Menuju konten utama

Korupsi yang Membelit Para Kepala Daerah

Penetapan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman sebagai tersangka korupsi oleh KPK menambah deretan kepala daerah di pusaran korupsi. Pemahaman area rawan korupsi seperti perencanaan anggaran perlu digalakkan.

Profile Ratu Atut Chosiyah. Antara foto/reno esnir

tirto.id - Operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wali Kota Cimahi nonaktif, Atty Suharti Tochija pada Jumat (2/12/2016) menambah deretan kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah.

Atty dan suaminya, M Itoc Tochija ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait dengan pembangunan Pasar Atas Baru tahap II di Cimahi senilai Rp57 miliar. Nilai komitmen suap kepada Itoc mencapai Rp6 miliar yang berasal dari dua pengusaha Triswara Dhanu Brata dan Hendriza Soleh Gunadi.

Selang lima hari dari penangkapan Atty dan suaminya yang juga pernah menjabat sebagai Wali Kota Cimahi periode 2002 – 2012, komisi antirasuah juga menetapkan Bupati Nganjuk Jawa Timur, Taufiqurrahman sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. Namun, sampai berita ini ditulis, KPK belum memberikan keterangan resmi kasus yang menjerat Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Nganjuk tersebut.

Pada pertengahan Oktober, KPK juga telah menetapkan Wali Kota Madiun, Bambang Irianto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pasar Besar Kota Madiun. Ia menjadi tersangka dalam kapasitasnya sebagai Wali Kota Madiun periode 2009-2014.

Bambang diduga melakukan penyimpangan dalam pembangunan Pasar Besar Kota Madiun dengan nilai anggaran Rp76,5 miliar serta menerima suap dan gratifikasi. Padahal, sebagai Wali Kota, Bambang seharusnya mengurus dan mengawasi proyek tersebut.

Kalau ditarik ke belakang, yakni pada 4 September, KPK juga melakukan OTT terhadap Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan, Yan Anton Ferdian. Pria berusia 32 tahun ini diduga menerima suap dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sehari setelah OTT tersebut.

Selain OTT di atas, pada April lalu, instansi yang berkantor di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan itu juga menangkap Bupati Subang, Ojang Sohandi dalam kasus korupsi anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kabupaten Subang.

Bahkan pada akhir Agustus lalu, komisi antirasuah juga menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam sebagai tersangka dugaan melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pertambangan nikel di dua kabupaten di Sultra selama 2009 hingga 2014.

“Penyidik KPK telah menemukan dua alat bukti dan sedang diperbanyak lagi dan menetapkan NA [Nur Alam], Gubernur Sulawesi Tenggara sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, seperti dikutip Antara.

Enam kasus di atas sebagai sampel kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK di tahun 2016 ini. Fenomena ini sungguh memprihatinkan, sebab para pemimpin daerah yang terlibat kasus korupsi sangat banyak.

Misalnya, pada tahun lalu saja menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, ada sekitar 343 kepala daerah yang berperkara hukum, baik di Kejaksaan, Kepolisian, maupun KPK. Sebagian besar dari jumlah tersebut terkait masalah pengelolaan keuangan daerah.

Kalau kita tarik lebih spesifik terkait kepala daerah yang menjadi pesakitan KPK, jumlahnya juga cukup memprihatinkan. Data yang dilansir KPK per 30 Juni 2016, di laman acch.kpk.go.id menunjukkan, setidaknya dalam kurun waktu 2004-2016 ada 65 kepala daerah korup yang ditangani KPK. Data tersebut tentu belum termasuk kasus Gubernur Sultra, Nur Alam, dan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian.

Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan kepala daerah tersebut terlibat kasus korupsi? Tentu tidak ada jawaban pasti dalam masalah ini, tetapi setidaknya data KPK terkait jenis perkara yang ditanganinya dalam kurun waktu 2004-2016 dapat membantu untuk menganalisanya.

Jika merujuk pada data KPK, selama kurun waktu 2004-2016 jenis perkara yang ditangani komisi antirasuah paling banyak adalah kasus suap. Dari 514 jenis perkara yang ditangani KPK, 262 di antaranya soal suap. Sementara di urutan kedua adalah pengadaan barang atau jasa dengan jumlah 148 perkara, perizinan 19 perkara, pungutan 21 perkara, penyalahgunaan anggaran 44 perkara, merintangi proses KPK 5 perkara, serta TPPU tercatat 15 perkara.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/09/07/kepaladaerahkorusi_ratio-9x16.jpg" width="860" height="1528" alt="Infografik Kepala Daerah Korupsi" /

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa maraknya suap menjadi motif utama dalam praktik korupsi secara umum, tentu juga berlaku dalam kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut. Mengapa? Karena para pemimpin daerah ini memiliki kewenangan yang cukup besar terkait penggunaan anggaran daerah. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus suap yang melibatkan Bupati Banyuasin, Yan Anton Ferdian, dan kasus suap anggaran BPJS yang melibatkan Bupati Subang, Ojang Sohandi.

Selain itu, wewenang kepala daerah terkait perizinan juga menjadi motif korupsi kepala daerah ini. Kasus yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam adalah contoh nyata. Nur Alam menyalahgunakan wewenangnya sebagai kepala daerah terkait pemberian izin ini.

Nur Alam diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana.

Penerbitan surat-surat keputusan tersebut oleh KPK diduga tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Laode, dengan mengeluarkan surat izin usaha pertambangan kepada orang atau perusahaan tertentu tapi dalam pelaksanaannya diketahui ada pemberian imbalan kepada penerbit izin.

“Modusnya sebenarnya tidak terlalu sophisticated [mutakhir], jadi seperti biasa saja, dan sering jadi modus yang sama kepada daerah-daerah yang punya sumber daya alam melimpah,” kata Laode.

Karena itu, Laode memperingatkan kepala daerah agar berhati-hati dalam mengeluarkan surat-surat izin usaha pertambangan (IUP). Ia mengingatkan para gubernur yang memiliki kewenangan IUP agar lebih berhati-hati dan tidak tergiur suap dan iming-iming imbalan yang dapat memperkaya diri sendiri, maupun kelompok.

Melihat fenomena tersebut, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengimbau agar para kepala daerah memahami area rawan korupsi mulai dari perencanaan anggaran, dana hibah dan bantuan sosial, pungutan retribusi dan pajak daerah serta uang jasa dari pihak ketiga.

“Indikasi korupsi itu dibentuk oleh sistem, kesempatan, keserakahan dan adanya pihak ketiga,” ujarnya seperti dikutip Antara.

Tjahjo berharap agar kepala daerah harus membuat e-planning atau perencanaan secara elektronik agar setiap keputusan yang dibuat transparan dan bisa diakses masyarakat sehingga tidak ada keberanian untuk mencoba melakukan penyimpangan dalam memakai anggaran. Namun, harapan dan sistem yang baik pun tidak akan berjalan dengan baik, jika tidak ada niat baik dan ketulusan untuk mengabdi oleh para kepala daerah ini.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra