Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara: Sebab, Peninggalan, Raja

Kerajaan Tarumanegara disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan Hindu tertua dalam sejarah Nusantara.

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara: Sebab, Peninggalan, Raja
Ilustrasi sejarah wilayah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara. wikimedia commons/free share

tirto.id - Kerajaan Tarumanegara disebut-sebut sebagai salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara. Didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada abad ke-4 Masehi, Tarumanegara menguasai wilayah di Jawa bagian barat (Sunda), termasuk Banten dan Jakarta dalam sejarah masa silam.

Dengan kata lain, Kerajaan Tarumanegara merupakan cikal-bakal berdirinya kerajaan-kerajaan di Parahyangan, seperti Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh, serta Kerajaan Pajajaran. Jayasingawarma menjadi raja dari tahun 358 sampai 382 M, kemudian dilanjutkan oleh putranya, Darmayawarman, yang berkuasa hingga 395 M.

Puncak masa jaya Tarumanegara terjadi pada era Maharaja Purnawarman (395-434 M) yang meneruskan takhta ayahnya yakni Darmayawarman. Sejarah keemasan Tarumanegara tercatat dalam berbagai prasasti yakni Prasasti Tugu, Prasasti Lebak, Prasasti Ciaruteun, dan Prasasti Jambu.

Purnawarman melakukan banyak gebrakan untuk membawa Kerajaan Tarumanegara ke gerbang kemajuan. Salah satu terobosan yang dilakukannya adalah terkait dengan pengelolaan sungai yang ditujukan untuk pengairan maupun antisipasi bencana banjir.

Dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa (1989:201) yang disusun oleh Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta, terungkap bahwa salah satu proyek terbesar Purnawarman adalah program pengerukan Sungai Citarum yang dilakukan pada 419 M.

Namun, sepeninggal Purnawarman yang wafat pada 434 M, Kerajaan Tarumanegara mulai mengalami kemunduran sebelum akhirnya tamat.

Penyebab Keruntuhan Tarumanegara

Dalam Tarumanagara: Latar Sejarah dan Peninggalannya (1991), Hasan Djafar menerangkan, mulai muncul benih-benih perpecahan di Kerajaan Tarumanegara pada era pemerintahan Kertawarman (561-628 M).

Beberapa negeri taklukan tidak percaya dengan kemampuan Raja Kertawarman dalam memimpin pemerintahan dan mengelola wilayah kekuasaan Tarumanegara yang amat luas.

Munculnya beberapa kerajaan pesaing juga menjadi salah satu faktor penyebab kemunduran Kerajaan Tarumanegara. Ancaman mulai datang dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Kerajaan seperti Sriwijaya di Sumatera, dan beberapa kerajaan di Nusantara lainnya.

Kerajaan Tarumanegara akhirnya bubar setelah wafatnya Raja Linggawarman (666-669 M). Linggawarman tidak memiliki anak laki-laki, melainkan dua anak perempuan yang bernama Manasih dan Subakancana.

Pada 669 M, takhta Tarumanegara diwariskan kepada menantu Linggawarman yakni Tarusbawa yang tidak lain adalah suami Manasih. Di sinilah riwayat Kerajaan Tarumanegara benar-benar tamat.

Setahun setelah naik takhta, Tarusbawa justru memindahkan pusat pemerintahan dan mengubah nama Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda pada 670 M.

Situasi ini dimanfaatkan oleh Wretikandayun untuk melepaskan wilayahnya dari cengkeraman Tarumanegara. Wretikandayun adalah pemimpin Kerajaan Kendan sejak 612 M. Kerajaan Kendan saat itu merupakan salah satu wilayah taklukan Tarumanegara.

Tahun 670 M, atau bertepatan dengan didirikannya Kerajaan Sunda oleh Tarusbawa, Wretikandayun juga mendeklarasikan terbentuknya Kerajaan Galuh di tanah Pasundan.

Herlina Lubis dan kawan-kawan melaluii penelitian berjudul “Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VII-XV” dalam jurnal Paramita (Volume 26, 2016) menerangkan, Kerajaan Sunda berpusat di Bogor, sedangkan Kerajaan Galuh beribukota di Ciamis.

Nantinya, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dipersatukan oleh Jayadéwata dengan gelar Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Pada masa Sri Baduga Maharaja, gabungan Kerajaan Sunda dan Galuh dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Naskah Wangsekerta

Isinya meliputi beberapa tulisan, yakni Carita Parahyangan, Nagarakrebhumi, Pustaka Dwipantaraparwa, Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, dan Pustaka Rajya-rajya Bhumi Nusantara.

Prasasti Ciaruteun

Terdapat gambar laba-laba dan pahatan kaki yang mendeskripsikan kekuasaan Purnawarman. Lalu, ada tulisan aksara Pallawa yang berbahasa Sanskerta sebagai jabaran lengkap mengenai gambar yang terdapat di prasasti ini.

Prasasti Jambu

Sering disebut juga sebagai Prasasti Koleangkak karena ditemukan di Bukit Koleangkak (Subang). Sama seperti Ciareteun, terdapat pahatan sepasang telapak kaki Purnawarman yang menandakan daerah tersebut adalah wilayah kekuasannya.

Prasasti Kebon Kopi

Juga terdapat gambar telapak kaki dan tulisan beraksara Pallawa bahasa Sanskerta terukir di prasasti ini yang menegaskan penguasaan atas wilayah tersebut.

Prasasti Muara Cianten

Tulisan dari aksara ikal atau Sangkha yang tercantum di prasasti belum dapat dibaca hingga kini. Ukurannya terlalu besar untuk dipindahkan sehingga kini masih berada di tempat penemuannya, yakni tepi Sungai Cisadane yang jaraknya sekitar 50 meter dari muara Kali Cianten, Bogor.

Prasasti Pasir Awi

Tanpa aksara, batu ini hanya dipahat dengan berbagai gambar, mulai dari dahan, daun, ranting, hingga buah. Roger Diederik Marius Verbeek, geolog dan ilmuwan Belanda, mengungkapkan bahwa prasasti ini adalah wujud penggambaran tanggal.

Prasasti Cidanghiyang

Batu tertulis yang ditemukan pada 1947 ini menjadi catatan sejarah penting mengenai kekuasaan Tarumanegara di wilayah Banten pada era Purnawarman.

Prasasti Tugu

Menjelaskan keterangan dua proyek besar yang pernah dilakukan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman, yakni pembuatan baru Sungai Gomati yang nantinya dikeruk pada masa Purnawarman.

Daftar Raja Tarumanegara

  • Jayasingawarman (358-382)
  • Dharmayawarman (382-395)
  • Purnawarman (395-434)
  • Wisnuwarman (434-455)
  • Indrawarman (455-515)
  • Candrawarman (515-535)
  • Suryawarman (535-561)
  • Kertawarman (561-628)
  • Sudhawarman (628-639)
  • Hariwangsawarman (639-640)
  • Nagajayawarman (640-666)
  • Linggawarman (666-669)

Baca juga artikel terkait KERAJAAN TARUMANEGARA atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya