hangat dari seorang sahabat yang gembira dan bangga. Hoegeng juga senang sekali menerima telegram itu.
Hoegeng mengenang bagaimana ia merasa tersanjung dikirimi telegram yang begitu manis dan bersahabat dari Pak Menlu. Baginya, itulah ucapan selamat yang paling orisinal dan paling meriah di dunia. Isi telegram cuma sebaris kalimat: “Diancuk, kowe diangkat pula jadi menteri!”
Barangkali sikap hantam kromo itulah yang justru membuat Bung Karno kesengsem pada Hoegeng. Selain karena kejujuran dan sikapnya yang tidak neko-neko. Untuk soal ini, Hoegeng punya sebuah anekdot yang bisa dibaca dalam autobiografi yang dituturkan kepada Abrar Yusra dan Ramadhan K.H., Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Di suatu subuh, Bung Karno tiba-tiba meminta Hoegeng ke istana. Hoegeng tidak tahu, ada apa gerangan Bung Besar memanggilnya pagi sekali. Tidak ada jadwal rapat kabinet hari itu. Ia pikir, pasti ada urusan mahapenting.
Baca juga: K.S. Tubun: Polisi Pertama yang jadi Pahlawan Nasional
Sampai di istana, para menteri dan pejabat lain sudah berkumpul. Tapi tak ada rapat, tiada pula urusan mendesak. Pagi itu, Bung Karno kedatangan seorang kawan lama, teman seangkatan zaman kuliah di Technische Hoogeschool dulu. Si konco lawas itu, orang Belanda bernama Ir. Konijnenberg, sekarang punya jabatan mentereng sebagai Direktur Koninklijk Luchtvaart Maatschappij (KLM), maskapai penerbangan Belanda.
“Hei, kenalkan, ini kawan lama saya, namanya Pak Kelinci,” kata Bung Karno di depan hadirin. Konijn dalam bahasa Indonesia berati "kelinci".
“Nah, Pak Kelinci besok mau kembali ke Belanda lewat Amerika. Ayo, kalian mau minta apa pada Pak Kelinci?” Lanjutnya.
Jadi, Bung Karno memanggil para menterinya untuk menitip oleh-oleh kepada Konijnenberg. Hoegeng melihat banyak rekan menteri minta ini-itu. Ia bingung dan tidak enak. “Baru kenalan kok disuruh minta-minta,” pikirnya. Akhirnya, tibalah giliran Hoegeng bicara.
“Pak Kelinci, di New York saya punya teman, baru saja saya terima suratnya,” kata Hoegeng sembari memperlihatkan sepucuk surat.
“Jadi kalau Anda sampai di New York, tolong hubungi teman saya lewat telpon dan bilang suratnya sudah saya terima.”
“Hanya itu?” jawab Konijnenberg.
“Ya, cukup itu saja.”
Baca juga: Indahnya Suasana Ramadan di New York
Pak Kelinci terdiam sesaat. Dia heran, ada orang yang tidak mau minta apa-apa. Bung Karno yang paham betul tabiat Hoegeng, cuma tertawa. “Ya begitu, sudah. Dari Hoegeng itu saja,” kata si Bung.
Sejak kejadian itu, Konijnenberg tertarik dengan sosok Hoegeng dan menaruh hormat kepadanya.
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso wafat pada 14 Juli 2004. Andaikata Hoegeng diberi kesempatan berumur lebih panjang, hari ini ia persis berusia 96 tahun. Ia lahir pada 14 Oktober1921.
Di alam sana, barangkali ia sedang merayakan ulang tahun dengan bernyanyi Hawaiian bersama Bung Karno dan, tentu saja, Gus Dur. Di alam sini, orang-orang -- kita semua -- masih sedang dan akan terus menerus mencari Hoegeng yang baru.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS