Menuju konten utama

Melepas Bayang-bayang Korupsi

Persoalan korupsi masih membayangi Indonesia. Korupsi di Indonesia terjadi dari kelas 'teri' seperti pungutan liar (pungli) hingga 'kakap'. Ini dapat dilihat dari  indeks persepsi korupsi Indonesia yang  masih masuk dalam daftar negara korup, yang bisa mengganggu masalah ekonomi dan investasi.

Presiden Joko Widodo berpidato saat pembukaan Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) tahun 2016, Jakarta, Kamis (1/12). Presiden menegaskan komitmennya terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, salah satunya dengan peningkatan pelayanan publik di Indonesia. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/foc/16.

tirto.id - "Jangan ada yang dikorupsi satu rupiah pun APBN kita ini. Saya kira mekanisme pencegahan itu sudah ada. Ini mengingatkan saja karena ini duit gede banget."

Pesan tegas Presiden Jokowi ini disampaikan usai penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2017, di Istana Negara, Rabu (7/12/2016), atau kurang dua hari sebelum peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember.

Peringatan Jokowi ini sangatlah wajar, karena sampai saat ini Indonesia belum bebas dari bayang-bayang korupsi yang sudah kronis bahkan mengganggu perekonomian. Transparansi Internasional pada awal 2016 mengumumkan indeks persepsi korupsi (ICP) Indonesia 2015 yang sedikit membaik. Skor Indonesia naik dari 34 menjadi 36 dibanding tahun sebelumnya, tapi angka ini belum melegakan.

Transparansi Internasional memembuat peringkat ICP dari 168 negara di seluruh dunia, dengan skor 0 untuk paling korupsi, dan 100 untuk paling bersih. Skor rata-rata di dunia adalah 43, artinya semua negara dengan skor di bawah itu dianggap masih korup, tak terkecuali Indonesia.

"Perlu dilihat lagi berdasarkan survei internasional, salah satunya tentang investasi dan bisnis, di Indonesia yang paling bermasalah adalah dalam indicator of doing business adalah 'corruptive' yang angkanya 11,7. Artinya ada korupsi dari yang kecil sampai yang besar," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dikutip dari Antara.

Untuk urusan korupsi, pemerintah memang tak tinggal diam. Di penghujung Oktober lalu, Presiden Jokowi telah menandatangani payung hukum operasi pemberantasan pungutan liar (pungli) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Menkopolhukam Wiranto ditunjuk sebagai komando satgas dan berada langsung di bawah pengawasan Presiden.

Pembentukan Saber Pungli ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah untuk memberantas praktik pungli yang merupakan bagian dari korupsi yang terjadi di semua lini, seperti pelayanan publik dan perizinan. Presiden mewanti-wanti agar semua aparat negara tidak main-main dengan pungli ini.

“Tidak hanya urusan sertifikat, tidak hanya urusan SIM, tidak hanya urusan KTP, tidak hanya urusan izin-izin, semuanya akan saya awasi. Hati-hati. Saya sudah mengingatkan,” tegas Jokowi pada waktu itu.

Kemarahan Presiden Jokowi tentu sangat beralasan. Selain merugikan masyarakat kecil, praktik pungli ini juga meresahkan para investor yang mau menanamkan modalnya di Tanah Air. Tak sedikit dari mereka yang mengurungkan niatnya untuk investasi saat dihadapkan pada praktik pungli ini.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menggarisbawahi, pungli bukan soal jumlah uang, tetapi lebih pada efek dominonya. Misalnya, akibat praktik pungli ini, proses perizinan yang seharusnya bisa dikerjakan sehari atau dua hari molor hingga enam bulan atau delapan bulan.

Karena itu, sejak dilantik sebagai Presiden, Jokowi sudah menegaskan akan melakukan reformasi birokrasi dan pelayanan publik, termasuk memperbaiki sistem perizinan dan memberantas pungli. Hal ini tidak bisa ditunda-tunda lagi mengingat persaingan antarnegara semakin kompetitif dalam memperebutkan investasi. Tak heran, jika pemerintah telah mengeluarkan lebih dari selusin paket ekonomi hingga 2016 ini.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/11/01/TIRTOID-Pungli-IMigrasidandayaglobal_ratio-9x16.jpg" width="861" height="1529" alt="Infografik Pungli dan Daya Saing Global" /

Keresahan Investor

Keseriusan Presiden Jokowi dalam upaya memberantas pungli tidak serta merta membuat para investor lega. Mereka masih khawatir praktik pungli, terutama yang terjadi di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi menjadi hambatan dalam berinvestasi di Indonesia.

Presiden Kamar Dagang dan Industri Korea Selatan, Lee Kang Hyun mengatakan, masalah pungutan liar di bidang keimigrasian menjadi salah satu hal yang paling banyak dikeluhkan pengusaha asing, termasuk negeri ginseng dalam berinvestasi di Indonesia selama ini.

Lee mengaku, pungli kerap diterapkan dalam kepengurusan administrasi tenaga kerja asing. Meski sudah ada arahan untuk memberantas pungli ini, pihaknya tetap khawatir hal itu tetap terjadi karena sistem dan kesejahteraan di Indonesia yang belum optimal.

“Kemarin Pak Jokowi sudah mengumumkan tidak ada pungli lagi, tapi kami khawatir di lapangan tidak seperti itu,” ujarnya usai Forum Investor Korea Selatan, di Jakarta, Senin (31/10/2016), seperti dikutip Antara.

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa sebab. Ketua Komite Imigrasi dan Pekerja Kadin Korea Selatan di Indonesia, Kim Min Gyu mengatakan, salah satu masalah rumit dan kerap menjadi sasaran pungli adalah soal pengurusan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) menjadi KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap) yang memerlukan rekomendasi Ditjen Imigrasi dan kantor wilayah imigrasi setempat.

Saat mengurus surat rekomendasi ini, mereka kerap diminta membayar sekitar Rp12 juta hingga Rp18 juta untuk satu tanda tangan rekomendasi. Artinya, walaupun persyaratan sudah lengkap, namun proses pembuatan KITAP yang ribet dan mengeluarkan biaya mahal dinilai sebagai penghambat.

Kepala Seksi Izin Tinggal Negara Tertentu Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Hendratmoko mengakui adanya pelanggaran berupa pungli tersebut. Karena itu, ia meminta agar para investor untuk melaporkan pelanggaran tersebut ke nomor hotline Ditjen Imigrasi Kemenkumham.

Menurut Hendratmoko, sistem imigrasi kini terus melakukan perubahan untuk mencegah pungli, di antaranya dengan sistem online. “Sebetulnya imigrasi progress-nya bagus dan izin tinggal secara online dan elektronik. Ini bisa menekan oknum mengambil banyak keuntungan, juga memberikan kepastian biaya dan waktu,” ujarnya.

Selain meresahkan para investor, praktik pungli ini juga memengaruhi peringkat daya saing global. Pada akhir September, World Economic Forum (WEF) merilis indeks daya saing Indonesia turun dari peringkat ke-37 pada tahun 2015 menjadi 41 pada tahun 2016.

Maraknya praktik pungli tentu berkontribusi terhadap peringkat ini, mengingat penilaian tersebut merupakan penggabungan data kuantitatif dan survei yang didasarkan pada 113 indikator yang dikelompokkan dalam 12 pilar daya saing yang saling memengaruhi satu sama lainnya.

Kedua belas pilar tersebut yaitu institusi, infrastruktur, kondisi dan situasi ekonomi makro, kesehatan dan pendidikan dasar, pendidikan tingkat atas dan pelatihan, efisiensi pasar, efisiensi tenaga kerja, pengembangan pasar finansial, kesiapan teknologi, ukuran pasar, lingkungan bisnis, dan inovasi.

Secara spesifik, laporan yang dirilis WEF memang tidak menyebut pungli dan korupsi sebagai penyebab indek daya saing Indonesia turun empat peringkat dibandingkan tahun 2015. Namun, jika dilihat dari beberapa indikator yang dijadikan patokan, maka masifnya praktik pungli dan korupsi yang terjadi hampir di semua lini, tentu berkontribusi besar.

Dalam konteks ini, Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan Roeslani mengamininya. Ia menilai, daya saing Indonesia masih mengalami beberapa kendala, salah satunya adalah masifnya korupsi dan pungli dalam berbagai sektor, termasuk proses perizinan.

Selain itu, keruwetan birokrasi dan minimnya infrastruktur juga menjadi salah satu penyebab turunnya daya saing negara ini. Keterbatasan infrastruktur membuat proses produksi dan distribusi menjadi tidak efisien dan membutuhkan biaya yang mahal.

Karena itu, sangat beralasan jika pemerintahan Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur, mengeluarkan kebijakan ekonomi, mereformasi birokrasi dan proses perizinan, serta memberantas korupsi dan pungli yang terjadi hampir di semua lini kehidupan.

Presiden Jokowi tentu menyadari bahwa reformasi birokrasi, meningkatkan pelayanan publik, serta meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena itu, salah satu yang ia lakukan adalah memperbaiki sistem.

Misalnya, dalam menghadapi persaingan antar-negara yang semakin kompetitif dalam memperebutkan investor, pemerintah telah mengeluarkan 11 Paket Kebijakan Ekonomi, dan menggenjot proyek infrastruktur.

“Saya kira ini adalah langkah-langkah yang sangat cepat yang kita lakukan, tetapi banyak hal, banyak tempat yang harus juga kita perbaiki yang berkaitan dengan kecepatan, kepastian waktu, efisiensi biaya, kemudahan pelayanan, dan hal-hal yang terutama yang berkaitan dengan perizinan,” kata Jokowi.

Hal yang sama juga dilakukan Presiden Jokowi dalam pemberantasan pungli dengan cara membangun sistem untuk cegah korupsi. Ia menginginkan agar aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 dilaksanakan sebaik-baiknya, jangan hanya formalitas.

Presiden Jokowi menegaskan, dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, tindakan pencegahan tidak kalah pentingnya dengan tindakan penegakan hukum. Karena itu, membangun sistem yang baik dan efektif akan banyak mengurangi praktik korupsi, termasuk pungli. Di antara sistem yang baik bisa berupa e-budgeting, e-government, e-purschasing, e-catalogue, e-audit, dan pajak.

Tentu sistem yang baik juga tidak akan berfungsi dengan baik apabila tidak diimbangi dengan komitmen dan ketegasan sang pemimpin. Untuk itu adanya peringatan anti korupsi sedunia bisa menjadi lonceng peringatan bagi pemerintah terhadap apa yang sudah dilakukan agar keluar dari bayang-bayang korupsi.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Indepth
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti