tirto.id - Gunung Merapi aktif mengeluarkan guguran lava pijar dan awan panas sejak 4 Januari hingga tiga pekan kemudian. Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyatakan bahwa Merapi saat ini memasuki fase erupsi efusif.
Erupsi efusif terjadi ketika magma basal cair mencapai permukaan. Pada erupsi jenis ini, lava, gas, dan material vulkanik lainnya keluar secara perlahan tanpa diiringi ledakan.
Meski begitu, Kepala BPPTKG Hanik Humaida menyatakan erupsi eksplosif (disertai letusan) masih berpeluang terjadi, dengan jarak lontaran material vulkanik diperkirakan menjangkau radius 3 km dari puncak Merapi.
Menurut Smithsonian Institution, National Museum of Natural History Global Volcanism Program, Gunung Merapi terbilang gunung termuda di rangkaian gunung berapi arah selatan setelah Gunung Ungaran dan Gunung Merbabu.
Awal terbentuknya disebabkan oleh pergerakan ke bawah zona subduksi Lempeng Indo-Australia hingga menyentuh Lempeng Eurasia. Akibat proses tersebut, aktivitas vulkanik tidak terhindari dan berdampak pada kehidupan di bagian tengah pulau Jawa.
Letusan Gunung Merapi baru tercatat detail secara tertulis sejak awal kolonialisme Belanda pada sekitar Abad ke-17. Kejadian erupsi pada masa-masa sebelumnya tidak tercatat secara gamblang.
Para ahli vulkanologi melacak letusan-letusan Merapi pada masa silam dengan merujuk sejumlah bukti yang mengindikasikannya dan penentuan waktu relatif. Para ilmuwan memperkirakan gunung api ini sudah mengeluarkan letusan dan mengalami erupsi sejak 3000 tahun lalu.
Mengutip data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), selama era 3000 sampai 250 tahun lalu, Gunung Merapi diperkirakan sudah meletus 33 kali. Sebanyak tujuh di antaranya adalah letusan besar. Data ini menunjukkan letusan besar Merapi memiliki pola yang terjadi sekali dalam kurun 150-500 tahun.
Sementara berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 1600-an, Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali atau rata-rata sekali meletus dalam empat tahun. Masa istirahat Merapi antara 1-18 tahun.
Berikutnya, pada periode Merapi baru, terjadi beberapa kali letusan besar pada abad ke-19 (tahun 1768, 1822, 1849, 1872) dan abad ke-20 (1930-1931). Erupsi pada abad 19 jauh lebih besar dari letusan selama abad ke-20, sebab luncuran awan panas bisa mencapai hingga 20 km dari puncak.
Sementara di antara sejumlah letusan yang terjadi pada masa modern (abad 19 hingga 21), erupsi eksplosif Gunung Merapi pada 1872 dan 2010 merupakan yang terbesar.
Data dalam Buku Data Bencana Indonesia 2018, terbitan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan, letusan Gunung Merapi pada 15 April 1872 dan 26 Oktober 2010 berada di skala 4 VEI (Volcanic Explosivity Index). Artinya, letusan pada 1872 dan 2010 cukup besar.
Indeks VEI adalah skala untuk mengukur kekuatan dan besaran letusan gunung api. Skala diukur dari 1 hingga 8 VEI. Semakin besar angka skala VEI, artinya bertambah besar pula letusannya.
Untuk data perbandingan, letusan Gunung Krakatau pada 1883 dan gunung Pinatubo tahun 1991, merupakan erupsi dengan skala besar yaitu 6 VEI.
Bagaimana Letusan Gunung Merapi 1872 Terjadi?
Pada 1872, Gunung Merapi yang berketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut mengalami erupsi eksplosif dan menyebabkan kerusakan yang signifikan.
Dalam buku Gunung Merapi: Antara Legenda, Mitos, dan Penanggulangan Bencana (1996) yang ditulis oleh Trijoto, peristiwa erupsi pada pertengahan April 1872 tersebut kira-kira merenggut lebih dari dua ratusan warga.
Erupsi ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan di sekitarnya. Beny Harjadi dan Pranatasari Dyah Susanti dalam Penanganan Lahan Merapi Pascaerupsi Antara Berkah dan Musibah (2019), menjelaskan bahwa letusan terjadi tanpa istirahat selama 120 jam lamanya.
Gunung Merapi saat itu meletus hingga menciptakan muntahan setinggi 10 kilometer. Setelahnya, material dengan cepat jatuh ke daratan serta pemukiman sekitar gunung itu dan mengakibatkan hancurnya banyak rumah warga.
Kembali mengutip catatan BNPB, erupsi Gunung Merapi pada 1872 berlangsung selama sekitar 5 hari, yakni pada periode 15-20 April. Letusan pertama pada 15 April 1872 tercatat tidak diawali gejala peningkatan aktivitas.
Sebelum erupsi besar itu terjadi, pada Agustus 1871, kubah lava dengan tinggi 250 meter tumbuh di atas Pasarbubar, kawah Merapi Tua. Puncak kubah lava yang awalnya berada di ketinggian 2.890 mdpl, terus bertumbuh hingga mencapai titik 2.907 mdpl.
Letusan Gunung Merapi kala itu menghancurkan kubah lava yang tumbuh pada tahun 1867-1871. Erupsi 1872 juga membuat bagian puncak Gunung Merapi terpangkas hingga ketinggiannya hanya mencapai 2.814 mdpl.
Erupsi eksplosif dengan letusan dahsyat pada 1872 membentuk pula kawah oval 640 x 480 meter, dengan kedalaman mencapai 500 meter.
Luncuran awan panas dan muntahan material yang berjatuhan bahkan bisa memusnahkan seluruh permukiman di sekitar Merapi yang ada di ketinggian di atas 1.000 mdpl.
Surono yang pernah menjabat Kepala PVMBG, dalam Merapi Volcano Before and After the 2010 Eruption (2012), mengungkapkan bahwa kawah yang terbentuk selebar 480-600 meter pada 1872 kurang lebih mirip dengan dampak dari erupsi tahun 2010.
Erupsi Merapi pada 2010 bersifat eksplosif membentuk kolom letusan setinggi 10 km dari puncak. Sedangkan awan panas atau aliran piroklastik yang utama menuju ke arah Kali Gendol (tenggara), hingga sejauh 15 km dari puncak.
Menurut Subandriyo, dalam Sejarah Erupsi Gunung Merapi dan Dampaknya terhadap Kawasan Borobudur [PDF], apabila dilihat dari kronologinya, erupsi Merapi pada 2010 memang mirip dengan letusan yang terjadi pada 1872.
Subandriyo mencatat erupsi Merapi pada 1872 diawali dengan letusan pertama pada 15 April. Lalu, setelah reda selama 2 hari, baru pada 17-20 April 1872 terjadi letusan utama. Adapun kawah yang terbentuk akibat kedua letusan tersebut hampir sama, yakni berdiameter antara 480-600 m.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom