tirto.id - Kerajaan Jenggala atau Janggala adalah salah satu kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang pernah eksis di Nusantara atau Indonesia. Sejarah kerajaan di Jawa Timur ini masih terkait dengan Kerajaan Kahuripan dan Dinasti Mataram Kuno.
Kahuripan merupakan kerajaan turunan Mataram Kuno periode Jawa Timur yang dipimpin oleh Airlangga (1009-1042 M) sebagai raja yang paling mahsyur sekaligus raja terakhirnya.
Airlangga sebenarnya sudah punya calon penerus singgasana Kerajaan Kahuripan, yaitu putrinya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi.
Namun, sang putri mahkota memilih hidup sebagai pertapa sehingga memantik polemik antara dua putra Airlangga yang sama-sama menginginkan takhta.
Dikutip dari penelitian bertajuk "Religi, Ritual, dan Sistem Kerajaan Jawa Timur" (2016) yang disusun oleh I Ketut Ardhana dan kawan-kawan, pada 1042 Airlangga membagi wilayah kerajaannya untuk kedua putranya yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.
Sri Samarawijaya mendapatkan wilayah di bagian barat yang kemudian bernama Kerajaan Kadiri (Panjalu), berpusat di Daha. Sedangkan wilayah bagian timur diberikan kepada Mapanji Garasakan, yaitu Kerajaan Jenggala yang berpusat di Kahuripan.
Lokasi, Keruntuhan, & Peninggalan
Kerajaan Jenggala berpusat di Kahuripan, di lembah Gunung Penanggungan (meliputi Pasuruan, Sidoarjo, dan Mojokerto) atau di dekat muara Sungai Brantas. Kahuripan adalah pusat pemerintahan kerajaan yang dipimpin Airlangga.
Pemisahan kerajaan oleh Airlangga agar keturunannya dapat memimpin Kerajaan masing-masing dengan damai tampaknya tidak berhasil. Cukup sering terjadi silang sengketa yang menyebabkan perang antara Jenggala dan Kediri.
Salah satu bukti terjadinya peperangan ini adalah dengan ditemukannya Prasasti Ngantang. Di prasasti ini tercatat tulisan Panjalu Jayati yang artinya “Panjalu menang”. Catatan tersebut diperkirakan merujuk kepada kemenangan Panjalu atas Jenggala.
Kerap pecahnya polemik membuat Kerajaan Jenggala tidak mampu bertahan lama, ditambah sejumlah hal lain yang menyebabkan kemunduran kerajaan ini seperti faktor alam di delta Sungai Brantas.
Riset bertajuk "Bencana Geologi dalam Sandhyakala Jenggala dan Majapahit" (2007) karya Awang Harun Satyana mengungkapkan ada kaitan antara bencana lumpur panas di Sidoarjo dengan riwayat runtuhnya Kerajaan Jenggala.
Berdasarkan penafsiran beberapa sumber, terbuka kemungkinan bahwa Kerajaan Jenggala tersebut telah mengalami kemunduran akibat bencana alam berupa erupsi dari gunung-gunung lumpur.
Kerajaan Jenggala berumur relatif singkat, kemungkinan besar tidak sampai dua dekade. Dari masa pemerintahan Mapanji Garasakan (1042) hingga raja ketiga yakni Samarotsaha yang diperkirakan berakhir pada 1059 Masehi.
Tidak banyak sisa peninggalan Kerajaan Jenggala. Salah satunya adalah Candi Prada di Dusun Reno Pencil, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Sayangnya, candi yang berisi arca Ganesha, Batara Syiwa, Semar, patung katak, dan batu lingga-yoni ini mengalami kerusakan dan tidak banyak peninggalan sejarah yang bisa diselamatkan.
Prasasti & Daftar Raja Jenggala
Beberapa prasasti terkait sejarah Kerajaan Jenggala yang ditemukan antara lain:
- Prasasti Turun Hyang II (1044 M)
- Prasasti Kambang Putih (1050 M)
- Prasasti Malenga (1052 M)
- Prasasti Banjaran (1052 M)
- Prasasti Sumengka (1059 M)
- Mapanji Garasakan (sejak 1042 M).
- Alanjung Ahyes (1052 M)
- Samarotsaha (1059 M)
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Iswara N Raditya