tirto.id - Masih menjadi tanda tanya besar mengapa pengaruh dan peninggalan Kerajaan Sriwijaya terdapat di kawasan Segenting Kra. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran prasasti di Ligor dan seni bangunan religi yang terinspirasi dari arsitektur ala Sriwijaya.
Segenting atau Tanah Genting Kra (Kra Isthmus) adalah belahan utara Semenanjung Malaya yang menjadi penghubung tersempit antara Samudra Hindia di sebelah barat dan Laut Cina Selatan di sebelah timur, dengan jarak terpendek 44 km di titik muara Sungai Kraburi.
Di kawasan ini pernah berdiri sejumlah kerajaan, di antaranya Langkasuka, Tambralinga, Singora, Patani, dan Ligor. Yang tertua adalah Langkasuka, diperkirakan berdiri sejak abad ke-2 Masehi, yang menguasai sebagian besar wilayah selatan Thailand dan utara Malaysia sekarang.
Dari temuan-temuan arkeologis, para ahli sejarah berpandangan ibu kota Langkasuka berada di Distrik Yarang, 15 km dari kota Pattani saat ini. Ditemukannya koin-koin Arab dan Cina membuktikan bahwa kerajaan tersebut menjalankan perdagangan ekstensif dengan negeri-negeri luar untuk jangka waktu cukup signifikan. Posisi maritimnya selama lebih dari seribu tahun sangat strategis karena memiliki akses langsung ke jalur dagang utama Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan.
Walau ada dalam catatan kuno Cina, India, Melayu, Jawa, bahkan Eropa, sampai sekarang masih ada sejumlah misteri menyelebungi kerajaan ini. Eksistensi kerajaan tersebut memantik spekulasi bahwa selain Sumatra, Semenanjung Malaya--atau tepatnya Tanah Genting Kra--boleh jadi pilihan lain asal mula tumbuhnya peradaban Melayu yang kemudian berjaya di seluruh Nusantara.
Salah satu misteri Langkasuka adalah bangsa yang sebenarnya menguasai kerajaan ini, apakah bangsa Melayu atau bangsa Mon dari Myanmar. Menurut W. Linehan dalam Langkasuka: The Island of Asoka (1948), sumber Melayu tentang kerajaan itu berasal dari kerajaan Melayu (Kedah), yakni Hikayat Merong Mahawangsa yang dikenal juga dengan Sejarah Kedah (Kedah Annals).
Hikayat ini menceritakan awal mula Kerajaan Kedah dan diperkirakan baru ditulis abad ke-18 Masehi. Merong Mahawangsa disebut sebagai nenek moyang para Raja Kedah yang berasal dari keluarga bangsawan Romawi. Dia berlayar dari Romawi lalu sampai di utara Semenanjung Malaya kemudian mendirikan Kerajaan Langkasuka, artinya tanah kesukaan.
Para keturunannya kemudian menjadi Raja Siam, Raja Perak, Raja Kedah, dan Raja Pattani. Namun, hikayat ini dipandang tidak eksplisit menyebut Langkasuka sebagai Kerajaan Melayu, karena nama sejumlah raja keturunan Merong Mahawangsa justru bernuansa Mon dan Siam, seperti Merong Mahapudisat, Ong Maha Perita Deria, dan Phra Ong Mahapudisat.
Paul Wheatley dalam The Golden Khersonese (1961) mengatakan bahwa sumber luar pertama tentang Langkasuka berasal dari catatan Cina masa Dinasti Liang (502-556 Masehi), yakni kitab Liáng Shū. Negeri Langkasuka dinamakan Lang-ya-xiu, sudah berdiri empat abad sebelumnya, berjarak 24.000 li (12.000 km) dari Guangzhou, dan luasnya 30 hari perjalanan dari timur ke barat, 20 hari dari utara ke selatan.
Dalam taksiran sekarang, wilayahnya meliputi Singgora (Songkhla) di selatan Thailand hingga Trengganu Malaysia. Gaharu dan kamper melimpah di sana, dan para pria serta wanitanya memakai sarung. Ibu kota negeri ini dikelilingi tembok dengan hanya dua gerbang utama.
Bangsawannya biasa memakai banyak perhiasan emas dan sang raja mengendarai gajah. Kerajaan ini mengirim utusan ke Cina pada tahun 515, 523, 531, dan 568 Masehi. Tahun 692 Masehi, I-Ching juga menyinggahi negeri yang disebutnya Langkasu ini.
Sumber Cina era kemudian masa Dinasti Song (kitab Zhu Fan Zhi) menyebut negeri ini Ling-ya-si-jia, yang pada abad ke-13 membayar upeti ke Sriwijaya. Sumber Cina terakhir yang merujuk negeri ini berasal dari tahun 1628 Masehi, sebagai Lang-hsi-chia dalam peta Wu-pei-chih. Dari seluruh sumber Tiongkok ini masih belum bisa disimpulkan bahwa Langkasuka adalah kerajaan Melayu.
Pendapat yang menyebut Langkasuka adalah kerajaan etnis Mon mengambil etimologi nama negeri itu dari Langka Asoka (negeri Raja Asoka). George Coedès dalam Histoire Ancienne des- Etats Hinduises d 'Extreme Orient (1944) menyebutkan bahwa untuk menyebarkan agama Buddha, pendiri Dinasti Maurya di India pada abad ke-3 SM ini mengirim biksu Sona dan Uttara ke Suvannabhumi (negeri emas).
Kerajaan ini diidentikkan dengan salah satu kerajaan besar bangsa Mon, Kerajaan Thaton (abad 4 SM s.d. 11 Masehi), di dataran rendah Myanmar. Wilayah kerajaan ini disebut juga mencakup daerah yang kemudian menjadi Langkasuka. Selain Thaton, kerajaan Mon lainnya di abad ke-6 hingga 11 Masehi, Dvaravati, merupakan penguasa sebagian besar wilayah Thailand sekarang.
Hal itu terjadi sebelum penetrasi bangsa Siam dari utara, yang kemudian juga berasimilasi dengan orang-orang Mon. Sama-sama rumpun Austroasia dengan bangsa Khmer yang membangun Kerajaan Funan dan Chenla, serta dengan bangsa Vietnam yang mengembangkan Kerajaan Dai Viet, pengaruh luas Mon di Asia Tenggara dipandang turut menjadi penentu corak budaya di utara Semenanjung Malaya.
Faktor nama gelar raja-raja Langkasuka dan temuan arkeologis tempatan seperti relik Buddha dan monumen yang mirip kebudayaan Mon juga menguatkan pendapat Langkasuka adalah Kerajaan Mon.
Akan tetapi, penelusuran asal-usul Langkasuka semakin kompleks dengan adanya fakta prasasti Sriwijaya di wilayah Kerajaan Langkasuka, Ligor, justru dua abad setelah catatan abad ke-6 Cina. Prasati Ligor A dalam bahasa Sanskerta huruf Pallawa berangka tahun 775 Masehi berisi pemujaan terhadap seorang Maharaja Sriwijaya, kemungkinan besar Dharmasetu.
Prasasti Ligor B yang setidaknya ditulis 782 Masehi dipandang sebagai prasasti yang belum tamat ditulis, uniknya ditulis dalam huruf Kawi dan berisi pujian terhadap seorang raja dari Dinasti Syailendra yang berkuasa di tanah Jawa.
Temuan prasasti ini menunjukkan dua kemungkinan, apakah wilayah Langkasuka di sekitar Ligor tersebut pernah dikuasai oleh atau dalam pengaruh mandala (unit politik dalam lingkaran konsentris) Sriwijaya, atau hanya hubungan persahabatan.
R.C. Majumdar lebih jauh berpendapat pusat Kerajaan Sriwijaya pernah berpindah ke Ligor (kota Nakhon si Thammarat sekarang). H.G. Quatrich Wales bahkan menunjuk pusat itu 170 km lebih ke utara, di Chaiya (Provinsi Surat Thani sekarang), dengan bukti sejumlah artefak serta chedi (candi) peninggalan Sriwijaya.
Selain sumber Kedah dan Cina, sumber India (Tamil), Jawa (Majapahit) dan Eropa pun menyebut Langkasuka. Prasasti Tanjore tahun 1030 Masehi menyebut Ilangasogam (Langkasuka) dan Kadaram (Kedah) di antara negeri-negeri yang diserang Raja Rajendra Chola I dalam ekspedisinya menghancurkan Sriwijaya pada tahun 1025.
Kakawin Nagarakretagama yang ditulis Empu Prapañca pada tahun 1365 mengatakan Langkasuka sebagai salah satu wilayah mandala Majapahit dalam pupuh ke-14. Marco Polo dalam kisah perjalanannya tahun 1292 menceritakan kerajaan tua Lochac yang penduduknya masih pagan.
Kerajaan ini disebutnya tidak tunduk pada kerajaan mana pun. Di negeri itu, brazilwood dan emas ditemukan melimpah. Agak aneh Tome Pires yang menulis buku Suma Oriental pada awal abad ke-16 justru tidak menyebut Langkasuka, meskipun peta Wu-pei-chih yang disebut di atas masih merujuk negeri ini pada 1628.
Walaupun berhampiran, nama Langkasuka anehnya tak pernah muncul dalam kronik atau legenda Siam. Yang muncul justru nama raja legendanya, Raja Marong Mahawangsa, yang direkam dalam kronik Nakorn Sri Thammaraj dan Phra Dhatu Nakorn. Raja Marong menjadi lambang dari dua belas kota simbol (naksat) di bawah hegemoni kerajaan Nakorn Sri Thammarat, yang merupakan pelanjut dari Kerajaan Tambralinga pada abad ke-10 hingga 13 masehi.
Dalam kronik itu, Marong merupakan simbol dari negeri (muang) Thrai (buri), diidentifikasi sebagai Kedah pada saat ini. Kerajaan Kedah Tua itu dicatat oleh I Ching pada tahun 685 sebagai bawahan Sriwijaya.
Pandangan Langkasuka sebagai kerajaan Melayu dikuatkan dengan memori etnis Melayu yang masih kuat tentangnya, dalam bentuk cerita rakyat Pattani tentang negeri Lakawn Suka dan folklor Kedah tentang negeri Alang-kah-suka.
Versi longgar memori rakyat sedemikian juga telah dituangkan dalam sejumlah film produksi Malaysia dan Thailand seperti Raja Bersiong (1968), Queens of Langkasuka (2008) dan Hikayat Merong Mahawangsa (2011).
Eksistensi Langkasuka sejak abad ke-2 Masehi dapat menjelaskan mengapa etnis Melayu yang ada di Ligor, Pattani, Songkhla (Singgora), Kelantan, Kedah, hingga Trengganu memiliki perbedaan bahasa dan budaya bahkan ciri fisik cukup kentara dengan etnis Melayu di bagian selatan dan barat Semenanjung Malaya.
Sebab Malaka, Negeri Sembilan, Johor, dan sekitarnya merupakan wilayah rantau orang-orang Melayu dari Sumatra, khususnya Palembang (Swriwijaya), Riau, dan Minangkabau, termasuk orang-orang Bugis dan Jawa yang kemudian mendirikan entitas-entitas politik yang baru di sana, seperti digambarkan oleh Elisa Netscher dalam Beschrijving van een gedeelte der residentie Riouw (1854).
Jika memang Langkasuka kerajaan Melayu, maka jelas menjadi kerajaan Melayu tertua yang memiliki catatan sejarah. Tidak adanya catatan valid eksistensi kerajaan-kerajaan lain etnis ini di Sumatra sebelum Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu (yang berabad kemudian menjadi Malayapura/ Dharmasraya dan Pagaruyung) yang diperkirakan sama-sama berdiri sejak abad ke-7 Masehi, menjadikan Segenting Kra sebagai kandidat cukup kuat awal mula peradaban Melayu.
Jika kemudian Sriwijaya menjadikan Langkasuka dalam lingkup mandalanya, membuktikan bahwa ada hubungan etnis dan historis antara keduanya, sehingga relasi kekuasaan menjadi lebih cair. Hal demikian tidak akan terjadi jika Langkasuka milik bangsa Mon atau Thai, sebab bangsa-bangsa di Nusantara cenderung mengambil relasi atau koloni bangsa-bangsa rumpun Austronesia lainnya, seperti halnya relasi pahit manis Jawa dengan Champa di Kamboja.
Bangsa-bangsa rumpun Kra-Dai (Thai dan Laos) dan rumpun Austroasia (Viet, Khmer, dan Mon) yang secara bahasa dan budaya amat berbeda dengan rumpun Austronesia membuat relasi mereka dengan bangsa-bangsa Nusantara lebih ke hubungan persahabatan dan dagang, bukan penguasaan.
Apalagi, tidak seperti dengan bangsa Siam atau Thai yang semenjak berdirinya Kerajaan Sukhothai (abad 13-15 Masehi) dan Ayutthaya (abad 14-18 Masehi) sudah menjadi musuh bebuyutan bangsa Melayu di Segenting Kra, bangsa Mon bukanlah musuh bangsa Melayu di zaman lampau.
Jika sejumlah legasi Mon ditemukan di Langkasuka, ini karena salah satu kerajaan besar Mon (Dvaravati) merupakan tetangganya di utara, sehingga sangat mungkin menjalin pertukaran budaya serta bahasa yang cukup signifikan. Demikian pula status sebagai sama-sama indianized states of Southeast Asia yang dominan menganut Buddha, tentu memperlancar lalu lintas gagasan di masa-masa sebelum agama Islam dipandang menjadi identitas tak terpisahkan dari bangsa Melayu.
Meskipun demikian, kerajaan-kerajaan lama Melayu di Segenting Kra selalu pernah menjadi bawahan dari kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatra (Sriwijaya dan Dharmasraya) pada berbagai episode sejarahnya, dan tidak pernah terjadi hal sebaliknya. Sehingga, antara Melayu Sumatra dan Melayu Tanah Genting Kra, mana yang benar-benar lebih tua akan tetap menjadi perdebatan berjangka lama.
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi