Menuju konten utama
Mozaik

Jejak Peradaban di Tepi Sungai Citarum

Sungai Citarum yang dahulu menjadi nadi peradaban, kini seolah hanya mengalir membawa cerita-cerita yang semakin samar.

Jejak Peradaban di Tepi Sungai Citarum
Header mozaik Jejak Peradaban di Tepi Ci Tarum. tirto.id/TIno

tirto.id - Di dekat aliran Sungai Citarum, terdapat harta karun arkeologi bernama Situs Percandian Batujaya. Kompleks candi tertua di Indonesia ini terhampar di atas lahan seluas 500 hektare yang mencakup wilayah Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, di Karawang, Jawa Barat.

Di antara desiran angin pesisir, Batujaya menyimpan cerita yang lebih tua dari Candi Borobudur, sebuah kisah yang belum banyak diketahui. Mungkin, karena terletak di dekat tepian laut, Batujaya lahir lebih dahulu, bersemuka dengan budaya-budaya asing yang datang menjejakkan langkah di tanahnya.

Namun, Batujaya tidak mendapat tempat di hati masyarakat sebagaimana Borobudur yang megah dan agung. Nama Batujaya pun hampir tak terdengar, padahal ia hanya berjarak lima puluh kilometer dari gemerlapnya Jakarta.

Pada 1985, tim arkeolog dari Universitas Indonesia melakukan penelitian pertama di Batujaya. Mereka mengungkap sekitar 30 candi dan tempat pemujaan yang tersebar di area tersebut. Di antara candi-candi ini, dua yang paling mencolok adalah Candi Jiwa dan Candi Blandongan.

Candi Jiwa dengan bentuk bujur sangkar berukuran 19 meter x 19 meter serta Candi Blandongan dengan ukuran lebih besar, yakni 25,33 meter x 25,33 meter, menjadi saksi bisu dari peradaban yang telah lama berlalu.

Di Kompleks Percandian Batujaya ditemukan berbagai artefak seperti epigrafi, votif tablet berelief Buddha, fragmen prasasti tanah liat bertuliskan aksara pallawa, dan tembikar.

Melalui metode isotop Carbon-14, bangunan percandian di muara Sungai Citarum ini diperkirakan berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara. Inskripsi yang ditemukan di wilayah ini juga menceritakan tentang kerajaan tersebut.

Peradaban Teknologi Tinggi

Arkeolog Hasan Djafar dalam buku Kompleks Percandian Batujaya (2010) menyebut candi-candi ini dibangun selama dua fase, yakni sekitar abad ke-6 sampai ke-7 Masehi dan berikutnya pada abad ke-8 sampai ke-10 Masehi.

Temuan ini bukan hanya mengungkapkan usia situs yang sangat tua, tetapi juga menunjukkan teknologi tinggi sudah berkembang di Indonesia sejak zaman dahulu.

"Di Indonesia, belum ada kebudayaan setua dan semaju Candi Batujaya," ujar Hasan Djafar sebagaimana dilansir Kompas, 13 Juli 2013.

Tapi apa yang membuat Batujaya begitu istimewa? Hasan menjawab dengan penuh kekaguman, "Bata Batujaya ini istimewa. Tanah liat dicampur sekam padi, dipanaskan pada suhu 700 derajat celcius dengan kematangan merata. Hasilnya, bata dapat bertahan selama ratusan tahun."

Bangunan candi yang terbuat dari bata merah mengejutkan para ahli. Sebelumnya, mereka memandang bata merah digunakan untuk bangunan candi pada masa-masa yang lebih muda. Sementara candi-candi berbahan bebatuan, seperti di Jawa Tengah, dipandang dari zaman yang lebih tua.

Para pembuat bangunan di Batujaya juga menemukan inovasi yang luar biasa, yakni stuko–plester putih yang terbuat dari kapur, pasir, kerikil, dan pecahan kerang. Stuko yang melapisi badan bangunan merupakan material istimewa pada zamannya, setara dengan kekuatan semen beton yang kita kenal sekarang.

Namun, Situs Batujaya bukan sekadar kompleks percandian. Di dalamnya, ditemukan juga jejak masa prasejarah, termasuk rangka manusia yang diperkirakan berasal dari abad ke-2 hingga ke-3 Masehi—periode akhir dari masa prasejarah di Indonesia.

Rangka-rangka ini ditemukan bersama bekal kubur seperti wadah tembikar, perhiasan, alat logam, dan kapak persegi, yang dikenal sebagai bagian dari budaya Buni—sebuah kebudayaan yang berkembang antara awal Masehi hingga tahun 500.

Kompleks Percandian Batujaya saat ini berstatus Cagar Budaya Nasional. Pada 11 Maret 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menandatangani secara langsung pemeringkatan status cagar budaya tersebut.

Jejak Peradaban yang Terabaikan

Nasib berbeda dialami Candi Bojongmenje yang terletak di Kampung Bojongmenje, Desa Cangkuang, Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Situs yang berdekatan dengan Sungai Citarum ini telah lama terabaikan.

Candi Bojongmenje yang dulu berdiri megah di tepi Sungai Citarum, kini merana dalam kesunyian. Hanya beberapa batu yang berserakan, menunggu untuk menceritakan kisah peradaban lampau yang pernah hidup di sini.

Candi Bojongmenje yang lebih dikenal dengan Situs Rancaekek berkaitan erat dengan peradaban Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimande dan Citarik yang merupakan anak Sungai Citarum.

Pada Agustus 2002, warga pertama kali menemukannya. Sebulan kemudian, tim arkeolog datang menggali rahasia yang terkubur. Namun, yang tersisa hanya struktur kaki candi, terbuat dari batu andesit, berdiri di atas tanah yang pernah menjadi saksi masa kejayaan.

Candi ini dibangun dari batu andesit dan diperkirakan berdenah dasar bujur sangkar dengan sisi sepanjang 6 meter. Darwin Alijasa Siregar dari Pusat Survei Geologi dalam Radiokarbon Bagi Penentuan Umur Candi Bojongmenje di Rancaekek, Jawa Barat (Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol. 14 No. 27 Tahun 2011) memperkirakan umur Candi Bojongmenje berkisar antara abad ke-5 sampai abad ke-7 Masehi.

Sementara dalam catatan perpusnas.co.id, candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke-7 hingga ke-8. Hal ini berdasarkan pada reruntuhan candi yang sangat sederhana; tak ada hiasan relief, hanya terdiri satu lapis dinding. Usianya diperkirakan setara dengan Candi Dieng, bahkan lebih tua dari candi-candi lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Nanang Saptono dari Balai Arkeologi Jawa Barat dalam "Peranan Anjing Pada Masyarakat yang Bermukim di Sekitar Candi Bojongmenje Abad VIII-IX" mencatat di sisi barat candi, lima hingga tujuh lapis batu masih berdiri, meski sudut barat daya telah melesak.

Struktur sisi utara tersembunyi di bawah pondasi pabrik, tak lagi utuh. Namun, sisi selatan masih mempertahankan keutuhannya. Warga yang menggali untuk makam telah memotong beberapa batu, merusak jejak sejarah.

Selain batu-batu candi, ditemukan juga fragmen tembikar dan alat serpih obsidian--tanda bahwa jauh sebelum era klasik, ada kehidupan prasejarah di sini. Temuan fragmen arca nandi, meski tak utuh, menjadi saksi bisu bahwa Candi Bojongmenje dulunya adalah tempat pemujaan Hindu.

Pengujian penanggalan Carbon-14 mengungkapkan candi ini telah menyimpan rahasia selama 1.300 tahun—sejak sekitar tahun 650 Masehi. Jawa Barat, yang selama ini dianggap tak memiliki jejak peradaban Hindu yang megah, ternyata menyimpan kisah yang sama tuanya dengan candi-candi di Jawa Tengah.

Kemudian, pada salah satu bata yang ditemukan di reruntuhan candi terdapat juga jejak kaki binatang. “Tera jejak binatang terdiri dua, masing-masing memperlihatkan empat jari dan telapak. Berdasarkan perbandingan dapat diasumsikan bahwa jejak tersebut merupakan jejak anjing,” tambah Nanang.

Dia memastikan jejak kaki anjing yang terdapat pada bata di Candi Bojongmenje tercetak pada saat proses pembuatan bata. Hal ini berdasarkan pada letak candi yang berada di tepi sungai yang cocok sebagai lokasi pembuatan bata. Ia menambahkan sampai sekarang di sepanjang Sungai Cimande dan Citarik masih terdapat masyarakat yang membuat bata.

“Aliran sungai yang mengendapkan tanah liat terdapat di kanan kiri sungai memberikan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan bahan dasar bata,” imbuhnya.

Di tengah kesunyian, Candi Bojongmenje bercerita tanpa kata, membawa kita kembali ke masa lalu yang hampir terlupakan. Lebih dari 20 tahun terakhir, Bojongmenje kembali tertelan oleh alam yang perlahan menutupi rahasianya.

Infografik mozaik Jejak Peradaban di Tepi Ci Tarum

Infografik mozaik Jejak Peradaban di Tepi Ci Tarum. tirto.id/TIno

Candi yang berada di ketinggian 102,5 meter di atas permukaan laut ini ini pernah menjadi pusat aktivitas spiritual. Air jernih yang mengalir dari pergunungan menjadi saksi bagaimana tempat ini dulu dipenuhi dengan doa dan persembahan.

Jejak peradaban di tepi Sungai Citarum tidak berakhir di Bojongmenje. Di Kampung Sukapada, Kelurahan Bojongemas, Kecamatan Solokan Jaya, Kabupaten Bandung, ada lagi reruntuhan candi yang ditemukan. Terletak di tepi barat Citarum Lama, sekitar 500 meter dari pertemuan antara Citarik dan Citarum, batuan-batuan candi ini tersingkap karena proyek normalisasi sungai.

Endang Widyastuti dalam makalahnya yang berjudul "Bukti-bukti Masa Klasik (Hindu-Buddha) di Sekitar Cekungan Bandung" (2006) mencatat yang tersisa dari Candi Bojongemas hanya pipi tangga, ambang pintu, dan beberapa balok batu. Meski begitu, penemuan ini tetap berbicara tentang masa ketika Jawa Barat adalah bagian dari perjalanan peradaban Hindu.

Candi ini diyakini sebagai peninggalan dari Kerajaan Kendan, salah satu kerajaan Sunda yang berkuasa sekitar abad ke-6 hingga ke-7 Masehi. Kerajaan Kendan dipimpin oleh Mahaguru Manikmaya yang berasal dari Calankayana, India Selatan. Kerajaan ini merupakan pemberian dari Maharaja Suryawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang lebih dulu ada.

Berdasarkan cerita turun temurun masyarakat setempat, batu-batuan di candi ini dipercaya sebagai tempat istirahat para raja yang melakukan perjalanan. Sayangnya, bongkahan batuan sisa candi ini tidak terawat.

Waktu memang musuh yang tak terhindarkan. Sungai Citarum yang dahulu menjadi nadi peradaban, kini seolah hanya mengalir membawa cerita-cerita yang semakin samar. Peradaban ini, salah satu yang tertua di Jawa Barat, seolah terkubur oleh hiruk-pikuk zaman modern.

Sungai Citarum menjadi saksi dari kebangkitan dan keruntuhan berbagai kerajaan di Jawa Barat. Dari masa Hindu-Buddha hingga datangnya Islam, dari kemegahan candi hingga keberadaan kesultanan, Citarum tetap mengalir, membawa cerita-cerita dari masa lalu yang masih terpantul di permukaannya. Candi-candi seperti Batujaya, Bojongmenje, dan Bojongemas adalah warisan peradaban yang tersembunyi di sepanjang alirannya, menunggu untuk ditemukan dan dipahami oleh generasi berikutnya.

Baca juga artikel terkait SUNGAI CITARUM atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Gilang Ramadhan
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Irfan Teguh Pribadi