tirto.id - Asia Tenggara dalam alaf awal masehi merupakan regional politik yang dinamis. Dalam rentang waktu 1000 tahun itu, manusia Asia Tenggara telah berhasil mendirikan berbagai eksponen politik yang pengaruhnya begitu besar bagi peradaban mereka pada 1000 tahun berikutnya.
George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha (2017) memperkenalkan periode ini sebagai masa terjadinya indianisasi atau "sanskritisasi". Ia mengatakan bahwa Sanskerta yang merupakan bahasa liturgi sekaligus politik di Anak Benua India, telah membawa ide-ide kekuasaan yang lebih terorganisasi ke wilayah Asia Tenggara yang kental dengan tradisi prehistoris.
Bersama dengan format sistem kerajaan, aksara Hindustan juga untuk kali pertama digunakan sebagai propaganda politik di Negeri-Negeri Bawah Angin.
Di Nusantara, jejak proses Indianisasi ditandai dengan keberadaan beberapa temuan prasasti. Salah satu rekaman sejarah yang penting sebagai titik tolak periode ini adalah prasasti-prasasti Yupa yang ditemukan di Kalimantan Timur. Namun, dari segi substansi yang lebih kompleks, prasasti-prasasti Tarumanagara di Jawa Barat merupakan bukti yang paling awal.
Kedua kelompok sumber epigrafis yang diterbitkan oleh raja-raja paling awal Nusantara (abad ke-4 sampai 5 M) ini sebagaimana disebut oleh Arlo Griffiths dalam "Early Indic Inscriptions of Southeast Asia" (2014), muncul di era yang bersamaan dengan bangkitnya negeri-negeri "ter-Indianisasi" di Asia Tenggara daratan, khususnya di Kamboja dan Vietnam Selatan (Champa).
Begitu pula apabila dilihat dari corak penulisannya, baik di Nusantara maupun wilayah Asia Tenggara yang lain, memiliki pola yang sama. Artinya, kehadiran negeri-negeri di Nusantara pada masa awal sejarah sama sekali mustahil dijauhkan dari konteks politik Asia Tenggara saat itu.
Tarumanagara, sebagaimana disebutkan di atas, merupakan bukti paling awal dalam melihat interkonektivitas ini.
"Raja Dewa" Menyatukan Gunung-Gunung Pasundan
Para peneliti terdahulu mulai dari orientalis J.L. Moens (1940) hingga Hariani Santiko (2001) sibuk menempatkan negeri Taruma sebagai benchmark dari proses masuknya agama Hindu ke Tanah Jawa. Hal ini didasarkan dari temuan prasasti Tarumanagara di Bogor dan Pandeglang yang menyebut-nyebut soal eksistensi dewa-dewa Hindu, seperti Dewa Wisnu, Surya, dan Indra.
Belakangan, nama-nama dewa Hindu itu senantiasa dikait-kaitkan dengan keberadaan Raja Purnawarman—Sang Prabu Taruma. Ia sering kali mengklaim berbagai hal mengenai dirinya memiliki asosiasi dengan dewa-dewa itu. Misalnya, baju zirah yang ia gunakan dikatakan mirip dengan milik Dewa Surya; gajah tunggangannya serupa dengan Airavata yang merupakan gajah Dewa Indra; atau telapak kakinya yang dianggap sama dengan Dewa Wisnu. Pertanyaannya, buat apa klaim-klaim ini diterbitkan oleh Purnawarman?
Jawaban akan pertanyaan mendasar ini erat hubungannya dengan uraian dalam Prasasti Jambu yang ditemukan dekat wilayah Daerah Aliran Sungai Citarum di Jonggol, Bogor. Menurut J. Ph. Vogel "The Earliest Sanskrit Inscriptions in Java", dalam prasasti itu disebutkan bahwa Purnawarman berhasil mengalahkan musuh-musuhnya.
Sebagaimana disebut Agus Aris Munandar pada Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara (2017), para penguasa asli Nusantara terlegitimasi dengan ideologi leluhur Nusantara yang menghormati atau menuakan sosok yang memiliki modal sosial dan ekonomi yang menonjol.
Orang-orang yang selama hidupnya dianggap sebagai primus inter pares itu, ketika wafat dianggap sebagai individu adikodrati yang mengatur kehidupan mereka yang masih hidup. Eksistensi para pemuja nenek moyang ini setidaknya disaksikan langsung oleh penjelajah Tionghoa yang datang ke Tarumanagara pada abad ke-5, yakni Fa Xian.
Sang biksu yang sebenarnya terdampar di Taruma ini mencatat bahwa selain orang-orang yang beragama Hindu ataupun Buddha (walau dalam populasi yang lebih minim), rakyat Taruma juga banyak yang masih menganut "agama kotor".
Sebagai entitas yang sebenarnya telah lama dianggap sebagai "calon dewa", para primus inter pares di pedalaman Jawa Barat harus bersaing dengan Purnawarman yang dianggap pengejawantahan dewa-dewa Hindu. Akhirnya, terjadi semacam perang ideologi yang pada puncaknya adalah penguasaan terhadap sumber-sumber alam maupun manusia di pedalaman Pasundan (hinterland).
Sumber-sumber alam dan manusia dari pedalaman atau pergunungan Pasundan ini merupakan roda penggerak ekonomi Tarumanagara sebagai mesin politik para penguasa terindianisasi di pesisir.
Skenario Tanjung Priok
Setelah Purnawarman berhasil mengalahkan para kompetitornya di pedalaman, lantas bagaimana ia mendistribusikan komoditas pergunungannya yang berharga? Para peneliti sering kali menghubungkannya dengan Prasasti Tugu yang ditemukan di Jakarta Utara.
Prasasti ini seperti disebut oleh J. Noorduyn dan H. Th. Verstappen dalam "Purnavarman Riverworks near Tugu" (1972) merupakan akta berdirinya satu saluran air atau sungai buatan yang disebut sebagai candrabhaga dan gomati. Menurut kedua ahli Belanda itu, salah satu sungai buatan yang dimaksud dalam Prasasti Tugu membentang dari wilayah Bekasi hingga Tanjung Priok di Jakarta Utara.
Sayangnya, sisa-sisa pelabuhan kuno zaman Taruma mungkin sudah tertimpa oleh pembangunan pelabuhan Tanjung Priok modern yang didirikan pada masa kolonial untuk menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa.
Penjelasan teori pendirian pelabuhan di Tanjung Priok oleh Noorduyn dan Verstappen kemudian didukung oleh Kenneth Hall dalam Maritime Trade and State Development in Southeast Asia (1985). Hall mengemukakan bahwa pendirian proyek jalur air di Tanjung Priok bermuara pada dua tujuan.
Pertama, Purnawarman berusaha mengintensifikasi produktivitas padi gogo di sekitar dataran rendah Jakarta demi menyuplai kebutuhan manusia yang padat di sana. Kedua, membuat jaringan transportasi yang memadai dalam menghubungkan daerah pergunungan Pasundan via aliran Citarum dengan daerah pesisir.
Kedua tujuan ini merupakan upaya Purnawarman dalam menghidupi pelabuhan besutannya. Bagi Hall, kemunculan pelabuhan di pesisir utara Jakarta karya Purnawarman ini merupakan respons dari melemahnya kendali Kerajaan Fu Nan di Asia Tenggara Daratan terhadap Tanah Genting Kra dan beralihnya Selat Malaka sebagai detak nadi utama perdagangan.
Artikel berikutnya
Bagian 2: Kala Sriwijaya Menghukum Tarumanegara
Bagian 3: Pengembalian Kekuasaan dari Sriwijaya ke Kerajaan Sunda-Galuh
Bagian 4: Runtuhnya Kerajaan Sunda: Pemimpin Buruk & Serbuan Wong Pasisir
Bagian 5: Lahirnya Zaman Menak, Identitas Sunda Baru
Bagian 6 (Tamat): Sang Pujangga Menjadi Rawayan Sunda Kuno dan Baru
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id

































