Menuju konten utama
Mozaik

Jejak Bahasa Jawa Kuno dalam Prasasti dan Naskah Urang Sunda

Bahasa Jawa Kuno dalam prasasti & naskah Sunda bukti bahwa agamawan-intelektual baheula memiliki jaringan yang melintasi batas identitas politik dan budaya.

Jejak Bahasa Jawa Kuno dalam Prasasti dan Naskah Urang Sunda
Header mozaik Kala Bahasa Jawa Kuno dituturkan di Tanah Pasundan. tirto.id/Tino

tirto.id - Bahasa Jawa Kuno merupakan salah satu rumpun bahasa Austronesia yang paling awal terekam dalam sumber tertulis di Nusantara. Bersama dengan bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta, bahasa ini digunakan dalam beberapa teks penting dari prasasti hingga teks sastra.

Sebagaimana disebutkan oleh P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983), temuan tertua teks berbahasa Jawa Kuno yang setidaknya telah dilaporkan oleh para peneliti sampai sekarang adalah Prasasti Hariñjing (abad ke-9 M) yang berasal dari Kediri, Jawa Timur.

Penggunaan bahasa Jawa Kuno setelah itu juga jamak ditemukan pada karya-karya sastra kakawin yang mulai ditulis di penghujung abad ke-10 sampai dengan abad ke-14. Baru setelah memasuki periode akhir Majapahit, utamanya pasca pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389), mulai dijumpai beberapa teks berupa prasasti maupun naskah yang menggunakan varian bahasa Jawa yang berbeda dengan bahasa Jawa Kuno. Menurut Zoetmulder, pergeseran penggunaan bahasa Jawa yang lebih baru ini ditandai dengan kemunculan genre sastra bernama kidung.

Terlepas dari panjangnya sejarah penggunaan bahasa Jawa Kuno, para peneliti pada dasarnya juga menjumpai beberapa sumber tertulis berbahasa Jawa Kuno di luar daerah kebudayaan Jawa, salah satunya di daerah Sunda.

Mungkin sebagian masyarakat Jawa dan Sunda, paham betul bahwa hubungan antara kedua etnis ini dipenuhi kesimpangsiuran. Syaiful Azmi dalam “Bubat: Sisi Gelap Hubungan Kerajaan Majapahit Hindu dengan Kerajaan Sunda” (2020), misalnya, mengatakan bahwa hubungan kurang harmonis antara Pasundan dengan Majapahit secara historis hanya terjadi di sekitar terjadinya Peristiwa Bubat pada akhir abad ke-14.

Sementara itu, dari temuan-temuan periode berikutnya tidak ditemukan indikasi upaya penaklukan Majapahit terhadap daerah Sunda maupun upaya pembalasan dari pihak Sunda terhadap Majapahit. Masih gelapnya riwayat hubungan di antara kedua etnis ini, keberadaan teks-teks berbahasa Jawa Kuno di daerah Sunda barangkali bisa menjadi petunjuk sejarah pertalian intelektual di antara keduanya.

Aneka Teks Jawa Kuno di Tatar Sunda

Salah satu fakta yang muncul dari eksistensi teks berbahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda adalah keberadaannya yang lebih tua daripada teks-teks berbahasa Sunda Kuno. Bahasa Jawa Kuno bahkan merupakan bahasa yang paling awal digunakan oleh raja dari Kerajaan Sunda dalam penulisan prasasti—setidaknya yang telah diungkap sampai hari ini.

Prasasti tertua yang dikeluarkan oleh Kerajaan Sunda dalah Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) dari pinggiran Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi. Sebagaimana disebut oleh Hasan Djafar dkk. dalam Prasasti Batu: Pembacaan Ulang dan Alihakasara Jilid I (2016), prasasti ini menyinggung soal penentuan batas wilayah suci bernama Sanghyang Tapak oleh seorang Raja Sunda bernama Śrī Jayabhūpati.

Para peneliti heran dengan bentuk penulisan prasasti ini, mereka menganggapnya janggal untuk kasus prasasti Sunda. Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) menjabarkan kejanggalan-kejanggalan prasasti itu.

Bagi Danasasmita kejanggalan paling mendasar prasasti ini terletak pada format penulisannya. Tidak hanya menggunakan bahasa Jawa Kuno, struktur penulisan Prasasti Sanghyang Tapak juga persis dengan prasasti-prasasti di Jawa Timur—utamanya era Raja Airlangga.

Struktur Prasasti Sanghyang Tapak meliputi tarikh penerbitan prasasti, sambandha (perintah raja), manggala (seruan panggilan bagi para dewa), dan sapatha (kutukan bagi barangsiapa yang melanggar perintah raja). Hal ini anomali apabila dibandingkan dengan struktur penulisan prasasti-prasasti Kerajaan Sunda di periode yang lebih kemudian, yang biasanya lebih pendek dan cenderung to the point.

Keanehan-keanehan inilah yang mendorong Boechari dalam artikel pendeknya “The Inscription of Garaman Dated 975 Śaka New Evidence on Airlangga’s Partition of His Kingdom” (2012), berteori bahwa Jayabhūpati bukan asli orang Sunda dan masih kerabat Raja Airlangga.

Padahal sebenarnya prasasti berbahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda bukan hanya Prasasti Sanghyang Tapak. Di beberapa tempat lain di Bumi Sunda juga ditemui beberapa prasasti berbahasa Jawa Kuno, seperti Prasasti Mandiwunga dan Sadapaingan dari Ciamis. Maka itu, Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi (2015) membantah teori Boechari dengan mengatakan bahwa Śrī Jayabhūpati identik dengan tokoh Raja Darmasiksa dalam naskah Carita Parahyangan.

Dasar argumen Danasasmita adalah bahwa nama Jayabhūpati yang beranasir Dewa Wisnu memiliki kesamaan dengan keterangan Carita Parahyangan yang menyebut Darmasiksa sebagai perwujudan Wisnu. Selain itu, dalam Carita Parahyangan juga disebutkan bahwa Darmasiksa adalah raja yang gemar mendirikan kabuyutan atau daerah suci, sehingga sejalan dengan keterangan Prasasti Sanghyang Tapak yang membicarakan pembatasan wilayah suci.

Aing Carék Jawa

Dugaan Boechari yang agak terburu-buru mengatakan Jayabhūpati sebagai orang Jawa karena prasastinya, juga terbantahkan dengan keberadaan beberapa naskah berbahasa Jawa Kuno yang dikaryakan langsung oleh orang Sunda (tanpa diduga sebagai orang Jawa).

Naskah itu misalnya adalah Sanghyang Hayu yang pernah dikaji oleh Undang A. Darsa dalam tesisnya Sang Hyang Hayu: Kajian Filologis Naskah Bahasa Jawa Kuno di Sunda pada Abad XVI (1998). Teks paling panjang di seluruh Tatar Sunda ini meliputi empat naskah, yakni Serat Catur Bumi, Serat Buwana Pitu, Serat Sewaka Darma, dan Serat Dewa Buda. Teks Sanghyang Hayu secara umum membicarakan perihal kosmologi dan teologi masyarakat Sunda Kuno.

Sebagaimana disebut oleh Aditia Gunawan dalam disertasinya Sundanese Religion in the 15th Century: A Philological Study based on the Śikṣā Guru, the Sasana Mahaguru, and the Siksa Kandaṅ Karǝsian (2023), agaknya Sanghyang Hayu merupakan suatu teks yang penting bagi masyarakat Sunda (setidaknya di kalangan para agamawan) karena senantiasa disebut-sebut dalam redaksi teks-teks yang lain.

Bahkan, teks ini memiliki beberapa teks turunan yang berisi semacam rangkuman atas inti ajaran Sanghyang Hayu yang berbahasa Sunda dan Jawa Kuno, yakni teks Śikṣā Guru dan Sasana Mahaguru. Menurut Aditia, bahkan ada satu naskah Śikṣā Guru yang ditemukan di Gunung Merbabu, Jawa Tengah.

Fakta yang terakhir disebut barangkali bisa dijadikan petunjuk mengenai keberadaan bahasa Jawa Kuno di Tatar Sunda. Bahwa perlu disadari para agamawan-intelektual di periode terdahulu pada dasarnya memiliki jaringan yang melintasi batas-batas identitas politik dan kebudayaan.

Bukti akan hal ini termaktub pada naskah Bujangga Manik, yang menurut J. Noorduyn dan A. Teeuw dalam Tiga Pesona Sunda Kuna (2009) mengisahkan perjalanan seorang pangeran pendeta Sunda bernama Bujangga Manik yang berkelana ke daerah Majapahit.

Dalam catatannya itulah Bujangga Manik mengaku bahwa tujuannya adalah “têhêr bisa carék Jawa” (kemudian bisa berbahasa Jawa). Hal ini menandakan bahwa ketika itu bahasa Jawa Kuno dianggap sebagai bahasa keagamaan bagi masyarakat Sunda Kuno. Kedudukannya di periode Sunda Klasik mungkin mirip seperti bahasa Arab di kalangan pesantren di masa Islam sampai sekarang.

Baca juga artikel terkait PRASASTI atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - News
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi