tirto.id - Artikel sebelumnya
Bagian 1: Sailendra dan Prasasti Melayu Kuno di Tanah Jawa
Bagian 2: Ekspansi Kerajaan Mataram Kuno ke Timur di Era Dyah Balitung
Bagian 3: Bencana Ekonomi Membuat Kerajaan Mataram Kuno Berpindah ke Timur
Bagian 4: Lasem: Pelabuhan Majapahit yang Terlupakan
Bagian 5: Setelah Runtuh, Majapahit Eksodus ke Bali dan Jawa Tengah
Jawa Tengah sekali lagi menjadi pusat politik Tanah Jawa setelah runtuhnya Majapahit pada abad ke-16. Sebagaimana lazim ditulis di buku-buku sejarah nasional, skenario lepasnya Demak sebagai kekuatan Islam bekas naungan Majapahit menjadi sebuah kerajaan telah membawa kembali fokus sumber-sumber historis ke jantung Jawa.
Seperti disampaikan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005), Islam mengalir dari satu tempat ke tempat lain lewat pelabuhan, oleh karenanya penguasaan atas pelabuhan menjadi hal yang amat penting.
Interkoneksi kota pelabuhan sebagai media distribusi sekaligus pengggalangan kekuatan politik Islam di Jawa bagi Muljana merupakan efek bola salju dari lahirnya Melaka sebagai kota pelabuhan Islam yang penting dan keterhubungannya dengan pelabuhan Selat Malaka lainnya seperti Pasai, Bintan, serta Palembang.
Permodelan itu yang kemudian menjadi pondasi penting negeri Islam awal seperti Demak, yang juga terhubung dengan "bekas" pelabuhan-pelabuhan penting Majapahit dan Sunda yang sudah terislamkan seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Tuban, Jepara, Gresik dan Surabaya.
Namun, di sisi yang lain, barang-barang laku jual di pelabuhan pada hakikatnya datang dari daerah pedalaman Jawa. Jika daerah produksi itu tidak kunjung “diislamkan”, maka pelabuhan-pelabuhan Islam di pesisir utara Jawa akan menjadi etalase tanpa barang dagangan.
Karena itu, dengan berbagai motif, dilakukanlah upaya-upaya memperkenalkan agama tauhid ke pedalaman Jawa. Saat upaya itu berhasil dilakukan, jalan sejarah rupanya kembali bergerak ke pedalaman dan meninggalkan dunia pesisir, sampai datangnya Kompeni (VOC).
Sunan Tembayat dan Raja Pengging-Tingkir
Proyek percontohan pengislaman daerah pedalaman Jawa Tengah bisa dikatakan merupakan hasil buah pemikiran Sunan Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, sirkulasi islamisasi di selatan Jawa Tengah awalnya berpusat di tiga daerah, yakni Pajang, Pengging, dan Kajoran.
H.J. de Graaf, ahli sejarah daerah Mataram dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974), juga berbagai sumber historiografi tradisional menyebut-nyebut soal persebaran murid-murid Sunan Kalijaga yang menyebarkan agama Islam di sana. Salah satu yang paling awal adalah Ki Ageng Pandanarang, yang di kemudian hari lebih dikenal sebagai Sunan Tembayat yang berkedudukan di Klaten.
Sunan Tembayat menurut riwayat sejumlah babad dan folklor Jawa merupakan mantan bupati Semarang yang memilih untuk madeg pandita (meninggalkan keduniawian) dengan melakukan perjalanan spiritual ke selatan Jawa. Perjalanannya itu walau berbeda-beda detail ceritanya di tiap-tiap sumber, yang pasti merupakan arahan dari Sunan Kalijaga.
Dalam perjalanannya, sebagaimana tersirat dalam sumber-sumber babad, Sunan Tembayat seakan-akan membentuk jalur dakwah di sepanjang jalan Semarang ke daerah Klaten. Ia disebut-sebut ikut berkontribusi menyebarkan Islam di lereng timur Merapi-Merbabu, di sekitar Ambarawa, Salatiga, Boyolali dan Klaten. Di Klaten, tepatnya di satu perbukitan bernama Jabal Kat, ia membangun pesantren sekaligus pos politik Demak di pedalaman Jawa.
Eksistensi Sunan Tembayat di pedalaman selatan Jawa rupanya bukan tanpa pesaing sama sekali. Menurut de Graaf, di periode yang sama hadir Kerajaan Pengging yang masih belum bercorak Islam. Di kerajaan itu, kehidupan para ajar (intelektual zaman Hindu-Buddha) dan sufisme ala Syekh Siti Jenar hidup dengan subur. Basis-basis yang dianggap menyimpang inilah yang menurut de Graaf memancing ambisi Demak untuk melakukan kampanye militer langsung ke daerah tersebut.
Pajang Melawan, Mataram yang Menang
Salah satu keturunan Pengging, yakni Jaka Tingkir, yang menjadi penguasa di Pajang, rupanya tengah menunggu waktu yang tepat untuk membalas kampanye militer Demak. Waktu yang ditunggu-tunggu itu baru hadir ketika Sultan Trenggana dari Demak wafat.
Peristiwa mangkatnya sang sultan sebagaimana dikenal dalam sejarah, telah membawa perpecahan di antara para suksesi Demak, utamanya mereka yang ada di pihak Jipang dan juga Prawata-Jepara. Bagai memancing di air keruh, Jaka Tingkir rupanya tengah menggalang kekuatan “selatan” yang tidak pernah diduga-duga pihak Jipang dan Prawata.
Ia bersekutu dengan sesama penghuni selatan lainnya, yakni Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya putranya yang berkedudukan di Selo. Bersama kedua tokoh ini, Jaka Tingkir memainkan strategi politik dengan membina hubungan dekat dengan Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana) yang berada di pihak Prawata-Jepara.
Menurut Babad Tanah Jawi, peristiwa pembinaan persekutuan ini dilakukan di Gunung Danaraja, Jaka Tingkir dijanjikan akan diberikan legitimasi sebagai suksesi Demak oleh pihak Prawata-Jepara jika dia berhasil mengalahkan Arya Jipang. Bagi pembaca sekilas mungkin hal ini terkesan tidak aneh, namun bagi yang memperhatikan sebenarnya perjanjian ini agak di luar nalar.
Bagaimana seorang Jaka Tingkir yang notabene outsider bisa mendapatkan tawaran yang begitu besar dari seorang Ratu Kalinyamat? Tentu jawabannya karena modal politik Jaka Tingkir yang sudah mumpuni di selatan Jawa, sehingga menggerakkan pasukan yang besar untuk menyerang Jipang bukan hal yang sulit dilakukan.
Faktanya, buah dari strategi yang dilaksanakan oleh Jaka Tingkir justru dimakan oleh Ki Ageng Pama,nahan sekutunya. Ki Ageng Pamanahan seperti dikesankan dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, menurut de Graaf, lebih paham medan kuasa di Jawa dibandingkan Jaka Tingkir.
Ia dan kemudian dilanjutkan anaknya, Sutawijaya atau Panembahan Senapati, justru membangun kekuatan yang lebih besar di Mataram—dalam hal ini tanah lungguh yang diberikan Jaka Tingkir ketika keluarga Pamanahan berhasil mengalahkan Jipang. Dari sana Sutawijaya mengawasi pemerintahan di Pajang, sampai akhirnya momen yang tepat tiba ketika suksesi Jaka Tingkir yang bernama Benawa hendak dikudeta Jipang.
Sang Pangeran yang masih muda kemudian meminta pertolongan kepada Sutawijaya sahabat ayahnya, agar ia dapat mengalahkan para pemberontak di Jipang. Imbalannya, Benawa yang akhirnya dikembalikan ke takhta Pajang, harus memberikan takhta Jipang kepada Mataram.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi