tirto.id - Pada 2004, Rika Melissa memasuki tahun kedua mengambil program master di jurusan Psikologi, Ludwig Maximillians Universität, Munich, Jerman. Di tahun kedua ini, Ia sempat kehilangan motivasi untuk melanjutkan kuliah. Untuk mengambil jeda dari kuliah, Rika memutuskan pergi berlibur ke Istanbul.
Ternyata di sana, jalan hidup Rika mulai mengambil ancang-ancang untuk membelok tajam. Ia bertemu dengan Mikko, seorang pemuda asal Finlandia. Mereka kemudian berkawan baik. Sering bertukar kabar, sesekali bertemu kalau ada kesempatan.
Desember 2006, Rika kembali ke Indonesia. Sekitar 4 bulan kemudian, Rika memutuskan untuk kembali merantau ke Singapura. Bekerja di sana ternyata berat. Seringkali beban kerja berlebihan. Membuat Rika tak punya waktu luang untuk sekadar nongkrong atau bergaul.
"Dua tahun di Singapura rasanya kesepian dan frustrasi karena pekerjaan," ujar Rika.
Maka ia mengajukan surat pengunduran diri. Sekitar 2 bulan sebelum resmi berhenti, Rika kembali bertemu lagi dengan Mikko yang sedang melakukan perjalanan Australia-Indonesia selama 4 bulan. Sebelum pergi ke Indonesia, Mikko transit di Malaysia. Karena tahu Rika ada di Singapura, rencana diubah. Mikko memutuskan pergi ke Singapura naik bus dari Kuala Lumpur.
Mikko hanya dua hari di Singapura, tapi Rika menyebut, "efeknya dahsyat. Intesitas komunikasi kami jadi meningkat drastis." Mikko iseng mengajak Rika pergi berlibur ke Kepulauan Kei, Maluku. Rika setuju. Tak dinyana, di sana Mikko melamar Rika.
"Saya menerima lamarannya," kata perempuan asal Jakarta ini.
Januari 2009, dua orang berbeda negara dan kultur ini menikah. Mikko yang saat itu menjadi mahasiswa di program Indonesian Studies, Universitas Leiden, memboyong Rika ke Belanda. Mereka bahagia di Belanda. Negaranya cantik, orangnya ramah, kata Rika. Hingga akhirnya, beberapa bulan setelah tinggal di Belanda, Rika ternyata hamil.
"Kami panik, karena beasiswa Mikko tidak termasuk tunjangan keluarga," kenang Rika.
Maka pilihan dibuat. Pertama, kembali ke Indonesia supaya Rika bisa melahirkan dan membesarkan anak dengan didampingi keluarga besarnya. Atau ke Finlandia, yang akan membuat Mikko lebih mudah mendapat pekerjaan. Akhirnya pilihan kedua yang diambil, mereka kembali boyongan. Kali ini ke Finlandia.
Besar Dengan Hidangan ala Sumatera
Hidup di Finlandia membuat Rika pontang-panting beradaptasi. Yang paling bikin keki adalah matahari. Kalau sedang masuk musim dingin, cuaca bisa drop jadi -20C. Selain itu, langit jadi gelap nyaris sepanjang hari. Matahari baru muncul pukul 9 pagi. Jam 3 sore, langit sudah kembali gelap. Rika sering merasa depresi karena langit yang gelap itu.
Kesulitan kedua adalah bahasa. "Bahasa Finlandia," kata Rika, "memang terkenal sulit. Tapi seharusnya memang bisa dikuasai kalau banyak berlatih." Namun, Rika kesulitan melatih kemampuan bahasa Finlandia ini karena pergaulan dengan warga lokal masih terbatas. Rika berusaha mengatasinya dengan membaca koran berbahasa Finlandia.
Rika tinggal di Kerava, sebuah kota kecil dengan penduduk sekitar 30.000 orang. "Dengan BSD aja masih kalah besar," kelakar Rika. Kerava masih termasuk dalam pääkaupunkiseutu, atau daerah ibu kota, Helsinki Greater Area. Jika naik kereta, pusat kota Helsinki bisa ditempuh dalam waktu 25 menit.
Mikko dan Rika punya dua orang anak, Kai dan Sami. Rika sering berkisah tentang kelakuan lucu nan menggemaskan dua orang anak lelakinya ini di blog. Rika sering iseng memanggil si bungsu dengan nama Samiun. Dua orang anak Rika memanggilnya dengan sebutan "aiti", alias ibu, dan memanggil Mikko dengan sebutan "isi", alias ayah. Baik Kai dan Sami belajar menggunakan bahasa Indonesia dan Finlandia.
Selain soal matahari dan bahasa, Rika tentu saja merindukan makanan Indonesia. Ayah dan Ibu Rika berasal dari Medan. Masakan di rumahnya amat kental suasana Sumatera-nya. Biasanya di meja makan tersedia berbagai macam gulai, asam padeh, dan gulai ubi tumbuk khas Medan.
Ketika puasa datang, ibunda Rika rajin membuat tape ketan hitam, juga rajin sekali membeli bubur jongkong dan bubur kampiun. Kolak pisang juga terhitung amat sering hadir. Minuman yang juga hanya dibuat ketika Ramadan adalah es timun.
"Biasanya orang lain pakai timun suri, tapi ibu saya lebih suka pakai serutan timun biasa yang dicemplungin ke dalam jus jeruk. Kadang dicampur dengan potongan mangga manis. Segar sekali," kata Rika.
Saat puasa juga, biasanya Ibunda Rika memasang rendang dalam jumlah banyak. Ini soal kepraktisan. Rendang adalah jenis lauk yang tahan lama, sehingga Ibunda Rika tak perlu repot memasak. Saking seringnya makan rendang, pernah dalam suatu masa Rika trauma dengan rendang. "Baru setelah di Jerman saya jadi sering kangen makanan Indonesia lagi."
Keluarga Rika selalu buka puasa bareng. Namun ketika dewasa, Rika dan adik-adiknya mulai sibuk dengan berbagai acara buka bersama kawan. Ketika Rika merantau, ia selalu rindu acara buka puasa bareng keluarga ini.
Saat merantau, ibunda Rika sering membuat tumis ikan asin peda cabai hijau, juga tumis kangkung. Rika tak pernah menolak menyantap dua makanan ini. Tumis kangkung adalah sayuran yang amat mudah dibuat, begitu pula bahannya. Bisa dibilang tumis kangkung adalah semacam comfort food bagi orang Indonesia. Ia enak disantap kapan saja. Sarapan, oke. Makan siang, mantap. Untuk makan malam pun ayo saja. Namun Rika terpaksa menahan keinginannya untuk menyantap tumis kangkung sering-sering.
"Gimana lagi, harga kangkung luar biasa mahal di Finlandia," keluh Rika.
Namun Rika masih beruntung. Di Kerava masih ada toko kecil bahan makanan Asia. Di Helsinki malah ada beberapa, dan lebih lengkap. Di toko-toko itu Rika bisa membeli tempe, Indomie, kecap manis, juga saus sambal. Semua diimpor dari Indonesia. Di Helsinki juga ada restoran Indonesia bernama Bali Brunch.
Rika dengan lempang bisa memasak makanan Indonesia. Sebab Mikko amat menyukai makanan Indonesia. Mikko, kata Rika, dulu amat suka makanan Minang. Sekarang Ia sedang doyan makanan Sunda. Sedangkan Kai dan Sami lebih akrab dengan makanan lokal Finlandia yang disajikan oleh kantin sekolah. Tapi Rika sering memasak makanan Indonesia untuk keluarga kecilnya ini. Syaratnya satu: tidak pedas.
"Kai dan Sami suka sekali nasi uduk, sate, mi goreng, bakso, dan soto ayam," kata Rika
Penggemar bakso ini memasak setiap hari untuk keluarga kecilnya. Di meja makannya, hidangan yang tersedia adalah percampuran antara selera Indonesia-Thai-Cina-Italia. Rika kerap memasak soto ayam dan soto Betawi. Terkadang bergantian dengan tumis-tumisan ala Thailand dan Cina. Kalau ingin makanan Italia, Rika akan memasak aneka pasta.
Belakangan ini, Rika sering sekali membuat nasi liwet cumi asin. Penggemar Astrid Lindgren ini mengaku penggemar cumi asin. Setiap mudik ke Indonesia, Ia selalu membawa setidaknya satu kilogram cumi asin ke Finlandia. Untuk hidangan nasi liwet cumi asin ini, Rika memberi wanti-wanti: tak cocok untuk sahur, karena keringnya bisa bikin haus.
Di Kerava, waktu buka dan sahur berada di waktu yang nyaris sama. Jadi Rika dan keluarganya berbuka dan sahur sekaligus. Kalau makan nasi liwet cumi asin ini, biasanya Rika akan bangun dengan tenggorokan kering dan haus luar biasa. Tapi toh Ia tak kapok.
"Sudah tiga kali saya bikin masakan yang sama di bulan ramadan ini," ujarnya.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Zen RS