tirto.id - Setelah berkendara sekitar dua jam dari Mojokerto melalui Cangar, tibalah saya di Kota Batu. Dengan berbekal informasi dari google maps, saya segera mengarah menuju ke Situs Desa Pendem. Situs ini terletak di Jalan Panderman, Desa Pendem, Kecamatan Junrejo.
Bukan perkara sulit menemukan situs yang berada di tengah permukiman warga ini. Setelah memasuki Jalan Panderman, saya mendapati penunjuk arah menuju situs. Penunjuka arah itu akan membawa Anda ke sebuah pemakaman umum.
Jangan bingung karena di sebelah pemakaman itu Anda akan menemukan sebuah papan nama memampang tulisan: Situs Pendem.
Situs Pendem pada dasarnya adalah reruntuhan fondasi sebuah bangunan suci alias candi berbahan bata dari sekira abad ke-10. Untuk mencegah kerusakan akibat cuaca, reruntuhan candi di Pendem kini dinaungi bangunan kanopi sederhana. Dari luar pagar kanopi, pengunjung dapat melihat struktur mirip sumur berbentuk persegi di bagian tengah situs.
Tak jauh dari Situs Pendem, terdapat punden Desa Pendem. Di sana, kita juga dapat menjumpai tinggalan arkeologis lain, berupa arca Nandi dan Yoni.
Seturut informasi dari Balai Pelestarian Kebudayaan IX (BPK IX) Jawa Timur di laman Indonesiana, keberadaan tinggalan arkeologis tersebut pertama kali dilaporkan pada 26 November 2019. Tak lama berselang, BPK IX bersama beberapa komunitas dan Universitas Negeri Malang melakukan ekskavasi di lokasi temuan.
“Temuan struktur bata yang berada 10 meter di sebelah timur laut dari keletakan Yoni dan Arca Nandi di Punden Pendem tersebut memunculkan hipotesa bahwa temuan struktur bata tersebut merupakan bagian dari bangunan suci atau candi yang ada di lokasi tersebut,” tulis BPK IX di laman Indonesiana.
Sempat Terlupakan dalam Sejarah
Ekskavasi lanjutan kemudian dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Jawa Timur pada 9 hingga 18 November 2020. Dari ekskavasi inilah, arkeolog mendapat bukti-bukti yang lebih terang bahwa Situs Pendem merupakan sisa-sisa bangunan candi dari masa Pra-Majapahit.
Salah satu hal yang menguatkan dugaan itu adalah sumuran yang terdapat di tengah situs. Menurut arkeolog BPCB Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho, sumuran adalah fitur yang lazim ada di bangunan candi. Secara filosofis, sumuran layaknya sebuah cerobong yang menghubungkan dunia bawah dan atas atau kahyangan.
"Dengan kita menemukan sumuran, kita pastikan ini memang candi," kata Wicaksono dikutip Antara, Kamis (12/11/2020).
Penemuan arkeologis sisa-sisa struktur candi di Pendem merupakan peristiwa penting. Pasalnya, keberadaan reruntuhan bangunan suci tersebut sempat tak tercatat dalam rekaman penelitian arkeologis di masa Kolonial.
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menyebutkan bahwa arca Nandi dan Yoni yang terdapat di punden Desa Pendem sudah tercatat eksistensinya dalam Rapporten Oudheidkundig Commissie op Java en Madoera (ROC) yang terbit pada awal 1900 dan Oudheidkundg Verslag (OV) terbitan 1920.
Anehnya, kedua laporan yang disusun oleh Dinas Purbakala Kolonial itu malah tak mencatat adanya bangunan candi di dekat dua artefak bercorak Hindu Siwa tersebut.
“Ada kemungkinan inventarisasi yang dituangkan ROC dan OV itu, saat candi ini sudah tertimbun tanah sehingga tidak terekam,” ungkap Dwi, dikutip Surya Malang, Minggu (16/2/2020).
Catatan samar tentang Candi Pendem justru didapati dari catatan perjalanan seorang surveyor Belanda bernama J.I. van Sevenhoven. Pada 1812, van Sevenhoven mencatat perjalanannya menelisik daerah Malang dan sekitarnya.
Van Sevenhoven melaporkan bahwa dia melintasi kebun kopi di daerah Naya (kini Kelurahan Dinoyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang), lalu ke Alu (kini Ngelo, sebuah dusun di Kelurahan Tlogomas), hingga berlanjut ke Kaling (kini Sengkaling).
Dari Kaling, van Sevenhoven lalu menyeberangi Sungai Brantas. Di sebuah daerah di seberang Brantas itulah, van Sevenhoven mendapati reruntuhan sebuah candi. Sayangnya, dia tak merinci lebih lanjut nama daerah tersebut.
Menurut Dwi, reruntuhan candi itu boleh jadi adalah Candi Pendem.
“Saya menduga candi yang dilihat pada 1812 itu adalah candi yang di Pendem ini. Itu kemungkinan arca-arca yang ada di Pendem semula ada di sini yang dipindahkan ke utara,” tutur Dwi, dikutip Surya Malang.
Dwi menduga bahwa candi di Pendem itu dijarah dan ditimbun setelah 1812 sehingga tak tercatat dalam laporan-laporan Dinas Purbakala Kolonial di awal abad ke-20.
Selain itu, satu misteri lagi yang perlu disingkap adalah siapa yang membangun bangunan suci di Pendem itu dan kapan ia dibangun. Untuk menjawab hal itu, Dwi Cahyono dan Wicaksono Dwi Nugroho sama-sama menyebut bahwa petunjuknya bisa digali dari Prasasti Sangguran.
Prasasti Sangguran
Prasasti Sangguran kini berada nun jauh di Skotlandia. Pemerintah melalui Kemententerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) telah membuat upaya untuk memulangkan harta kebudayaan Indonesia itu sejak 2006. Namun, usaha tersebut belum membuahkan hasil.
Di Skotlandia, Prasasti Sangguran berada dalam kepemilikan keturunan Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India. Karenanya, ia juga dikenal dengan nama Minto Stone atau Prasasti Minto. Lantas bagaimana prasasti itu bisa sampai di Skotlandia?
Merunut sejarah, laporan pertama tentang batu bertulis itu datang dari Kolonel Colin Mackenzie, seorang tentara sekaligus surveyor Inggris yang bertugas di Jawa pada 1811-1813.
Pada Maret hingga April 1812, Kolonel Mackenzie melakukan perjalanan survei ke Jawa bagian timur. Salah satu temuan purbakala yang dilaporkan Kolonel Mackenzie dari perjalanannya adalah sebuah prasasti batu yang ukurannya cukup masif.
Penelusuran Arlo Griffith, Wayan Jarrah Sastrawan, dan Eko Bastiawan dalam “Restoring a Javanese Inscription to its Proper Place: The Minto Stone (Sangguran Charter) Seen in New Light” (2024) menyimpulkan bahwa prasasti batu itu rupanya berasal dari daerah Malang.
Sebuah dokumen yang mendokumentasikan perjalanan Kolonel Mackenzie menerangkan bahwa, “Sekitar 4 Paals [6 kilometer] sebelum Batoe, di pinggir jalan, Kolonel Mackenzie mendapatkan batu besar dengan prasasti kuno.”
Menurut epigrafis cum arkeolog Nicolaas Johannes Krom, titik penemuan prasasti itu kemungkinan ada di wilayah Ngandat (kini masuk wilayah Kelurahan Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu). Piagam batu yang kini dikenal sebagai Prasasti Sangguran lantas dipindahkan oleh Kolonel Mackenzie ke Surabaya dengan bantuan Bupati Malang.
Kolonel Mackenzie memerintahkan juru tulis pribadinya, L.R. Burke, untuk menyalin tulisan yang terpahat pada prasasti itu. Sebuah lukisan yang menggambarkan prasasti itu juga dibuat oleh John Newmann atas perintah Mackenzie.
Pada 1813, Prasasti Sangguran lalu dikirim ke Kolkata via Batavia sebagai hadiah untuk Lord Minto.
“Prasasti batu itu diterima pada bulan Juni bersama dengan sepucuk surat dari Mackenzie (bertanggal 11 April). Sang Kolonel mengusulkan agar prasasti batu itu dibawa ke tanah properti keluarga Minto di perbatasan Skotlandia sebagai monumen bagi imperialisme Inggris dan studi oriental,” tulis Griffith, Sastrawan, dan Bastiawan dalam studinya.
Keterkaitan Piagam Sangguran dan Situs Pendem
Jika perkiraan N.J. Krom bahwa Ngandat merupakan lokasi asli Prasasti Sangguran, hubungannya dengan reruntuhan candi di Situs Pendem pun menjadi lebih terang. Pasalnya, Ngandat hanya berjarak sekira 1 km dari Situs Pendem dan dipisahkan Sungai Brantas.
Argumen yang lebih pasti tentu bisa kita dapat dengan menguak isi dari Prasasti Sangguran itu.
Penelitian epigrafi berhasil membuka tabir siapa pembuat Prasasti Sangguran, dialah Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottunga. Dyah Wawa merupakan raja Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah. Dia berkuasa dalam kurun 928-929 M.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris (1996) menyebut bahwa Prasasti Sangguran berangka tahun 850 Saka atau 928 Masehi.
Verhandelingen van Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1913) menyebutkan bahwa di bagian depan prasasti terpahat 38 baris tulisan. Lalu, bagian belakang terdiri dari 45 baris tulisan dan sebelah kiri terdiri atas 15 baris tulisan. Dua baris awal tulisan dibagian depan ditulis dengan bahasa Sanskerta, sementara sisanya menggunakan Jawa Kuno.
Ia merupakan piagam peresmian sima atau tanah perdikan Sangguran yang berhubungan dengan pendirian sebuah bangunan suci yang disebut I sang hyang prasada kabhaktya ing sima kajurugusalyan i mananjung.
Penyebutan itu sendiri memberi kita informasi bahwa tanah perdikan itu diserahkan kepada kelompok masyarakat pandai besi.
Pemberian sima kepada suatu kelompok masyarakat di zaman Kuno lazimnya didasari dua alasan: balas budi penguasa atas jasa-jasa suatu kelompok masyarakat atau lantaran mereka diberi tugas tertentu oleh kerajaan. Penduduk Sangguran dianugerahi status sima alias pembebasan pajak karena alasan yang kedua.
Dalam konteks ini, seturut Griffith, Sastrawan, dan Bastiawan, Dyah Wawa memberikan status sima kepada penduduk Sangguran sebagai balasan atas kewajiban mereka memelihara bangunan kebaktian di Mananjung.
Oleh karena itu, menurut Dwi Cahyono, bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Sangguran mestinya berlokasi tak jauh dari titik penemuan prasasti itu. Situs Pendem tentu saja merupakan kandidat terkuatnya, setidaknya untuk sejauh ini.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi