Menuju konten utama
Mozaik

Kala Sriwijaya Menghukum Tarumanegara

Lewat Prasasti Kota Kapur, Sriwijaya mengutuk siapa saja yang berkhianat kepada mereka, juga persiapan bala tentara yang hendak menyerang Bhumi Jawa.

Kala Sriwijaya Menghukum Tarumanegara
Header Mozaik Sriwijaya Menghukum Bumi Jawa. tirto.id/Tino

tirto.id - Artikel sebelumnya: Kampanye Purnawarman dan Skenario Tanjung Priok

Memasuki abad ke-7, pentas politik di wilayah Indonesia bagian barat kedatangan aktor baru, yakni Sriwijaya. Eksistensi Sriwijaya sebagai salah satu ikon ekonomi-politik Nusantara hanyalah puncak gunung es dari tren yang berlaku sebelumnya.

Merujuk O.W. Wolters dalam Kemaharajaan Maritim Sriwijaya di Perniagaan Dunia Abad III-VII (2011), pentas panggung perdagangan antara India (bahkan dikatakan juga Persia) dengan Cina telah digarap oleh beberapa kerajaan "tidak teridentifikasi" yang ada di sekitar Pulau Sumatra dan Semenanjung Melayu.

Kerajaan-kerajaan itu hingga kini tidak kunjung ditemui bukti tertulisnya, sehingga hanya mengandalkan nama-nama pelafalan Cina yang ada di kronik-kronik Tionghoa sezaman, seperti P’an-pan, Kan-t’o-li, Ko-ying, dan beberapa nama lain yang misterius.

Sriwijaya di sisi yang lain menjadi pembeda lantaran berhasil mengeluarkan produk tulisan mereka sendiri. George Coedes dan L.-Ch. Damais dalam Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (1989) menguraikan panjang lebar daftar tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya. Satu yang tertua adalah Prasasti Kedukan Bukit dari Palembang yang dikeluarkan pada tahun 682 M.

Dalam prasasti itu dikisahkan pelayaran Dapunta Hyang Sri Jayanasa dalam rangka ziarah, yang pada akhir dari ritual pelayaran itu adalah pendirian wanua (permukiman) Sriwijaya. Walaupun asal-usul Dapunta Hyang Sri Jayanasa tidak begitu jelas—terlebih hal ini masih diperdebatkan--yang menarik adalah bahwa progres dari kebijakan yang ia keluarkan bisa dikatakan begitu cepat.

Prasasti Talang Tuo yang dikeluarkan di Palembang juga menyebutkan bahwa dua tahun setelah terbitnya Kedukan Bukit, Sang Dapunta telah mendirikan taman Sriksetra untuk memenuhi hajat hidup Sriwijaya. Yang lebih mengejutkan lagi, dua tahun pasca pendirian Sriksetra, muncul Prasasti Kota Kapur yang membicarakan persiapan bala tentara Sriwijaya beberapa waktu sebelumnya untuk menghukum "Bhumi Jawa".

Menghukum "Bhumi Jawa"

Pertanyaan berikutnya adalah "Bhumi Jawa" yang mana yang dimaksud? Apakah artinya Sriwijaya menghukum Pulau Jawa? Orang Jawa? atau suatu kelompok masyarakat yang juga bernama serupa di luar Pulau Jawa?

Seyogianya pertanyaan ini telah lama menjadi permasalahan di kalangan para peneliti, baik para epigraf maupun sejarawan. Namun, mayoritas para peneliti percaya bahwa "Bhumi Jawa" yang dimaksud di sini adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat. Argumen ini didasarkan pada suatu berita Tionghoa yang dikabarkan oleh Dinasti Tang di sekitar abad ke-7 M.

Sebagaimana dilampirkan dalam tulisan W.P. Groeneveldt yang berjudul Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018), pada pertengahan abad ke-7 suatu kerajaan bernama To-lo-mo (diduga pelafalan Tionghoa untuk "Taruma") secara rutin mengirimkan upeti pada Dinasti Tang. Namun sejak tahun 669 M, kerajaan itu tidak pernah mengirimkan upeti lagi pada kaisar. Angka tahun kepunahan To-lo-mo yang diberitakan Dinasti Tang itu berdekatan sekali dengan tarikh dalam Prasasti Kota Kapur (686 M).

Lalu mengapa Tarumanegara harus dihukum oleh Sriwijaya? Apa yang dimaksud dengan kesetiaan dalam konteks Prasasti Kota Kapur? Permasalahan kesetiaan di sini mungkin sekali terkait dengan jalur perdagangan Jawa-Sumatra kala itu.

Sebagaimana disebut oleh Claude Guillot dkk. dalam Barus: Seribu Tahun yang Lalu (2008), sejak lama wilayah barat Pulau Jawa menikmati keuntungan dagang dari pelayaran di Selat Sunda. Lautan di sekitar Gunung Krakatau ini merupakan pintu gerbang utama rute pantai barat Sumatra, seperti Barus, Tiku, dan Pariaman.

Komoditas utama dari pantai barat berupa emas dan kapur barus yang laku di kalangan internasional, yang dalam jangka waktu tertentu dimonopoli oleh para pedagang Jawa bagian barat dan India-Arab. Sementara itu pedagang Tionghoa sama sekali belum mengenal jalur "Barus" sampai paruh kedua awal milenium Masehi.

Berikutnya tendensi ekonomi-politik Sriwijaya di ujung selatan Pulau Sumatra juga ditunjukan dengan ditemukannya dua prasasti dari kerajaan itu di Lampung. Prasasti-prasasti itu dikenal sebagai Prasasti Bungkuk (Lampung Timur) dan Palas Pasemah (Lampung Selatan).

Seperti halnya prasasti-prasasti Sriwijaya yang lain, seperti disampaikan Bambang Budi Utomo dalam Prasasti-Prasasti Sumatra (2007), juga berisikan kutukan (sapatha) bagi barang siapa yang melanggar kedaulatan Sriwijaya. Jelas bahwa uraian dalam prasasti-prasasti ini merupakan semacam langkah pengamanan demi meraup keuntungan yang lebih besar dari jalur dagang Selat Sunda.

Warisan Sriwijaya di Bumi Pasundan

Salah satu bukti pendudukan Sriwijaya atas Tarumanegara yang paling ikonik adalah Kompleks Percandian Batujaya di Karawang. Hal ini disampaikan panjang lebar oleh Hasan Djafar dalam "Invasi Sriwijaya ke Bhumijawa: Pengaruh Agama Buddha Mahayana dan Gaya Seni Nalanda di Kompleks Percandian Batujaya" (2014). Ia menitikberatkan pada temuan prasasti-prasasti mantra berupa lempengan emas maupun tablet dari Percandian Batujaya.

Menurut Djafar, mantra-mantra yang muncul di Batujaya ditulis dengan aksara yang kurang lebih mirip dengan aksara periode abad ke-7 sampai ke-8 M. Mantra-mantra itu menurutnya berhubungan dengan mantra pada kitab Mahayana awal berjudul Pratītyasamutpādasūtra, di mana mantra-mantra itu juga ditemukan di kompleks wihara Nalanda di India. Adapun Nalanda dalam hal ini terkait erat dengan Sriwijaya, sebagaimana pernah disinggung oleh biksu Tiongkok Yijing pada abad ke-7 M.

Kompleks Percandian Batujaya

Cagar Budaya Situs Batujaya. FOTO/kebudayaan.kemdikbud.go.id

Jejak-jejak pengaruh budaya Buddhisme ala Nalanda itu juga termasuk dengan penemuan beberapa votive tablet dan arca-arca stuko kepala manusia. Menurut Djafar, arca-arca kepala manusia atau makhluk kedewataan dari Batujaya ada yang digambarkan dengan rambut terurai melebar dan ikal dan bermata bulat seperti raksasa.

Arca-arca ini kadang juga digambarkan dengan rambut yang memiliki ujung seperti ujung lidah api. Aturan penggarapan arca dengan model itu sekali lagi juga lazim ditemukan pada arca-arca bergaya Gandhara yang ada di Nalanda.

Terlepas dari bukti-bukti yang tersedia, pendudukan Sriwijaya kemudian disinyalir berakhir sekitar abad ke-10 M. Djafar mengatakan bahwa bukti kuat akan hal ini adalah temuan Prasasti Kebon Kopi II dari Bogor, sayangnya prasasti ini sekarang sudah hilang. Prasasti ini disebut-sebut ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan berdasarkan kronogramnya dikeluarkan pada tahun 932 M.

Disebutkan di dalam prasasti yang diduga dikeluarkan oleh Sriwijaya itu, bahwa terjadi pengembalian kekuasaan oleh seseorang yang bernama Rakryan Juru Pangambat. Satu hal menarik dari prasasti ini adalah bahwa pengembalian kekuasaan itu dilakukan terhadap Haji ri Sunda (raja di Sunda), yang nantinya akan mewarnai sejarah Jawa Barat hingga abad ke-16.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN SRIWIJAYA atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi