tirto.id - Masuknya Kristen Katolik dan Protestan ke Indonesia yang dibawa oleh bangsa-bangsa Eropa ternyata berpengaruh terhadap sejarah munculnya kerajaan bercorak Nasrani. Setidaknya ada 3 kerajaan penganut Kristen di Nusantara, yakni Larantuka, Siau, dan Manado.
Pada abad ke-16 Masehi, bangsa Portugis dan Spanyol berlayar ke wilayah timur Nusantara dengan misi gold (kekayaan), glory (kejayaan), dan gospel (penyebaran agama) atau 3G.
Portugis dan Spanyol membawa agama Kristen Katolik dalam ekspedisi penjelajahan samudera. Selanjutnya, ajaran Kristen Protestan dibawa para misionaris Belanda ke Nusantara pada abad ke-17.
Tentunya, bangsa-bangsa Eropa tersebut memiliki andil penting dalam mempengaruhi sejarah tiga kerajaan Kristen di Indonesia.
Kerajaan Larantuka
Kerajaan Larantuka diperkirakan telah berdiri pada abad ke-13 Masehi di Pulau Flores, tepatnya di Flores Timur yang kini termasuk wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dahulu, kawasan yang kemudian menjadi wilayah Kerajaan Larantuka disebut dengan nama Nusa Dipa, artinya Pulau Ular atau Pulau Naga. Nama ini berasal dari istilah Sanskerta.
Menurut Douglas Kammen dalam Three Centuries of Conflict in East Timor (2015:114), Kerajaan Larantuka dahulunya bernama Ata Jawa, didirikan oleh pasangan Pati Golo Arakian dan Wato Wele.
Kerajaan Larantuka pernah ditaklukkan oleh Majapahit. Berdasarkan catatan Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005), imperium yang berpusat di Jawa Timur itu telah menguasai sebagian wilayah timur Nusantara, salah satunya adalah Larantuka.
Kehadiran bangsa Portugis ke wilayah timur Nusantara pada abad ke-16 M kemudian berhasil membuat masyarakat di Kerajaan Larantuka menganut agama Kristen Katolik.
Pada masa kepemimpinan Sira Demon Pagu Molang, Kerajaan Larantuka beraliansi dengan Portugis untuk bersama-sama melawan Belanda, demikian tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia (2004).
Belanda alias VOC yang datang belakangan ingin menguasai Larantuka. Perlawanan Larantuka dan Portugis berakhir pada abad ke-17.
Belanda berhasil memaksakan perundingan pada 1851. Tanggal 20 April 1859, dikutip dari Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur (1982) karya M. Koehuan dan kawan-kawan, Portugis terpaksa menyerahkan wilayah Flores, termasuk Larantuka, kepada Belanda.
Kerajaan Siau
Kerajaan Siau terletak yang didirkan oleh Lokombanua II pada 1510 terletak di pulau sebelah utara Kota Manado atau yang saat ini termasuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Utara.
Alex John Ulaen dalam Nusa Utara: Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan (2003:62), mencatat:
"Perkembangan Kedatuan [Kerajaan] Siau, yang berakar dari Kedatuan Bawontehu (Manado Tua), mempunyai ikatan genealogi dengan keturunan Medellu sangat dipengaruhi oleh kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol.”
Kerajaan Siau menganut agama Kristen Katolik sejak 1563. Awalnya, raja yang bernama Posuma dibaptis hingga akhirnya seluruh rakyat mengikuti jejak kepercayaan yang dibawa oleh Pater Magelhaes dari Portugis.
Tahun 1677, Kerajaan Siau mengalami perubahan ketika Belanda datang yang juga berimbas di sektor keagamaan. Belanda yang menganut Kristen Protestan mendesak Raja Siau dan rakyatnya untuk memeluk agama mereka.
Kerajaan Siau berusia cukup panjang, bahkan hingga Indonesia merdeka. Tahun 1946, kerajaan ini pernah diduduki oleh kaum pro-republik. Riwayat Kerajaan Siau berakhir pada 1956 dengan Ch David sebagai pemimpin terakhirnya.
Kerajaan Manado
Sama seperti Siau, Kerajaan Manado juga bertautan dengan Kerajaan Bowontehu di Sulawesi Utara. Wilayah kerajaan bercorak Nasrani ini mencakup Siladen, Bunaken, Mantehage, Nain, Talise, Gangga, Bangka, Lembe, dan daerah sekitar pesisir Sulawesi.
Kerajaan Manado pernah berperan penting bagi Portugis. Manado menjadi gudang penyimpanan barang yang dibawa maupun yang dibeli bangsa Eropa itu dari penduduk pribumi.
Riwayat kristenisasi di Kerajaan Manado nyaris bersamaan dengan masa ketika raja Siau dan rakyatnya dibaptis.
Pemimpin Kerajaan Manado saat itu, Raja Kinalang Damopoli, pada 1563 telah menjalankan proses pembersihan diri bersama 1.500 orang warganya agar terhindar dari dosa.
Dalam Ragi Carita I (1987:80), Th van den End menerangkan bahwa penduduk Manado berminat bisa menerima agama Kristen yang dirintis oleh Pater Magelhaes, misionaris dari Portugis.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya