tirto.id - Bukit itu menjulang di ujung barat desa. Jalan di samping bawahnya sudah dilapis beton untuk mempermudah akses ke puncak. Botorono, nama bukit tersebut, berdiri dengan selimut pohon bambu dan tanaman milik warga di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung.
Bukit Botorono sempat viral di media sosial sebagai tempat wisata, namun belakangan kondisinya memerlukan perhatian. Di bawah Botorono mengalir Kali Ngasinan. Sekitar lima puluh tahun silam, di tepi sungai itu dua petani menemukan dua lempeng tembaga berhuruf Jawa Kuno yang kemudian dinamai Prasasti Rukam.
Tak jauh dari bukit juga terdapat situs yang dikenal dengan Watu Ambal. Lokasinya di area perladangan warga yang berbukit kecil di pinggir Desa Tlahab, tak jauh dari jalan utama Wonosobo-Magelang. Situs ini berupa susunan bebatuan yang membentuk tangga sepanjang kira-kira 25 meter, di bagian atas ada bidang datar dengan batuan yang ditata dan dua di antaranya serupa yoni.
Dalam prasasti itu diberitakan Rukam mendapat anugerah sebagai sima atau wilayah bebas pajak dengan kewajiban memelihara bangunan suci di tempat bernama Limwung. Catatan Niken Wirasanti dalam Candi dan Lingkungan Abad IX-X Masehi di Wilayah Jawa Bagian Tengah (2023) menyebutkan lahan yang dibebaskan dari pajak bisa berupa area persahawan, kebun, bukit, atau lembah.
“Selain itu, disebutkan sejumlah kegiatan upacara keagamaan di candi sehingga dapat diperoleh gambaran permukiman di dekat candi yang dikelilingi lahan-lahan pertanian,” tulis Niken.
Prasasti bertarikh 829 Saka atau 907 Masehi yang dikeluarkan Rakai Watukara Dyah Balitung ini juga menceritakan prosesi ritual, kuliner, petinggi kerajaan termasuk perwakilan wanua atau wilayah setingkat desa di sekitarnya. Ditulis pada lempeng pertama prasasti pada baris ke-20 hingga baris ke-24, mereka berasal dari enam wanua dan dua patapan.
Berdasar penelitian Resiyani Wulan pada 2010 dalam Toponim Masa Kini Berasal dari Sumber Prasasti Abad IX-X Masehi yang Ditemukan di Kabupaten Temanggung (2010), dua nama wanua itu berhasil diidentifikasi lokasinya karena digunakan sebagai nama desa atau dusun pada saat ini. Wanua i wunut, misalnya, menjadi nama dusun yang merupakan bagian dari Desa Wonotirto, Kecamatan Bulu.
Sementara Wanua i kdu yang menjadi nama desa di Kecamatan Kedu. Meski ada deskripsi lengkap, namun lokasi dan kedudukan Rukam belum sepenuhnya diketahui. Hal itu karena ada perbedaan penafsiran terkait wanua yang “ilang dening guntur” atau hilang karena (akibat) gunung (berapi). Keberadaan Rukam kembali ditelaah menyusul berbagai temuan saat ekskavasi Situs Liyangan di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo.
Situs Liyangan mengukuhkan informasi tentang bencana gunung berapi di masa lalu sebagaimana ditulis dalam prasasti. Apalagi, artefak-artefak yang ditemukan dalam kondisi utuh, bahkan tak ditemukan jejak korban manusia. Ini yang kemudian membuktikan nenek moyang kita sudah mampu memitigasi bencana. Sebagaimana ditulis M. Fadhlan lewat "Geologi Situs Liangan Kabupaten Temanggung" (2014), mengutip Istari Rita, dkk, material yang mengubur situs tersebut berasal dari letusan besar Gunung Sindoro.
"…yang merupakan lereng fluvio-vulkanik yang merupakan endapan erupsi Gunung Sindoro pada waktu masih aktif, yang dibuktikan pada singkapan tebing tambang pasir, yang sebagian materialnya didominasi Geluh pasiran dan batuan beku,” tulis M. Fadhlan.
Titi Surti Nastiti dalam Tiga Prasasti dari Masa Balitung (1982) menafsirkan Rukam sebagai desa yang pada masa sebelumnya hilang diterjang bencana gunung berapi. Sementara itu, Jan Wisseman Christie lewat Register of The Inscription of Java Part I dan II menafsirkan Rukam merupakan desa pengganti dari desa lain pada di masa lalu yang lenyap akibat letusan gunung.
Ekskavasi Situs Liyangan yang sebelumnya terkubur sedalam belasan meter, membuka tabir misteri termasuk tentang desa yang hilang itu. Ada kemungkinan desa yang musnah ditelan lahar dingin tersebut berlokasi di Dusun Liyangan. Situs yang ekskavasinya dibantu para penambang pasir ini berada di lereng timur laut Gunung Sindoro, sedangkan tempat Prasasti Rukam ditemukan berada di sisi timur laut lereng Gunung Sumbing.
Lokasinya sekitar 15 kilometer ke arah selatan, di kaki gunung yang tak lagi aktif, sehingga dinilai lebih aman. Pendapat Titi Surti Nastiti dan Jan Wisseman Christie, serta gagasan Agni Sesaria Muchtar diungkap melalui Wanua I Rukam, Nama Asli Situs Liangan?(Kajian terhadap Prasasti Rukam 907 M sebagai Data Pendukung Penelitian Situs Liangan).
Dalam risalahnya, Agni berpendapat bahwa desa yang hilang itu bukanlah Rukam, namun desa lain. Dia memperkirakan Rukam berlokasi dekat watak patapan, lebih dari itu merupakan bagian dari wilayah yang merupakan himpunan sejumlah wanua itu. Dengan membandingkan informasi dari Prasasti Mantyasih I dan III, Prasasti Tulang Air I dan II, serta Prasasti Gondosuli II, kesimpulan Agni mengerucut pada perkiraan bahwa wanua i rukam terletak di antara Kecamatan Bulu dan Kecamatan Kedu.
“…[antara wanua I wunut dengan wanua i kdu], atau sedikit agak ke tenggara”, tulis Agni yang makalahnya dimuat dalam buku Liangan Mozaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro (2014).
Kemungkinan Baru
Seorang arkeolog, peneliti Situs Liyangan, Sugeng Riyanto, saat Borobudur Writers Cultural Festival dua tahun lalu di Parakan dan Temanggung, menengarai Limwung yang berhubungan dengan Rukam merupakan nama masa lalu dari wilayah yang kini dikenal dengan Klimbungan, Dusun Kauman, Desa Karanggedong, Kecamatan Ngadirejo. Sugeng beralasan nama kemiripan bunyi antara nama desa dan nama tempat bangunan suci yang tertera dalam prasasti.
“Antara Limwung dan Klimbungan yang bisa jadi berasal dari 'limbung' kan ada kedekatan”, kata Sugeng, seraya menandaskan bahwa hal itu baru sebatas dugaan.
Di depan Masjid Wali Limbung, terdapat beberapa batu yang diduga dari bangunan sakral masa silam. Bebatuan itu ditemukan pada saat renovasi masjid pada 2013-2014 lalu, dan dipindahkan ke bagian halaman depan persis di belakang pagar. Sesuai namanya, masjid itu lekat dengan seorang wali yang dikenal sebagai penyebar agama di kawasan tersebut.
Di dusun yang berjarak sekitar sembilan kilometer dari lokasi inilah penemuan Prasasti Rukam, ini Wali Limbung dan Klimbungan menjadi legenda yang berkembang turun temurun dan mempunyai sejumlah versi. Ada yang bilang sosok itu berlatar belakang Jawa, namun ada pula yang menyebut berasal dari Tiongkok, namanya Limhong. Ada juga versi lain tentang seorang selir raja yang mengandung dan sesampai di daerah itu berjalan sempoyongan atau limbung.
Sekira lima kilometer dari Desa Petarangan ke arah timur dengan jalan menurun melintasi jalur utama Pulau Jawa dan jalan desa, terdapat dusun bernama Tegalrukem, yang masuk wilayah Desa Campuranom, Kecamatan Bansari. Sebelum Tegalrukem, terdapat Dusun Putihan, di dusun ini terdapat batu dengan lubang di tengah yang diduga umpak atau alas tiang bangunan masa lalu.
Tegalrukem, warga lokal lebih akrab menyebut dengan “Nggorukem” atau ”Ngrukem”. Dusun itu berada di sisi selatan lereng Gunung Sindoro, meski begitu sebutan lokal nama dusun itu hampir mirip ”Rukam” dengan modifikasi kata akibat pengaruh dialek bahasa. Memang sejauh ini belum ada penelitian untuk menautkan keduanya.
Di sekitar jalur ke arah utara kawasan itu ditemukan sejumlah peninggalan arkeologis mulai batu berbentuk persegi seperti yang biasa ditemukan di bekas pertirtaan, arca, lingga, yoni, juga bagian-bagian bangunan candi. Temuan lain berupa tiga guci pada sekitar tiga tahun lalu di Desa Balesari. Jalan perdesaan sekitar 11 kilometer itu, salah satunya berujung di Liyangan, sebuah situs bekas permukiman dan tempat sakral yang terkubur lebih dari satu milenium.
Penulis: Ariyanto Mahardika
Editor: Irfan Teguh Pribadi