Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda: Penyebab, Lokasi, Dampak

Perang Bubat antara Kerajaan Sunda vs Majapahit menyimpan banyak sejarah, mulai dari penyebab hingga dampaknya.

Sejarah Perang Bubat Majapahit vs Sunda: Penyebab, Lokasi, Dampak
Ilustrasi Gajah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Perang Bubat tahun 1357 Masehi melibatkan Kemaharajaan Majapahit era Hayam Wuruk dan Gajah Mada melawan Kerajaan Sunda (Galuh) di bawah pemerintahan Prabu Linggabuana. Perang ini menyimpan banyak sejarah, mulai dari penyebab hingga dampaknya di kemudian hari.

Menurut Kakawin Nagarakertagama, Kerajaan Majapahit telah menguasai daerah Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian Kepulauan Filipina di masa kepemimpinan Hayam Wuruk (1350-1389).

.

Ada satu wilayah yang belum bisa dikuasai oleh Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda. Kendati Kerajaan Sunda sama-sama berada di pulau Jawa, Mahapatih Gajah Mada tidak memiliki alasan apa pun untuk menaklukkannya.

Menurut Wawan Hermawan melalui artikel bertajuk “Perang Bubat dalam Literatur Majapahit” yang terhimpun di jurnal Wawasan Agama dan Sosial Budaya (Volume 34, 2011:39), kekosongan alasan untuk menaklukkan Sunda menyebabkan Majapahit memakai jalur diplomasi untuk menjalin persekutuan.

Hayam Wuruk melakukannya dengan cara berniat mempersunting putri Raja Sunda, Prabu Linggabuana, yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Ternyata, kisah upaya menjalin kekerabatan antara kedua kerajaan besar di Jawa ini berujung malapetaka.

Penyebab Perang Bubat

Masih menurut tulisan Wawan Hermawan, diungkapkan bahwa pada 1357 M, rombongan Kerajaan Sunda berangkat menuju Trowulan (Mojokerjo, Jawa Timur) untuk mengantar Dyah Pitaloka Citraresmi dalam rangka pernikahannya dengan Hayam Wuruk.

Gajah Mada justru melihat kondisi dengan pandangan lain. Ia menilai bahwa inilah saatnya untuk menaklukkan Sunda. Gajah Mada masih bersikeras dengan Sumpah Amukti Palapa untuk menaklukkan seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Imperium Majapahit.

Rombongan Kerajaan Sunda diberikan tempat di Pesanggrahan Bubat, tidak begitu jauh dari Trowulan, pusat pemerintahan Majapahit.

Inforgafik Perang Bubat Majapahit vs Sunda

Inforgafik Perang Bubat Majapahit vs Sunda. tirto.id/Fuad

Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit (2005), yang ditulis berdasarkan Kidung Sundayana, mengungkapkan, Gajah Mada mengambil keputusan sepihak dengan menyatakan bahwa Dyah Pitaloka Citraresmi hanya sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk Majapahit.

Dalam Menggali Pemerintahan Negeri Doho: Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren (2016), Haris Daryono Ali Haji mengungkapkan, di Pesanggrahan Bubat itulah pasukan Majapahit menyerang rombongan tamu mereka.

Pihak Sunda yang tidak bisa menerima penghinaan itu akhirnya memutuskan untuk melawan meski jumlahnya tidak sebanyak pasukan Majapahit. Serangan tak seimbang itu memakan banyak korban. Bahkan, konon seluruh rombongan Sunda tewas, hanya menyisakan Dyah Pitaloka Citraresmi.

Melihat situasi yang mengerikan itu, Dyah Pitaloka Citraresmi akhirnya memutuskan untuk mengakhiri nyawa sendiri (belapati) dengan menancapkan tusuk konde tepat di jantungnya.

Tokoh & Dampak Perang Bubat

Hayam Wuruk selaku Raja Majapahit juga menyesali keputusan Gajah Mada. Dalam Kidung Sunda, diterangkan kekecewaan mendalam Hayam Wuruk itu membuat hubungannya dengan sang mahapatih menjadi renggang.

Tragedi di Bubat tentu saja memicu rusaknya hubungan antara kedua belah pihak. Menurut Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula (2006), kedua kerajaan itu tidak bisa mencapai keadaan seperti sebelumnya.

Dengan kata lain, konflik dingin terjadi di antara Majapahit dan Sunda. Hingga berabad-abad usai peristiwa itu, seolah-olah terjadi suasana yang kurang harmonis, bahkan jauh setelah Kerajaan Majapahit maupun Kerajaan Sunda tidak eksis lagi.

Upaya "rekonsiliasi" demi "memperbaiki kembali hubungan" akhirnya terwujud pada 11 Mei 2018. Di Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, diresmikan tiga ruas jalan yang diberi nama Jalan Majapahit, Jalan Prabu Hayam Wuruk, dan Jalan Citraresmi.

Peresmian dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat saat itu yakni Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur Jawa Timur kala itu yakni Soekarwo, dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam X, di sela-sela kegiatan Harmoni Budaya Jawa-Sunda di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (11/5/2018).

Dikutip dari Antara, Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengatakan bahwa peresmian tiga ruas jalan inimerupakan cara untuk "menyelesaikan konflik budaya" dengan menghaluskan yang kasar dan menjernihkan yang kotor.

Sebelumnya, pada 11 April 2015, budayawan Sunda yang juga Bupati Purwakarta saat itu, Deddy Mulyadi, menggelar perhelatan budaya tentang Perang Bubat. Hal ini dilakukan sebagai langkah menyatukan persepsi dan tidak menjadi dendam sejarah yang berkepanjangan.

“Jika saya kembali mempergelarkan kisah Perang Bubat itu, tidak bermaksud membuka luka lama, tetapi justru sebagai kritik dan otokritik," tutur Deddy Mulyadi dikutip dari website resmi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

"Harus diakui bahwa Linggabuana sebagai Raja Galuh kurang tepat dengan menuruti keinginan Hayam Wuruk mengantarkan Citraresmi ke Bubat. Sedangkan kritik untuk Hayam Wuruk adalah tetap memaksakan keinginannya untuk menikahi Citraresmi di antara banyak pilihan," bebernya.

“Ini catatan sejarah yang memang tidak harus dilupakan, tetapi juga tidak harus menjadi dendam berkepanjangan,” tutup Deddy Mulyadi.

Baca juga artikel terkait KERAJAAN MAJAPAHIT atau tulisan lainnya dari Yuda Prinada

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Yuda Prinada
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya