tirto.id - “Atma (mi)lang sinurat ri(ng) mêrêga payung bӧnang nu(m)pi[u], ti Gunung Kumbang pun, batur Ni Teja Puru Ba(n)cana, tila(s) sandi ti Jě(ng)gi, pa(ng) wědar, bӧnang Buyut Ni Dawit pun”
“atma (jiwa) telah menyelesaikan tulisan ini melalui pertapaan di Gunung Kumbang, pertapaan dari Ni Teja Puru Bancana, mantan utusan dari Jěnggi, ajaran dari Buyut Ni Dawit”
Sekilas, tidak ada yang istimewa dari kutipan manuskrip berbahasa Sunda Kuno di atas. Namun, manuskrip yang didedah oleh Undang Darsa dalam Sewaka Darma, Peti Tiga Ciburuy Garut (2012) ini sesungguhnya menyimpan suatu informasi fakta penting terkait kehidupan masyarakat Sunda di masa lalu.
Bagaimana tidak, tepat dua abad sebelum berakhirnya era kerajaan-kerajaan klasik Nusantara di abad ke-16, hidup seorang mahaguru perempuan asal Afrika di Tatar Sunda. Kutipan naskah tersebut memang amat minim sumber pembandingnya. Namun, ia tetap merupakan petunjuk betapa terkoneksinya masyarakat Nusantara dengan Benua Hitam.
Asal Mula Orang Jěnggi di Jawa
Lantas, bagaimana pula orang Afrika bisa bertandang ke Nusantara?
Pencatatan paling awal soal kehadiran orang Afrika di Nusantara terdapat dalam beberapa prasasti tinggalan suksesor Dinasti Sailendra di Jawa Timur. Tarikhnya berkisar antara abad ke-10 hingga abad ke-13. Orang Jawa Kuno menyebut orang Afrika sebagai Jěnggi. Ia berakar dari kata bahasa Persia “zanji” yang merujuk pada daerah Zanzibar di timur Benua Afrika.
Prasasti paling tua yang menyebut soal orang Jěnggi adalah Prasasti Cane yang berangka tahun 1021 M. Prasasti Cane menyuratkan keterangan tentang kedudukan orang Jěnggi yang disebut sebagai watěk i jro atau budak belian.
Di beberapa prasasti lain yang diterbitkan pada masa yang lebih muda, misalnya Prasasti Canggu dari masa pemerintahan Majapahit, orang-orang Afrika disebut sebagai orang Punjut.
Mereka ini disebut sebagai mangilala drabya hajiatau orang-orang yang hidupnya dicurahkan sebagai abdi raja dan hajat hidupnya dipenuhi oleh sang raja.
Penyebutan predikat itu unik karena orang-orang Jěnggi atau Punjut ternyata tidaklah diposisikan sebagai golongan orang asing. Orang Jawa Kuno menyebut orang asing dengan predikat wargga kilalan—lazimnya meliputi orang India, Tiongkok, Kamboja, atau Myanmar.
Orang Jěnggi atau Punjut juga tidak diwajibkan membayar pajak tinggal. Posisi unik itu kemungkinan dikarenakan mereka hijrah ke Tanah Jawa bukan untuk berdagang sebagaimana bangsa lain, melainkan sebagai budak atau pembantu para ningrat Jawa Kuno.
Kabar eksistensi orang Afrika di Jawa juga bisa dijumpai pada relief yang umur pembuatannya jauh lebih tua daripada sumber prasasti yang disebutkan sebelumnya. Relief yang menampilkan orang Jěnggi itu adalah relief Ramayana di Candi Siwa, Kompleks Percandian Prambanan.
Di salah satu panel relief yang menunjukan adegan Rama-Sita duduk bermesraan di atas takhta, terdapat beberapa figur manusia dengan penampilan berbeda ketimbang yang lain. Mereka digambarkan bertubuh lebih tegap, berambut keriting, berbibir tebal, hidung mancung-besar, dan punya tulang rahang yang tegas.
Ciri-ciri demikian, sebagaimana disinggung oleh Titi Surti Nastiti pada Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV (2016), memberikan indikasi cukup jelas soal pelukisan fisik orang Jěnggi di mata orang Jawa saat itu.
Mengajarkan Kebajikan
Lantas, bagaimana dengan kasus orang Afrika yang menjadi biarawati di Tatar Sunda sebagaimana disebut dalam kutipan manuskrip di awal?
Biarawati Jěnggi yang dimaksud oleh manuskrip Sewaka Darma itu kemungkinan adalah Ni Teja Puru Bancana. Seperti tersurat, dia telah mengadopsi nama Sunda. Apabila kita telaah The Old Javanese-English Dictionary karya P.J. Zoetmulder (1987), nama sang biarawati dapat diartikan “api yang meredam bencana”.
Nama sang biarawati memberi kesan bahwa dia memiliki kehormatan spiritual tertentu di kalangan orang Sunda. Dia kemungkinan adalah seorang Afrika yang menetap di suatu daerah di Gunung Kumbang—sekarang terletak di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
Keterangan tersebut tentu bukan hal yang aneh mengingat daerah Cirebon yang berdekatan dengan Brebes memang merupakan pelabuhan besar Kerajaan Sunda. Hal ini diamini oleh kesaksian Bujangga Manik sebagaimana dianalisis oleh J. Noorduyn dalam “Bujangga Manik’s Journeys Through Java: Topographical Data” (1982) dan A. Cortesao (2018) dalam pembacaan Suma Oriental karya Tome Pires dari abad ke-16.
Apabila ditelisik lebih lanjut, baik Ni Teja Puru Bancana maupun Buyut Ni Dawit yang menulis manuskrip ini merupakan seorang perempuan. Kata sapaan “ni” yang tertera di depan nama mereka jelas mengindikasikan gender kedua tokoh. Oleh karena itu, bisa diperkirakan bahwa Ni Teja Puru Bancana tinggal di suatu pertapaan khusus perempuan.
Manuskrip Sewaka Darma yang sampai pada kita hari ini pada dasarnya merupakan salinan yang ditemukan beberapa peneliti di suatu skriptorium di daerah Ciburuy, Kabupaten Garut. Manuskrip ini merupakan satu-satunya sumber yang memberikan keterangan mendalam soal ajaran yang disebarkan oleh Ni Teja Puru Bancana.
Inti ajaran yang dimaksud sebenarnya merupakan didaktik seorang guru kepada bakal pandita yang nantinya hendak memberi pencerahan pada umat. Ajaran didaktik itu terdiri atas pemahaman filosofis akan pembebasan jiwa, logika, etika, dan laku-laku hidup lainnya. Di antara semua pipiling (pengingat) itu, hilir dari segalanya adalah Sewaka Darma – “persembahan bagi kebajikan”.
Bukti
Egalitarianisme Masyarakat Sunda Kuno?
Fenomena Ni Teja Puru Bancana sesungguhnya menyiratkan suatu gejala sosial yang unik. Dalam khazanah kebudayaan Sunda Kuno, pertapaan tempat tinggal Ni Teja Puru Bancana termasuk ke dalam kategori kabuyutan.
Etty Saringendyanti dalam disertasinya Sunda Wiwitan di Tatar Sunda pada Abad V–Awal XXI: Perspektif Historis-Arkeologis (2018) membeberkan bahwa kabuyutan bukanlah konsep tempat yang sembarangan bagi para penghayat agama asli Sunda. Kabuyutan secara filosofis merupakan simbol dari segala sesuatu yang merujuk pada para karuhun atau nenek moyang Sunda.
Karenanya, daerah atau tempat yang disebut kabuyutan merupakan daerah yang sangat sakral. Di tempat inilah seseorang ditempa untuk menjadi pelayan para hyang.Iajuga menjadi tempat mempelajari ilmu teologi, etika, sejarah, dan sastra. Secara politis, raja-raja Sunda yang kekuasaannya terbentang dari sisi barat Ci Pamali hingga Kali Srayu amat menghormati status suatu kabuyutan.
Kedaulatan para penghuni kabuyutan pun amat dilindungi oleh raja Sunda. Tidak asal orang bisa masuk atau keluar.
Pertanyaan besar selanjutnya adalah mengapa seorang asing dari Afrika bisa hidup di daerah suci ini? Jawaban yang paling mungkin adalah bahwa orang Sunda Kuno mengenal konsep meritokrasi yang menghargai seseorang atas dasar kemampuannya dan bukan asal muasalnya.
Namun, tentu saja argumen ini masihlah harus ditelisik lebih lanjut.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi