tirto.id - Suatu hari pada 780 M, seorang biksu muda dari Tanah Jawa datang ke negeri Tiongkok yang tersohor. Setelah turun dari kapal, sang biksu pun langsung mengarah ke Chang An, ibu kota Dinasti Tang saat itu. Di sana, dia telah ditunggu oleh guru yang konon muncul dalam mimpinya beberapa tahun sebelumnya.
Di dalam mimpinya itu, sang biksu mendapat gambaran bahwa Sutra Vairocanābhisaṃbodhi yang dicarinya ada di Negeri Tang Raya. Kitab Sutra itu telah diboyong oleh seorang mahaguru Tiongkok dari negeri asalnya Hindustan.
Maka sang biksu pun pergi menemui murid sang mahaguru yang berdiam di Negeri Kaisar Seribu Tahun itu. Guru yang tengah menunggu si biksu itu rupanya adalah Huiguo dari Kuil Daxingshan. Sementara itu, si biksu muda dari Jawa itu diduga bernama Ajñagarbha dan Huiguo memanggilnya dengan nama Bianhong.
Kepada Huiguo, Biksu Bianhong menyerahkan beberap hadiah, di antaranya simbal khas Jawa, sepasang kulit kerang, sebuah mangkuk dana, dan empat vas tembikar. Melihat hadiah-hadiah dari Bianhong, para murid Huiguo sontak berdecak kagum. Mereka—yang berasal dari negeri-negeri Tiongkok, Jepang, dan Korea—tak menyangka bahwa Biksu Bianhong ternyata begitu fasih dalam menjalankan tradisi Buddha Vajrayana.
Cerita Bianghong tersebut terekam dalam naskah Himitsu Mandarakyo Fuhoden karya Kukai, seorang biksu kenamaan sekaligus peneguh sekte Buddha Shingon di Jepang. Kukai adalah juga kawan Bianhong selama berguru pada Huiguo di Tiongkok.
Iain Sinclair dalam studi bertajuk “Coronation and Liberation according to a Javanese Monk in China: Bianhong’s Manual on the Abhiseka and Cakravartin” (2016) menyebut bahwa kisah Bianhong adalah salah satu percikan kecil dari fenomena kedekatan orang Jawa dan Tiongkok di ranah intelektual dan spiritual.
Seturut Sinclair, Bianhong bisa jadi ialah satu-satunya orang Jawa di masa kuno yang pernah menulis manuskrip dalam bahasa dan aksara Cina. Tulisan Bianhong yang dimaksud Sinclair itu adalah naskah yang kini dikenal berjudul The Ritual Manual for Initiation into the Great Mandala of the Uṣṇīṣa-Cakravartin. Naskah kuno ini kemudian menjadi acuan baik di Tiongkok maupun Jepang.
Pencapaian Bianhong sebenarnya tidaklah terlalu mengejutkan. Pasalnya, menurut Sinclair, Bianhong memang dihormati sebagai seorang ācārya (mahaguru) di Tiongkok.
Hubungan Intelektual Jawa dan Tiongkok Daratan
Jejak-jejak hubungan intelektual dan spiritual antara para biksu Jawa dan Cina sebenarnya bisa dilacak dari abad ke-5 M. Intelektual buddhis Tionghoa pertama yang menyinggung soal Jawa adalah Fa Xian. Dia pernah mengunjungi Jawa dan kemudian mencatat pengalamannya dalam Foguo Si (Catatan soal Negara-negara Buddhis).
Fa Xian menceritakan bahwa dirinya mendarat di Yavadi–pelafalan Jawa dalam bahasa Tiongkok—pada 414 M.
“Selanjutnya mereka melanjutkan pelayarannya 90 hari dan mencapai sebuah negara yang disebut Ya-va-di. Di negara ini banyak penganut agama kotor dan brahman. Ajaran Buddha terlalu sedikit dibicarakan. Setelah tinggal selama lima bulan, sekali lagi Fa Xian melanjutkan perjalanan menggunakan kapal dagang lainnya,” demikian cerita lengkap Fa Xian yang dirangkum W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam catatan Tionghoa (2018).
Dari keterangan ini, Jawa saat itu agaknya belum begitu menarik bagi para biksu Tiongkok untuk disinggahi. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi masyarakat Jawa saat itu yang masih banyak memeluk agama tradisional—disebut Fa Xian sebagai “agama kotor”.
Daya tarik Jawa sebagai pusat peradaban dan pengembangan ajaran Buddha di mata orang Tiongkok diperkirakan mulai terjadi di abad ke-7. Hal ini diketahui dari catatan Yijing yang berkunjung ke Sriwijaya di abad yang sama.
Yijing adalah seorang biksu Tionghoa asal Sichuan yang dikenal terampil dalam pencatatan manuskrip-manuskrip Vinaya di Tiongkok. Saat itu, dia hendak berguru pada seorang pandita Jawa bernama Jñanabhadra. Bersama sang guru dari Jawa itulah, Hui Ning menulis a-chi-mo ching atau Agamasutra. Demikianlah kira-kira apa yang disampaikan T. Sze-Bong dalam disertasinya yang berjudul The Transformation of Buddhist Vinaya in China (1982).
Objek-objek Arkeologis dalam Pertalian Batin Cina-Jawa
Jika Pembaca mencari tinggalan arkeologis yang paling merepresentasikan hubungan spiritual buddhis antara Tiongkok dan Jawa, Kepurbakalaan Ratu Boko jelas mesti disebut. Situs yang berlokasi di daerah Sleman, Yogyakarta, itu dulunya bernama Abhayagiriwihara.
E. Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia: Seri Jawa (2013) menyebut bahwa terdapat keterangan dalam Prasasti Ratu Boko A–bertarikh 772 M—yang menjelaskan pembangunan kompleks candi ini pada abad ke-8. Itu sezaman dengan pemerintahan Rakai Panangkaran dari Dinasti Sailendra.
Bangunan beranasir Buddha itu pada suatu masa kemudian direnovasi dan dialihfungsikan menjadi kraton oleh seseorang bernama Rakai Sri Kumbhayoni. Tokoh ini kemungkinan beragama Hindu Saiwa dan kemudian mendirikan lingga di bangunan buddhis itu.
Menurut M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), Kumbhayoni merupakan tokoh yang disalahartikan oleh Slamet Muljana sebagai Balaputradewa yang berkuasa di Sriwijaya. Balaputradewa sendiri, menurut keterangan Prasasti Siwagerha (856 M), ialah oposisi alot bagi Rakai Pikatan yang mendirikan percandian di Prambanan.
Di luar pusaran politik yang melingkupinya, J.R. Sundberg dalam “The Wilderness Monks of the Abhayagirivihara and the Origins of Sino-Javanese Esoteric Buddhism” (2004) mengkaitkan bangunan suci di Perbukitan Prambanan itu sebagai jembatan religi Buddha Tantrayana Sri Lanka ke Negeri Tiongkok.
Sundberg mengawali penjabarannya dengan penjelasan soal nilai penting ajaran Yoga-Tantradalam teks Sarva Tathagata Tattva Sangra. Yoga-Tantra merupakan basis pembelajaran Tantra pada zaman Dinasti Tang. Ia menjadi akar tradisi spriritual yang dipaktikkan para biksu dan bahkan kalangan kerajaan.
Menurut Sundberg, sebaris inskripsi mantra bagi Trailokyavijaya (salah satu emanasi Buddha Vajrayana yang umum dalam ajaran Yoga-Tantra) yang ditemukan di Situs Ratu Boko menunjukan adanya kesamaan ajaran antara kalangan agamawan buddhis Tiongkok periode Dinasti Tang dengan agamawan Jawa di periode yang sama.
Bagi Sundberg, fenomena ini mungkin berhubungan dengan para penyebar Yoga-Tantradi Tiongkok, yakni Amoghavajra dan Vajrabodhi, yang pernah mengunjungi Jawa. Biksu-biksu asal India dan Sri Lanka ini agaknya sempat menyebar ajarannya di Jawa. Sundberg membuktikan hal itu dengan menunjuk corak paleografis Siddham yang digunakan pada prasasti-prasasti di Lembah Prambanan dan teks-teks Tantra dari Sri Lanka dan bahkan Tiongkok-Jepang.
Petunjuk selanjutnya yang perlu diamati, menurut Sundberg, adalah sebongkah batu yang berasal dari sekitar Prambanan yang saat ini disimpan di Museum Sonobudoyo. Sundberg menilai batu bergores itu menggambarkan figur seorang pertapa yang memiliki ciri fisik mirip dengan orang Tiongkok. Sundberg pun menafsirkan bahwa benda itu merepresentasikan kepercayaan dan penghormataan orang Jawa terhadap para biksu Tionghoa.
Hal ini disebutnya berkaitan dengan kemampuan orang Tionghoa dalam pencatatan dan penyalinan teks-teks buddhis. Keterampilan itu amat dihargai mungkin lantaran sulitnya menemukan teks buddhis dalam bentuk asli yang berbahasa Sanskerta atau Pali. Karena itulah, para biksu Jawa dan Tiongkok kemudian intens bertukar ilmu agama Buddha.
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Fadrik Aziz Firdausi