tirto.id - Di awal masa datangnya pengaruh budaya Hindu-Buddha, aksara dan bahasa adalah dua di antara sekian aspek yang diserap oleh masyarakat Nusantara. Demikianlah sehingga nenek moyang kita menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta untuk menulis prasasti-prasasti mereka.
Meski demikian, nenek moyang kita yang kreatif terus melakukan kreasi, memadukan unsur India tersebut dengan lokalitas. Pada abad ke-7, penguasa Sriwijaya mulai menggunakan bahasa Melayu Kuno untuk prasastinya. Aksara Pallawa dari India pun kemudian dimodifikasi dan dikembangkan menjadi beberapa aksara lokal, salah satunya aksara Jawa Kuno.
Menurut P.J. Zoetmulder, bukti tertua penggunaan aksara—dan bahasa—Jawa Kuno berasal dari era Kerajaan Mataram Kuno. Ialah Prasasti Sukabumi atau juga biasa disebut Prasasti Harinjing. Prasasti ini sebenarnya memuat 3 inskripsi dengan angka tahun berbeda yang berurutan. Tarikhnya yang tertua adalah 726 Saka alias 804 Masehi.
“Prasasti Sukabumi merupakan piagam pertama yang mempergunakan bahasa Jawa Kuno dan sejak saat itu bahasa itulah yang dipakai dalam kebanyakan dokumen resmi,” tulis Zoetmulder dalam karya klasiknya, Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983).
Maka wajarlah jika Zoetmulder menyebut tarikh tersebut sebagai tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa Kuno. Namun, Prasasti Sukabumi sebenarnya masih memiliki keistimewaan lain. Rupanya, ia meninggalkan pesan pada kita tentang bagaimana nenek moyang kita mengelola lingkungan hidupnya.
Ditemukan di Kebun Kopi
Prasasti Sukabumi merupakan tinggalan masa Kerajaan Mataram Kuno yang ditemukan Kediri. Persisnya, ia ditemukan di perkebunan kopi kolonial Sukabumi yang kini masuk wilayah Desa Kampungbaru, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dari nama tempat penemuannya itulah ia beroleh nama Prasasti Sukabumi.
Penemuan Prasasti Sukabumi berkait erat dengan pembukaan Perkebunan Kopi Sukabumi di Kediri. Laporan pertama terkait keberadaan prasasti tersebut disampaikan oleh administrator perkebunan bernama W. Pet pada 1916.
“Sekitar 17 tahun yang lalu, Tuan W. Pet yang saat itu menjabat sebagai administrator Perusahaan kopi Sukabumi di Pare (Res. Kediri) menarik perhatian saya terkait temuan batu bertulis di dekat Kampung Baru yang olehnya dibawa ke halaman kantor administrator,” tulis Pieter Vincent van Stein Callenfels dalam De Inscriptie van Soekaboemi (1934).
Karena disimpan di halaman kantor administrator, Prasasti Sukabumi setidaknya berada dalam kondisi yang cukup aman. Dalam artian, prasasti terlindung dari cuaca sehingga kondisinya tidak semakin rusak.
Masih di tahun yang sama, Prasasti Sukabumi kemudian mendapat perhatian dari Oudheidkundige Dienst (OD—dinas purbakala di era kolonial). OD lantas menerbitkan laporan mengenai prasasti itu dalam Oudheidkundig Verslag edisi 1916.
Bhagawanta Bhari dan Kali Serinjing
Inskripsi tertua pada Prasasti Sukabumi mengabarkan tentang penetapan anugerah sima (tanah bebas pajak) Culanggi dari maharaja Mataram Kuno kepada Bhagawanta Bhari. Pemberian status sima tersebut berkenaan dengan jasa Bhagawanta Bhari membuat dawuhan (bendungan) Kali Serinjing.
Penetapan tersebut tertulis di bagian depan prasasti yang kemudian disebut Prasasti Harinjing A. Sementara itu, bagian belakangnya kita juga menjumpai inskripsi lain bertarikh 921 Masehi yang disebut Prasasti Harinjing B. Pun di bawah Prasasti Harinjing B masih terdapat satu inskripsi lagi bertarikh 927 Masehi yang disebut Prasasti Harinjing C.
Berita Penelitian Arkeologi No. 40: Laporan Penelitian Situs Kepung, Kediri, Jawa Timur (1990) menerangkan bahwa isi Prasasti Harinjing B dan C merupakan kesinambungan dari Prasasti Harinjing A. Keduanya merupakan penetapan ulang atas status sima Culanggi pada para ahli waris Bhagawanta Bhari.
Pada Prasasti Harinjing B, kita bisa mendapati penyebutan maharaja Mataram Kuno, Rake Layang Dyah Tulodong. Dialah yang memperbarui pengakuan atas hak tanah perdikan Culanggi karena keturunan sang begawan masih setia memelihara bendungan tersebut.
Status sima itu pun masih diakui oleh raja Mataram Kuno berikutnya. Prasasti Harinjing C tidak menyebut nama raja, tapi para arkeolog memperkirakan bahwa prasasti tersebut ditulis dalam masa pemerintahan Maharaja Rake Sumba Dyah Wawa.
Kali Serinjing yang disebut dalam Prasasti Harinjing A masih eksis hingga kini. Saluran irigasi hasil pekerjaan yang dipimpin oleh Bhagawanta Bhari ini merupakan sodetan dari sebuah sungai yang berhulu di Gunung Kelud. Sungai itu kini disebut warga Kediri dengan nama Kali Konto.
Seturut penelusuran Tim Ekspedisi Kali SerinjingRadar Kediri, Kali Serinjing mengular sepanjang 35 kilometer melewati enam kecamatan hingga bermuara di Sungai Brantas. Harinjing adalah penyebutannya di era Mataram Kuno. Penyebutan Serinjing sendiri diperkirakan mulai muncul pada masa yang lebih modern.
“Pada masa Belanda, di Kali Serinjing banyak muncul rekayasa. Berupa bendungan yang dialirkan. Namun secara dominan masih menggunakan jalur aliran kuno dari masa Bagawanta Bhari,” tulis tim ekspedisi dari Radar Kediri.
Pembangunan dawuhan di era Bhagawanta Bhari hidup sebenarnya didasari oleh kepentingan religius. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa upayanya itu punya manfaat besar bagi sistem pertanian di daerah yang nantinya berkembang pesat menjadi Kerajaan Kediri.
Kali Serinjing utamanya mengaliri Kediri bagian timur yang merupakan bagian dari lereng Gunung Kelud. Membentang di sekitar gunung berapi aktif, mudah untuk memperkirakan bahwa ini adalah wilayah subur. Demikianlah ia menjadi tempat tumbuhnya pertanian kuno dan tentu saja cikal bakal masyarakat Kediri.
Keberadaan Prasasti Harinjing di sini adalah tengara bahwa wilayah ini telah lama menjadi titik berkembangnya masyarakat Jawa kuno. Darinya pula, kita tahu bahwa masyarakat petani Jawa kuno telah mengenal sistem pengelolaan sumber daya air yang teratur.
Bagi masyarakat petani, air merupakan kebutuhan penting. Ketersediaan air menjamin keberhasilan pertanian. Karenanya, masyarakat petani Jawa Kuno lazim melakukan rekayasa pengaturan air untuk pertaniannya.
Edhie Wurjantoro dalam Indonesia dalam Arus Sejarah II, Hindu-Buddha (2013) menyebut bahwa masyarakat Jawa Kuno telah mengembangkan beberapa ragam rekayasa untuk mengelola air. Di antara bentuk rekayasa itu meliputi dawuhan (tanggul), arung (terowongan air), tambak (tanggul), tameng (dam), dan weluran (saluran).
Bukti Hari Jadi Kediri
Anugerah sima Culanggi bagi Bhagawanta Bhari dan komunitasnya dilangsungkan pada tanggal 11 suklapaksa, bulan Caitra, tahun 726 Saka. Jika dikonversikan ke tarikh Masehi, kita mendapati tanggal 25 Maret 804 Masehi.
Namun, lagi-lagi, Prasasti Sukabumi tak hanya memberikan informasi soal pembuatan bendungan di Kali Serinjing. Dalam Prasasti Harinjing B, kita bakal mendapati penyebutan suatu wilayah bernama Kadiri.
Di baris ke-16 Prasasti Harinjing B, kita dapati tulisan, “i cri maharaja mijil angken cetra ka 3, i sang pamgat asing juru i kadiri ikang ri wilang.”
Itulah momen pertama kali nama Kadiri atau Kediri disebut dalam sejarah. Karenanya, Prasasti Sukabumi kemudian menjadi “dokumen” penting untuk menentukan hari lahir Kabupaten Kediri.
Pemerintah Kabupaten Kediri kemudian menjadikan 25 Maret 804 sebagai Hari Jadi Kediri. Pada 22 Januari 1985 Pemkab Kediri lantas menerbitkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kediri Nomor 82/1985 tentang Hari Jadi Kediri untuk memperkuat penetapan tanggal tersebut.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi