tirto.id - George McTurnan Kahin, peneliti berusia tiga puluh tahun dari Cornell University, berangkat menuju Indonesia dari pelabuhan New York ke Jakarta pada 11 Juni 1948. Kapal Veedam yang ia tumpangi disesaki orang-orang kelas menengah Belanda. Sebagian besar penumpang baru kembali dari liburan musim panas atau mengunjungi kerabat di Amerika.
Kahin melihat mereka yang duduk di kursi dek jarang melempar senyum dan kebanyakan hanya berpaling saat bersemuka. Pengecualian, salah satunya, dialami Kahin saat berjumpa dengan Kees. Pemuda Belanda itu kemudian jadi teman ngobrol Kahin dalam perjalanan menuju Southampton, Inggris. Dari obrolan itulah Kahin tahu Kees baru saja menyelesaikan pendidikan di teknik perkapalan Massachusetts Institute of Technology.
Ia terkesan saat Kees mengaku menghabiskan masa remajanya di Indonesia dan bersimpati pada gerakan kemerdekaan di sana. Obrolan ini menarik bagi Kahin karena Indonesia adalah bagian dari proyek penelitiannya. Bahkan, kata Kahin, Kees dengan senang hati menawarinya bantuan mempelajari bahasa Indonesia.
Kahin makin terhenyak ketika ia bertanya kepada Kees perihal sikap angkuh para penumpang asal Belanda di kapal itu. "Itu semua salah ayahku!" timpal Kees sembari terkekeh.
Saat itulah Kees mengaku ayahnya adalah gubernur Hindia Belanda, Hubertus van Mook. Ia sendiri bernama Cornelis van Mook.
Dari obrolan dengan Kees, Kahin menduga kalau Gubernur Jenderal van Mook adalah seorang kolonialis yang agak konservatif. Padahal, sepengetahuan Kahin saat itu, banyak orang Belanda kelas menengah menganggapnya radikal secara politis dan terlalu menyesuaikan diri dengan nasionalisme Indonesia.
Obrolan mereka terhenti ketika kapal Veendam bersandar di Southampton. Cornelis melanjutkan perjalanan Belanda, Kahin berganti kapal de Oranje yang membawanya menuju Batavia—kini Jakarta. Sebelum mereka berpisah, Kees menitipkan surat untuk ayahnya.
Kahin menceritakan pertemuannya dengan Cornelis itu dalam Southeast Asia: A Testament (2003).
Berkarier sebagai Birokrat
Hubertus Johannes van Mook lahir di Semarang, 30 Mei 1894. Ia menghabiskan waktu remajanya di Hindia Belanda dan menerima pendidikan dasar di Malang dan sekolah menengah di Surabaya. Kedua orangtuanya datang dari Belanda ke Hindia sebagai pengajar.
Van Mook kemudian ke Leiden untuk belajar indologi antara 1916 hingga 1918. Sejak kuliah itulah gagasan tentang negara federal sudah muncul di kepalanya. Di kuliah itu ia mendapat pengaruh Snouck Hurgronje, orientalis terkenal sekaligus penasihat penting pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam urusan-urusan yang terkait dengan warga bumiputera.
Van Mook dikenal dekat dengan sejumlah pemuda bumiputera yang belajar di Belanda. Ia tercatat pernah menghadiri Kongres Mahasiswa dari Hindia pada November 1917.
Dalam kongres itu van Mook membayangkan Hindia yang berdiri sendiri, tetapi saat itu waktunya belum tepat. Alasan van Mook, jumlah kaum elite di Hindia masih terlalu kecil, sedangkan daerah-daerah di Hindia berbeda satu sama lain. Lantaran itulah, yang masuk akal baginya mengembangkan secara perlahan pembentukan organ-organ demokrasi di tingkat lokal dan kemudian regional.
“Jadi gagasan mengenai negara federal yang ingin diwujudkan van Mook tahun 1945 itu sudah ada waktu itu dalam bentuk kasar,” tulis Harry A. Poeze dalam Di negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2008).
Gagasan van Mook ditentang mahasiswa bumiputera dalam kongres itu. Mereka menilai gagasan itu sebagai pembenaran atas anggapan “si terjajah lebih rendah daripada si penjajah”.
Mendapat tentangan keras, van Mook melunak. Ia menyampaikan persatuan lebih penting di antara para mahasiswa. Van Mook menunda untuk mewujudkan gagasannya.
Lulus dari Leiden, van Mook kembali ke tanah Hindia. Ia bekerja sebagai inspektur distribusi pangan di kota kelahirannya, Semarang. Kemudian menjadi penasihat pertanian untuk Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, raja Keraton Yogyakarta.
“Tugas inilah barangkali yang kemudian mendorongnya kembali lagi ke Leiden pada 1925 untuk berguru pada ahli hukum adat Prof C. Van Vollenhoven,” tulis P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002).
Tapi van Mook gagal menyelesaikan disertasinya karena aktivitasnya padat. Ia pulang ke Batavia, bekerja sebagai pegawai negeri di Bureau van Bestuurhervorming.
“Mirip dengan yang sekarang disebut Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,” tulis Swantoro.
Dari jabatan itu, van Mook masuk ke Volksraad, dewan rakyat bentukan Belanda, pada 1931. Kariernya makin moncer saat diangkat sebagai Menteri Perekonomian Hindia Belanda.
Selama menjabat sebagai menteri, ia dianggap berhasil mewakili Belanda dalam perundingan dengan Jepang. Van Mook sukses melawan desakan agar produk-produk dan aktivitas orang Jepang mengalir bebas ke Hindia Belanda. Van Mook juga sukses membawa perekonomian Hindia Belanda tidak kolaps kendati Belanda jatuh di tangan Nazi Jerman pada Mei 1940.
Tugas lebih berat harus diemban van Mook saat diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal pada 29 Desember 1941 oleh Ratu Wilhelmina. Pengangkatan itu terjadi setelah Jepang berhasil menguasai Pearl Harbor pada 8 Desember 1941. Atas serangan ini, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer, menyatakan perang terhadap Jepang.
Sejarah kemudian mencatat: satu per satu wilayah di Pasifik dikuasai Jepang, termasuk wilayah Hindia Belanda. Daerah-daerah penghasil minyak di Hindia Belanda, seperti di Tarakan dan Balikpapan, dirampas Jepang dalam hitungan bulan dari akhir 1941 sampai awal 1942.
Pada 1 Maret, Jepang akhirnya mendarat di Jawa. Mimpi suram kehilangan Hindia Belanda—yang dikuasai sejak 1800—mulai membayangi para pejabat tinggi Hindia Belanda. Mereka tampaknya telah menyiapkan kemungkinan terburuk sebelum kenyataan pahit itu terjadi, termasuk memilih Brisbane, Australia, sebagai tempat pembentukan pemerintahan pengasingan.
Alasannya jelas: Brisbane adalah daerah terdekat dari Batavia dan teraman karena menjadi Markas Besar Sekutu, yang dipimpin Jenderal Douglas MacArthur. Di sana pula pejabat Amerika berkantor, yang memungkinkan untuk melakukan lobi.
Rushdy Hoesein dalam Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati (2010) menjelaskan, enam hari setelah Jepang mendarat di Jawa, di pagi hari, 7 Maret, Van Mook, Van der Plas, Mayor Jenderal Van Oyen, dan sejumlah petinggi Hindia Belanda, atas perintah Gubernur Jenderal van Starkenborg, berangkat dengan pesawat Dakota terakhir di Jalan Batoe Doewa di Bandung menuju Australia.
“Di sana mereka membentuk pemerintahan Hindia Belanda di pengasingan,” tulis Hoesein.
Mimpi buruk akhirnya terjadi seminggu kemudian, 9 Maret 1942. Di Kalijati, Subang, Belanda resmi melepaskan Hindia Belanda ke tangan Jepang. Berikutnya, Gubernur van Starkenborg dan hampir semua orang-orang Belanda ditawan Jepang, termasuk istri dan dua anak van Mook.
Semenjak Jepang berkuasa, van Mook benar-benar menjadi tumpuan pemerintah di negeri Belanda yang tak kuasa memberikan bantuan untuk kembali menguasai Hindia Belanda. Sebab, mereka harus bertekuk lutut di bawah Jerman dan terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan di London. Tapi, di tengah situasi sulit itu, pemerintahan Belanda di London justru mencurigai van Mook.
Peter Dennis dalam Troubled Days of Peace: Mountbatten and South East Asia Command, 1945-46 (1987) menyebut permintaan van Mook untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang sepenuhnya matang di pengasingan di Australia ditolak pemerintahan Belanda di London.
Sikap Belanda atas Kemerdekaan Indonesia
Sekali lagi, impian van Mook untuk memimpin tanah kelahirannya tertunda selama lebih dari 3,5 tahun. Jepang memang menyerah pada Sekutu 14 Agustus 1945. Tapi, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun, sebagai pemenang Perang Dunia II, Sekutu baru datang ke Indonesia pada 29 September 1945, atau 1,5 bulan setelah revolusi Indonesia menggelora. Panglima tentara Sekutu di bawah Letnan Jenderal Sir Philip Christison mendarat di Tanjung Priok untuk melucuti senjata dan melepaskan tahanan Jepang.
Van Mook sendiri baru tiba di Batavia pada awal Oktober 1945 bersama aparatur pemerintahan sipil Hindia. Kehadirannya memicu aksi protes oleh rakyat Indonesia yang pro kemerdekaan, terutama di Surabaya, Jawa Timur. Mereka menilai kemerdekaan Indonesia sudah final.
Di Surabaya, para pemuda pro republik bentrok dengan tentara Inggris pada 26 Oktober 1945. Kemarahan arek-arek Suroboyo terutama dipicu oleh susupan Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA) dalam pasukan Sekutu.
Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009) menyebutkan, sebelum peristiwa heroik 10 November meletus, pemuda Surabaya yang lebih dulu melucuti senjata Jepang berhasil mengalahkan pasukan Inggris. Akibat peristiwa ini, van Mook akhirnya berunding dengan Sukarno pada 31 Oktober. Namun, langkah van Mook dinilai lancang oleh pemerintah negeri Belanda.
"Van Mook ditegur secara tajam oleh pemerintah Belanda karena berani mengadakan pembicaraan dengan Sukarno," sebut Hario Kecik.
Kata Hario Kecik, van Mook berdalih punya alasan objektif yang kuat untuk berunding dengan Sukarno. Masalah antara van Mook dan Belanda makin meruncing, sampai-sampai van Mook mengancam mengundurkan diri sebagai Letnan Gubernur Jenderal jika pemerintah Belanda mendesaknya.
Namun, ketika pertempuran Surabaya meletus pada 10 November, van Mook batal mundur. Ia terkejut saat melihat begitu heroik para pemuda Surabaya melawan tentara Inggris dan NICA—hal yang tak pernah diduga van Mook sebelumnya.
“Pada hemat van Mook, dengan pertempuran Surabaya itu, bangsa Indonesia telah melakukan suatu revolusi yang melebihi Revolusi Perancis tahun 1789,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004).
Cheong Yong Mun dalam H.J. Van Mook and Indonesian Independence: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relations, 1945-48 (1982) menyebut, tidak lama setelah pertempuran Surabaya, van Mook harus menerima kenyataan pahit bahwa kaum Republik ternyata sangat serius dalam revolusi mereka.
Hal itu berkebalikan dari informasi intelijen yang menyebut Sukarno-Hatta adalah “tokoh yang segera dilupakan oleh rakyat dan saat itu gerakan merdeka pasti [dengan segera] pupus juga.”
Lantaran itulah van Mook makin realistis berhadapan dengan kaum Republik pada 1946. Sikap tersebut memicu kemarahan pejabat konservatif di Den Haag yang mendorong van Mook dipecat dari jabatannya sebagai Letnan Gubernur Jenderal.
Jalan Federasi van Mook
Van Mook belum juga dipecat dan masih bercokol di Batavia. Ia memilih langkah diplomasi untuk menghadapi Republik sekaligus mengulur waktu untuk menempatkan pasukan Belanda di Indonesia. Awal Maret, pasukan Belanda menguasai Bali dan Kepulauan Sunda.
Kabar baik juga bagi van Mook ketika Sjahrir, yang diangkat sebagai Perdana Menteri pada November 1945, membuka peluang diplomasi. Sjahrir dinilai bukan sebagai kolaborator Jepang. Di mata van Mook dan Menteri Urusan Tanah Jajahan, J.H.A Logeman, Sjahrir cenderung moderat dibanding Sukarno dan Hatta.
Dalam suratnya kepada van Mook, Logemann mengatakan, "Kita tak pernah sepakat dengan Sukarno. Kita akan bernegosiasi dengan Sjahrir." (Rudolf Mrázek, Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, 1994, hlm. 294).
Kondisi menguntungkan berpihak kepada van Mook karena tiga batalion Belanda tiba di Batavia untuk menggantikan pasukan Inggris pada Maret 1946. Lantaran itu, dari Januari 1946, saat ibu kota berpindah ke Yogyakarta, upaya diplomasi terus terjalin antara van Mook dan Sjahrir.
Kendati demikian, Konferensi Hoge Veluwe, 11-24 April 1946, gagal lantaran Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatan atas Jawa, Sumatera, dan Pulau Madura. Sebaliknya, Belanda hanya bersedia mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura.
Perdebatan pengakuan atas kedaulatan ini terus berlanjut sampai Perjanjian Linggarjati yang didahului gencatan senjata antara Indonesia-Belanda. Pada perundingan 15 November 1946 itu van Mook berhasil menekan Indonesia.
Hasil perundingan menyebutkan: 1) Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura; 2) Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949; 3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS; dan 4) RIS tergabung dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
Dari sanalah mimpi van Mook untuk mendirikan Negara Federal Indonesia pun terbentang di depan mata.
Itu ditambah saat Negara Indonesia Timur berdiri pada Desember 1946—yang proses pendiriannya sudah dibahas sebelumnya dalam konferensi Malino, Juli 1946. Berikutnya Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur, sampai 15 negara federal di seluruh wilayah yang dikuasai Belanda.
“Pada Maret 1948, van Mook mengumumkan pembentukan pemerintahan sementara berbentuk federal dengan ia sendiri bertindak sebagai presiden,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2004).
Di sisi lain, van Mook berusaha bertahan dengan strategi diplomasi dan sedapat mungkin menahan gerakan militer untuk menjaga hasil Perjanjian Linggarjati, sebagaimana dilakukan Sjahir di Republik Indonesia.
Namun, keputusan van Mook dan Sjahrir tersebut ditolak oleh pihak Belanda maupun Indonesia, yang sama-sama menginginkan perang fisik.
Operasi Militer dan Garis van Mook
Jorg Noll dalam Netherlands Annual Review of Military Studies 2015 (2015) menyebutkan Jenderal Simon Spoor diam-diam membantah perintah defensif dari van Mook dan melakukan beberapa tindakan ofensif. Spoor juga mencoba memengaruhi Perdana Menteri Belanda, Louis Beel, untuk melanggar Persetujuan Linggarjati untuk melakukan serangan penuh ke Indonesia.
Rencana ini mendapat dukungan dari parlemen Belanda. Mereka menginginkan pasukan Belanda bertahan setidaknya setahun di Indonesia. Pertimbangan lain, AS dan Inggris menghentikan bantuan ekonomi kepada Belanda. Keadaan diperburuk oleh kemampuan militer Indonesia yang mengganggu bahkan merusak suplai logistik Belanda.
Lantaran desakan militer dan parlemen Belanda, serta penolakan Indonesia, van Mook akhirnya menginginkan Operasi Produk—pihak Republik menyebutnya sebagai Agresi Militer Belanda I—dari 21 Juli hingga 5 Agustus 1947. Operasi militer ini bermotif ekonomi karena Belanda menyasar perkebunan-perkebunan dan ladang-ladang minyak di Sumatera.
Belakangan, tindakan Belanda ini memicu Amerika Serikat, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk turun tangan.
“Pemerintahan (Harry S.) Truman tetap menentang keras rencana militer Belanda,” tulis Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika Konflik PD 1953-1963 (2008).
Dewan Keamanan PBB lantas mengeluarkan resolusi untuk menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). KTN terdiri dari Belgia sebagai wali Belanda, Australia sebagai wali Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah.
Atas keputusan Dewan Keamanan PBB ini, van Mook akhirnya melunak. Pada 3 Agustus, ia memerintahkan gencatan senjata sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB, diikuti Sukarno yang memerintahkan hal serupa di hari berikutnya.
Sebulan kemudian, akhir Agustus 1947, van Mook mengeluarkan keputusan tentang berlakunya “Garis van Mook” atau “van Mook lijn”, satu garis demarkasi yang tegas membatasi wilayah kekuasaan Belanda dan RI. Menurut garis itu, daerah Sumatera Barat menjadi daerah kekuasaan Belanda.
Persoalan ini mendorong PBB untuk memfasilitasi perundingan di atas kapal Renville pada 17 Januari 1948. Isi perundingan membahas Perjanjian Linggarjati dan sengketa Garis van Mook.
Isi perjanjian Renville lagi-lagi menguntungkan van Mook karena: 1) Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Sumatera masuk wilayah RI; 2) disetujuinya garis pemisah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda; dan 3) TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong.
Langkah berikutnya yang ditempuh van Mook adalah mengumpulkan negara-negara bagian dalam konferensi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) pada 27 Mei di Bandung. Konferensi ini dihadiri perwakilan negara-negara federal, kecuali RI. BFO merupakan cikal bakal Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagaimana diimpikan van Mook.
Cita-cita Hubertus van Mook selangkah lagi tercapai.
Mengajar di Cornell, Meninggal di Perancis
Kahin tiba di Batavia pada 14 Juli dan baru bertemu Hubertus van Mook pada 2 Agustus 1948.
“Surat pengantar dari anaknya membuka jalan untuk perjamuan ramah dan diskusi yang panjang dan menarik,” tulis Kahin.
Sepanjang diskusi, Kahin memastikan van Mook sangat mencintai Hindia. Van Mook, kata Kahin, merasa Hindia sudah menjadi bagian hidupnya.
Kepada Kahin, van Mook berpendapat bahwa Belanda suatu saat memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Tapi saat itu, kata van Mook, Indonesia masih terlalu lemah terutama untuk menghadapi India, Cina, dan kemungkinan Partai Komunis.
Dalam obrolan panjang bersama Kahin, van Mook menyampaikan gagasannya tentang negara federal di Indonesia. Kahin menilai, van Mook sangat yakin ketika negara federal berdiri dan Belanda benar-benar memindahkan kekuasaannya, pemerintahan tersebut pada akhirnya akan memberikan ketertarikan politik yang cukup untuk membawa Republik ke dalam rengkuhannya.
Tapi, tiga bulan setelah pertemuan dengan Kahin, pada 11 Oktober 1948, van Mook mengundurkan diri dari jabatan Wakil Gubernur Jenderal. Ia digantikan mantan Perdana Menteri Belanda, Louis Joseph Maria Beel.
Alasan pengunduran diri van Mook memicu sejumlah spekulasi, kontroversi, dan rumor. Ia dituding oleh pers bertindak di bawah pengaruh Inggris, atau dikendalikan oleh Partai Buruh Belanda. Dugaan lain, van Mook memiliki ambisi pribadi untuk menjadi penguasa di Hindia Belanda.
P. Swantoro, mengutip Dr. C Smith dalam Het Accord van Linggadjati, menyebut kecurigaan Belanda dipicu sikap van Mook sendiri. Van Mook menyimpan misi pribadi. Ia ingin diberi kekuasaan penuh untuk mengelola Hindia Belanda di Batavia tanpa bayang-bayang kekuasaan dari Nederland. Hal ini yang membuatnya tak disukai pemerintahan Belanda.
Belakangan, gagasan Negara Federal van Mook gagal setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RI pada 1949. Sejumlah Negara Federal bentukan van Mook memilih pro republik.
Van Mook sendiri memilih ke Amerika Serikat untuk bekerja sebagai pengajar di Cornell University, kampus yang juga menjadi tempat McTurnan Kahin meniti karier sebagai akademisi dan peneliti. Sejak 1960, van Mook memilih menetap di L'Illa de Sorga, Perancis.
Pada 10 Mei 1965, tepat hari ini 54 tahun lalu, van Mook meninggal di Perancis, di Tanah Air yang bukan menjadi asalnya, bukan tanah yang puluhan tahun merasuki pikirannya: Hindia Belanda atau Indonesia.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 Agustus 2017 dengan judul "Dan Hubertus van Mook pun Kehilangan Tanah Airnya" dan merupakan bagian dari laporan mendalam tentang dekolonisasi Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Ivan Aulia Ahsan