tirto.id - Artikel sebelumnya
Bagian 1: Kampanye Purnawarman dan Skenario Tanjung Priok
Bagian 2: Kala Sriwijaya Menghukum Tarumanegara
Kemunculan Kerajaan Sunda sebagai kekuatan politik dominan di barat Pulau Jawa sampai hari ini masih menjadi misteri yang terus dibicarakan para peneliti. Hal ini disebabkan kesimpangsiuran sumber sejarah dari kerajaan yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Pajajaran ini.
Jika dibandingkan dengan sumber-sumber historis di wilayah Jawa Tengah dan Timur, di mana sumber sejarah secara konstan muncul terus-menerus dan saling tersambung, sumber-sumber historis mengenai Kerajaan Sunda di Jawa Barat justru sifatnya lebih fragmentaris dan kebanyakan berasal dari periode akhir atau bahkan sesudah keruntuhan kerajaan tersebut.
Hasan Djafar dalam "Prasasti-Prasasti dari Masa Kerajaan-Kerajaan Sunda" (1991) menyebut bahwa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Sunda jumlahnya tidak lebih 15 buah, dan sebagian di antaranya belum pernah dipublikasikan lantaran aksaranya sudah tidak terbaca.
Di sisi lain, sumber-sumber penulisan sejarah Sunda juga karib betul dengan tradisi lisan yang kental dengan distorsi akibat dinamika zaman.
Perintisan Negeri Sunda
Sumber tertulis paling awal yang menyebut nama "Sunda", khususnya sebagai nama kerajaan, adalah Prasasti Kebon Kopi II di Bogor. Prasasti yang dikeluarkan pada 932 M itu, sebagaimana disinggung oleh Djafar dalam "Invasi Sriwijaya ke Bhumijawa: Pengaruh Agama Buddha Mahayana dan Gaya Seni Nalanda di Kompleks Percandian Batujaya" (2014), menyebut suatu peristiwa pengembalian kekuasaan dari seseorang bernama Rakryan Juru Pangambat pada seseorang yang memiliki nama (atau mungkin lebih tepat gelar) haji ri Sunda (Raja di Sunda).
Menarik untuk diperhatikan bahwa prasasti itu ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuno, sehingga beberapa peneliti kolonial, juga Djafar, memercayai bahwa prasasti itu dikeluarkan oleh Kedatuan Sriwijaya. Apabila diperhatikan sumber-sumber terdahulu, maka penyerangan Sriwijaya ke Jawa Barat terjadi pada masa kekuasaan Tarumanagara (sekitar abad ke-7). Bukankah ini artinya Sunda merupakan penerus yang sah dari kerajaan yang dipimpin Purnawarman?
Terlepas dari itu, nama Sunda kembali muncul pada prasasti yang terbit kurang lebih seabad setelah Prasasti Kebon Kopi II ditulis. Bedanya, apabila Prasasti Kebon Kopi II ditemukan di Bogor, maka prasasti kedua yang dikenal sebagai Sanghyang Tapak ini berasal dari Cibadak, Kabupaten Sukabumi.
Prasasti Sang Hyang Tapak secara umum terdiri atas empat fragmen batu beraksara Kawi dan berbahasa Jawa Kuno, sebagaimana dicatat dalam transkripsi C.M. Pleyte yang berjudul "Maharaja Çrī Jāyabuphati, Soenda’s Oudst Bekende Vorst" (1915) dikeluarkan pada tahun 1030 M oleh Raja Sri Jayabhupati yang mengaku sebagai haji ri Sunda (Raja di Sunda).
Isi prasasti dari pinggiran Sungai Cicatih itu kurang lebih berkaitan dengan batas suatu areal suci bernama Sanghyang Tapak yang berupa sungai dan dua batu besar. Jayabhupati melarang keras siapa pun untuk menangkap ikan di sungai batas suci itu.
Mengenai raja yang mengeluarkan prasasti tersebut, para ahli melekatkannya pada ketokohan yang misterius. Salah satunya adalah Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) yang menyebut bahwa sosok ini seakan-akan ahistoris lantaran tidak pernah disebut dalam sumber Sunda Kuno mana pun selain Prasasti Sanghyang Tapak itu sendiri.
Baginya, Prasasti Sanghyang Tapak merupakan satu teks anomali lantaran dari segi bahasa, aksara, dan format penulisannya semua berunsur budaya Jawa. Belum lagi dari segi penggunaan gelar Jayabhupati yang amat kental dengan tradisi ajaran Hindu Waisnawa yang populer di Jawa bagian timur kala itu, hingga amat sering Jayabhupati menegaskan kedudukannya sebagai Raja Sunda.
Danasasmita yakin bahwa Jayabhupati mungkin sekali memiliki hubungan dengan Dinasti Isana di Jawa bagian timur, yang pada masa itu wilayahnya berada di bawah naungan Raja Airlangga.
Titik Terang dari Naskah Carita Parahyangan
Keterangan-keterangan yang menggantung dari prasasti-prasasti paling awal yang menyebut soal eksistensi Sunda, sedikit mendapat titik terang setelah kemunculan naskah Carita Parahyangan yang terpaut hampir 5 abad dari prasasti-prasasti tersebut.
Seperti dibeberkan oleh Atja dan Saleh Danasasmita (1981) mengenai Carita Parahyangan, Kerajaan Sunda—yang sebenarnya berdiri bersamaan dengan Kerajaan Galuh—mungkin sekali telah hadir di Tatar Sunda sejak sebelum abad ke-8 M. Petunjuk akan hal ini didasarkan dari keberadaan tokoh Sanjaya dalam silsilah Sunda-Galuh yang merupakan keturunan dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh, dan telah menikah dengan anak Trarusbawa dari Kerajaan Sunda.
Sosok Sanjaya bagi beberapa peneliti seperti Agus Aris Munandar dkk. dalam Bangunan Suci Sunda Kuna (2011) misalnya, dianggap identik dengan Maharaja Sanjaya yang disebut dalam Prasasti Canggal (732 M) sebagai Raja Mataram Kuno. Rupanya, dalam teori ini pendiri dari Kerajaan Mataram Kuno adalah pemersatu Kerajaan Sunda dan Galuh.
Lantas bagaimana Kerajaan Sunda-Galuh bisa menjadi suksesor Kerajaan Tarumanegara? Djafar dalam artikelnya menduga bahwa Sunda dan Galuh awalnya merupakan negeri bawahan Tarumanegara. Keduanya yang berada di pedalaman secara politis tidak terkait langsung dengan Tarumanegara yang berada di pesisir, sehingga ketika Tarumanegara melemah akibat diserang Sriwijaya, kedua negeri pedalaman ini bangkit menjadi kekuatan politik utama.
Hingga ketika Sriwijaya tidak lagi mampu mencengkeram pos politik mereka di Jawa bagian barat, kekuasaan itu kemudian diserahkan pada kekuatan Sunda dan Galuh yang sudah mapan.
Dengan demikian, peristiwa pengembalian kekuasaan dari Sriwijaya ke Sunda-Galuh merupakan titik balik dalam historiografi Jawa bagian barat. Keberadaan Jayabhupati dalam Prasasti Sanghyang Tapak, misalnya, menurut Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) identik dengan tokoh Rakeyan Darmasiksa dalam naskah Carita Parahyangan.
Selain karena Darmasiksa merupakan satu-satunya Raja Sunda yang diasosiasikan secara langsung dengan Wisnu dalam Carita Parahyangan, penggambaran raja ini dengan Jayabhupati sebagaimana disebut Danasasmita juga mirip.
Darmasiksa digambarkan memiliki program pembangunan kabuyutan (daerah suci) yang paling masif dalam Carita Parahyangan. Apabila teori Danasasmita ini dianggap benar, maka program besutan Jayabhupati atau Darmasiksa bisa dipandang sebagai upaya pemulihan kekuasaan Sang Prabu setelah didudukinya wilayah Jawa bagian barat oleh Sriwijaya.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































