tirto.id - Gerakan 30 September 1965 (G30S), walau sudah disiapkan tidak sebentar, jelas berakhir dengan kegagalan. Satu hal penting yang tidak dipikirkan dengan baik oleh Letnan Kolonel Untung dan kawan-kawan perwiranya adalah soal makan. Bagaimanapun, pasukan tak hanya butuh bedil berserta amunisi, akan tetapi juga makan. Tak ada dapur umum penyedia nasi bungkus bagi pasukan yang ikut gerakan (baca: Bintang untuk Letkol Untung Syamsuri).
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Brigadir Jenderal Supardjo dalam analisisnya soal kegagalan G30S, dikutip John Roosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal (2008).
Bagi tentara, makan adalah urusan vital. Dulu, sebelum menyerbu Batavia, pihak Mataram mencetak sawah di sekitar Karawang. Hal itu dilakukan jauh-jauh hari. Setelah panen siap, pasukan besar pun bergerak dari Yogyakarta menuju Batavia.
Baca Juga: Cerita Seputar Para Penculik G30S
Itulah pula yang dilakukan Belanda saat baru memasuki kancah Perang Dunia II dan sebelum Jepang akhirnya berhasil merebut Hindia Belanda. Mereka sangat memperhatikan soal makanan untuk para tentaranya. Kala itu, dinas militer Hindia Belanda yang disebut Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dipanglimai oleh Letnan Jenderal Gerardus Johannes Barenschot (baca: Eks Letnan KNIL yang Merancang Garuda Pancasila).
“Pada tahun 1940, dinas militer pun menyiapkan strategi makanan perang untuk menghadapi masa-masa perang,” tulis Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara (2016), sebuah buku yang amat mengesankan tentang sejarah kuliner.
Makanan yang disiapkan itu haruslah bersifat massal dalam produksi, awet dalam daya tahan dan bergizi dalam kandungan. Pada Juli 1940, Ir. Fokkinga, komandan pasukan muda Belanda, menurut Fadly Rahman, harus minta bantuan pada Nyonya van der Capellen dan Nyonya Bellingwout. Kedua nyonya Belanda itu diminta memberi kursus masak kepada prajurit-prajuritnya.
Makanan Eropa di masa perang jelas adalah hal yang sulit. Mau tidak mau, serdadu-serdadu Belanda yang terbiasa masakan Eropa, harus membetahkan diri menyantap masakan-masakan lokal Hindia Belanda. Masakan lokal lebih mungkin diproduksi karena bahan-bahannya lebih mudah didapatkan di Hindia Belanda (Indonesia) ketimbang masakan Eropa.
Baca juga: Kekuatan Diplomasi Kuliner
Tentu saja, selain mudah didapat, masakan lokal akan menghemat biaya dan layak dijadikan ransum tentara. Dalam kursus yang diberikan dua nyonya Belanda itu, salah satu yang diajarkan adalah cara membuat nasi goreng. Selain itu diajari juga cara menggoreng terong, mengolah ubi, waluh, iga sapi, membuat sup kacang polong bahkan membuat cendol.
Di masa-masa itu, rendang dari Padang juga menjadi makanan yang sangat disarankan bagi tentara Belanda. Berdasar penelusuran Fadly Rahman, resep masakan rendang ditemukan di dalam buku Kookboek ten Dienste van Manages in het Garnizoen en te Velde alias buku masak urusan makan di garnisun dan lapangan yang dirilis pada 1940 dan diterbitkan Departement van Oorlog (Departemen Peperangan), semacam kementerian pertahanan. Tak lupa disebut nama Padang di resep rendang itu (baca: Bule-Bule Melawan Republik).
“Dari segi teknik pengolahan, cara membuat rendang untuk garnisun ini sama saja seperti biasa. (Perbedaan) Yang mencolok adalah jumlah dan berat dagingnya yang mencapai hingga kurang lebih tujuh kilogram,” tulis Fadly. Harus dimaklumi, resep di buku terbitan Departement van Oorlog itu untuk mengisi perut setidaknya 150 serdadu di garnisun.
Baca juga: Bubarnya Angkatan Perang Hindia Belanda KNIL
Rendang asal Padang itu tentu diminati serdadu-serdadu KNIL dari Eropa yang doyan daging. Kalori rendang tentu diharapkan. Awal Perang Pasifik jelang runtuhnya Hindia Belanda itu, menurut Fadly, tak hanya menaikkan popularitas rendang. Makanan-makanan pribumi asal Minahasa macam babi rica, saut dan bubur manado pun ikut dikenal. Begitu juga tinahtok dan ikan woku asal Ambon juga jadi populer.
Satu menu unik yang di terdapat dalam buku terbitan Departement van Oorlog itu adalah sajor kerri van kalongs atau sayur kari dari daging kelelawar. Meski, menurut buku itu, menu ini dikhususkan bagi serdadu-serdadu asal Ambon. Meski begitu, orang-orang Minahasa di Tomohon juga terbiasa menyantap kelelawar yang mereka kenal sebagai paniki. Daging kelelawar sama nikmatnya dengan daging merpati.
Tak hanya daging, menu makanan dari tumbuhan-tumbuhan liar pun ada. Di antaranya adalah kangkung dan genjer. Makanan macam ini cocok bagi serdadu-serdadu KNIL asal Jawa dan Sunda yang doyan sayur. Selain itu, tak lupa tempe yang kaya protein dijadikan bahan makanan penting selain daging. Untuk bahan tempe, ada resep sambal goreng tempe. Sebagai ransum, tempe dianggap bisa jadi pengganti daging. Apapun makanan-makanan yang ada di buku itu, semuanya telah diperhitungkan kadar gizinya (baca: Mengapa Orang Sunda Senang Melahap Lalap?).
Baca Juga: Mahalnya Tumis Kangkung di Finlandia
Kendati sudah mempersiapkan perkara ransum, KNIL toh akhirnya harus menyerah kepada Jepang pada 1942. Walau urusan makan berusaha diselesaikan, namun KNIL masih kalah tangguh dibanding balatentara Jepang. Tangguh pun juga bukan jaminan menang pertempuran. Pertempuran memang membutuhkan makanan, tapi cukup jelas: ia bukan faktor yang menentukan segalanya.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS