Menuju konten utama

Sejarah Jakarta Dari Masa Tarumanegara Hingga Jadi Ibu Kota RI

Berikut sejarah Jakarta dari masa Tarumanegara hingga menjadi ibu kota RI saat Indonesia merdeka.

Sejarah Jakarta Dari Masa Tarumanegara Hingga Jadi Ibu Kota RI
Lukisan Batavia karya Adrianus Johannes Bik. FOTO/KITLV.

tirto.id - Jakarta punya segudang riwayat sejarah. Sejarah Kota Jakarta bahkan membentang sedari zaman prasejarah hingga sekarang. Bisa jadi, belum semua bukti sejarah ihwal asal-usul Jakarta diteliti serta terekspos.

Sedari zaman prasejarah, wilayah Jakarta sekarang telah dihuni manusia. Makalah Hasan Djafar di buku Seminar Jakarta dalam Perspektif Sejarah (1987) memuat catatan sederet bukti keberadaan masyarakat prasejarah tersebut.

Dalam sebuah ekskavasi penelitian, Djafar menemukan bekas hunian manusia prasejarah di tiga situs dekat Sungai Ciliwung. Jelasnya, situs-situs itu ditemukan di Pejaten, Kampung Kramat, dan Condet-Balekambang. Ada juga beberapa artefak di Bukit Sangkuriang dan Kelapa Dua. Tinggalan bernama situs Buni juga ada di pantai utara antara Kali Bekasi dan Kali Cilimaya.

Djafar mencatat ada 68 situs prasejarah ditemukan di Jakarta saat ia menulis makalahnya. Namun baru 27 lokasi yang telah diteliti secara ilmiah.

Jakarta Era Tarumanegara Hingga Demak

Di periode kerajaan, riwayat Jakarta dapat dikenali lebih mudah. Wilayah yang kini menjadi lokasi Jakarta diyakini menjadi bagian dari Kerajaan Tarumanegara pada abad 4-5 Masehi.

Raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Purnawarman yang berkuasa sejak 395 M pernah menggelar megaproyek pengerukan sejumlah kali. Di antaranya termasuk sungai yang mengalir ke kawasan tempat Jakarta saat ini.

Prasasti Tugu, sebagaimana dikutip oleh Poerbatjaraka dalam Riwayat Indonesia I (1952), memuat informasi bahwa Purnawarman pernah memerintahkan penggalian Sungai Candrabhaga (sekarang disebut Kali Bekasi) dan aliran kanal yang menjadi Sungai Gomati (kini berubah jadi Kali Cakung).

Dari Prasasti Tugu diketahui, atas perintah Purnawarman, pada tahun ke-22 pemerintahannya (417 M) penggalian Sungai Candrabhaga dikerjakan. Proyek sepanjang 21 hari ini kemungkinan digagas untuk mencegah banjir karena aliran Sungai Candrabhaga disebut melintasi istana Tarumanegara.

Buku Tarumanagara, Latar Sejarah dan Peninggalannya: Sebuah Pengantar (1991) karya Hasan Djafar dan kawan-kawan, memuat penjelasan bahwa proyek tadi melahirkan kanal baru. Saluran baru itu ialah Sungai Gomati yang memiliki panjang aliran 6.122 tombak (sekitar 12 Km).

Aliran Sungai Gomati bermuara di Cilincing, tak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Penggalian Kali Gomati, menurut Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa (2010), selain bertujuan mencegah banjir juga untuk mengairi sawah.

Keberhasilan proyek penggalian Sungai Candrabhaga dan pembuatan Kali Gomati nampaknya bikin Purnawarman bungah. Prasasti Tugu memuat catatan, setelah pengerjaan kanal di 2 aliran sungai itu rampung, sang raja menghadiahkan 1000 ekor sapi untuk para brahmana.

Tidak banyak informasi mengenai Tarumanegara selepas abad 5 M. Bila memang info di berita dari China benar, Kerajaan Tarumanegara bertahan hingga Abad 7.

Abdurrachman Surjomihardjo di Pemekaran Kota Jakarta (1977) menghimpun catatan penjelajah dari China di abad 6-7 M yang menyebut Tarumanegara pakai lafal To-lo-mo. Dalam berita China, disebutkan bahwa lokasi To-lo-mo di sekitar Sunda Kelapa dan Pantai Utara Jawa bagian Barat.

Penerus Tarumanegara sebagai penguasa wilayah Jawa bagian barat diketahui dari Prasasti Bogor yang berangka tahun 854 Saka (932 M). Dalam laporan riset terbitan Depdikbud RI, Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra (1986), Supratikno Raharjo dan kawan-kawan menjelaskan, Prasasti Bogor berisikan tulisan bahasa Melayu Kuno. Inskripsi prasasti ini menyodorkan dua istilah penting, yakni "haji sunda" dan "rakriyan juru panambat."

Istilah pertama mengacu pada nama kerajaan, sementara yang kedua merupakan nama pejabat tinggi terkait pelayaran. Pemakaian bahasa Melayu Kuno di Prasasti Bogor mengindikasikan adanya hubungan antara Kerajaan Sunda dengan penguasa di wilayah Sumatera.

Perkembangan pada sekitar satu abad setelahnya, diketahui dari batu tertulis yang disebut Prasasti Sanghyang Tapak. Prasasti dengan tarikh 952 Saka (1030 M) ini ditemukan di Cibadak, Sukabumi. Isinya memakai huruf dan bahasa Jawa Kuno, menyebut Sunda sebagai prahajyan, serta memberi keterangan bahwa penguasanya bergelar maharaja.

Inskripsi yang tak kalah penting termuat dalam Prasasti Batu Tulis. Ditemukan di Bogor, prasasti ini memuat keterangan tentang Kerajaan Pajajaran. Laporan dari Portugis masih menyebut Pajajaran pada Abad 16.

Di riwayat lain, Kerajaan Sunda lekat dengan Pajajaran. Oleh orang Portugis, wilayah ini dikenal sebagai Cumda. Lebih jelasnya, catatan itu menyebut Pajajaran adalah nama ibu kota, sementara Sunda ialah kerajaannya.

Supratikno Raharjo dan kawan-kawan (1986:23) menulis pada era Kerajaan Sunda atau Pajajaran, tumbuh sejumlah pelabuhan penting di pesisir utara Jawa bagian barat. Tercatat ada 6 pelabuhan besar, yakni Banten, Ponlang, Cigede, Tamgara, Cimanuk, dan Kalapa (Sunda Kelapa). Di antara 6 pelabuhan itu, yang paling vital ialah Pelabuhan Kalapa. Bandar ini bisa ditempuh dalam waktu dua hari dari ibu kota Kerajaan Sunda yang disebut dengan nama Dayo.

Selain itu, para pelaut Portugis mengenal pelabuhan masyhur bertajuk Sunda Kelapa. Komoditas dagang macam lada, beras, asam, sayuran, aneka buah, olahan daging dan ternak diperjualbelikan di sana. Kemasyhuran ini lantas memikat minat Portugis menguasai Sunda Kelapa.

Namun, pasukan Kesultanan Demak pimpinan Fatahillah pada 1527 M merebut wilayah ini. Proses ini berbarengan dengan perluasan pengaruh Islam di tatar Sunda. Setelah merebut Sunda Kelapa dari Portugis, Fatahillah mengubah nama kota bandar ini jadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal itulah yang sekarang dianggap sebagai identitas kelahiran Kota Jakarta.

Jakarta Era Kolonial dan Riwayat Batavia

Ketika 1602, rombongan pelayar Belanda berlabuh di Banten, mereka merupakan utusan dari fusi enam kamers (majelis) di negeri kincir angin. Onghokham melalui artikel di jurnal Prisma (Vol. 13, 1984) bertajuk "Kelas Penguasa Menerima Kolonialisme," menjelaskan enam kamers bersekutu membentuk kongsi dagang, sebelum utusan mereka berlayar ke Nusantara. Mereka yang diutus itu rata-rata pelaut dan pebisnis yang hilir mudik keliling dunia dalam rangka berniaga.

Enam kamers yang mewakili kota Amsterdam, Middelburg, Enkhuizen, Delft, Hoorn, dan Rotterdam sepakat membentuk kongsi dagang dengan label Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Mereka membentuk VOC usai tertarik dengan kekayaan alam Nusantara. Pada waktu yang sama telah terjadi persaingan sengit antarpedagang Eropa untuk berebut aset dagangan penting masa itu: rempah.

Enam tahun sebelumnya (1596), sebuah ekspedisi dagang dipimpin Cornelius de Houtman berhasil menambatkan kapalnya di Pelabuhan Banten. Menurut Adrian B. Lapian dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (2009), masyarakat Banten menyambut rombongan de Houtman dengan ramah.

Namun di tahun-tahun berikutnya, ekspedisi Belanda lebih menggelorakan semangat gold, gospel, glory yang mengedepankan paham merkantilisme di atas tanah ekspedisi—sifatnya menjajah dan aneksasi. VOC lantas memilih Jayakarta sebagai lokasi loji dan gudang dagangannya sejak 1610.

Pada 1619, VOC yang semula berpusat di Ambon (Maluku) menguasai Jayakarta. Di bawah arahan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC ke-4 yang menjabat sejak April 1618, dibangunlah kota baru di Jayakarta untuk menjadi lokasi kantor pusat kompeni pengganti Ambon. Para kompeni yang menduduki Jayakarta lantas mengganti nama kota—lagi—menjadi Batavia. Pada periode itu, orang Portugis dan kawanan penjelajah Eropa lainnya masih kerap menulis Jaccatra untuk merujuk kota ini.

Benteng-benteng lalu didirikan, termasuk yang terkenal, Kasteel Batavia. Pasukan militer segera diboyong ke Batavia. Menurut presentasi Mona Lohanda yang berjudul "Pergeseran Pola Budaya di Batavia Masa Kolonial" dalam Seminar Jakarta dalam Perspektif Sejarah (1987), pasukan itu terdiri atas tentara sewaan yang bertugas mengawal kebutuhan komersial VOC serta menjaga keamanan wilayah kompeni.

Batavia menjelma pusat kolonialisasi Belanda. Selain menerapkan pola rodi dan babu bagi pribumi, fenomena nyai para pejabat kolonial marak. Reggie Baay menjelaskan dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda (2010) bahwa nyai ialah wanita pribumi yang dijadikan "istri simpanan" pejabat VOC.

Selain itu, hunian bagi pribumi juga diatur diskriminatif. Di era Pajajaran, mereka ditempatkan di sekeliling kota. Namun ketika Belanda menduduki Batavia, pribumi ditempatkan di daerah luaran benteng. Sementara itu, para pejabat VOC, orang-orang Eropa, pecinan, dan Arab tinggal di dalam benteng—notabene, implementasi penempatannya lebih kompleks lagi.

Batavia dijadikan sebagai sentra kekuasaan VOC di Nusantara sampai akhir kebangkrutan kongsi dagang itu pada 1799. Usai VOC bubar, segala peninggalannya berupa materi dan kelembagaan diambil alih oleh Pemerintah Hindia-Belanda. Batavia tetap menjadi pusat pemerintahan, tempat kantor Gubernur Jenderal Hindia-Belanda berada.

Dalam catatan Mona Lohanda lainnya yang bertajuk Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), pada awal abad ke-20, Batavia ditetapkan oleh pemerintah menjadi gemeente. Per tanggal 1 April 1905, Batavia diberi kewenangan otonomi khusus untuk mengatur urusan kedaerahannya.

Secara administratif, wilayah Batavia mencakup 2 distrik dan 6 subdistrik yang diperjelas secara rinci dalam Afdeeling Stad en Voorsteden van Batavia No. 19 (27/10/1904). Wilayah ini dipimpin oleh burgemeester (setara walikota) dan instansi Raad van Indie (Dewan Rakyat Hindia Belanda).

Demi menyediakan pemukiman bagi para urban yang memadat, pemerintah membeli tanah-tanah partikelir. Luas tanah kota praja mencapai 8.000 km2 pada 1920, dan terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya. Selain itu, fasilitas publik macam stasiun kereta api, halte, jembatan, sekolah, rumah sakit, hingga pertokoan turut dibangun.

Sejarah Jakarta Jadi Ibu Kota Republik Indonesia

Tatkala bala tentara Jepang datang pada 1942 dan menumbangkan pemerintahan Hindia Belanda, struktur administrasi Batavia berubah. Nomenklatur berbahasa Jepang dipakai. Misalnya, istilah karesidenan (syuu), kota atau kabupaten (si/ken), distrik (gun), kecamatan (son), dan desa (ku). Namun secara politik, penerapannya tak jauh berbeda dari periode sebelumnya.

Untuk melibas pengaruh Hindia Belanda, pemerintahan militer Jepang juga menanggalkan sebutan Batavia dan menggantinya dengan Djakarta, kependekan dari Jayakarta. Mengutip dari Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita (1987) karya Lasmijah Hardi dan kawan-kawan, pergantian nama Batavia itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Jakarta saat itu menjadi daerah istimewa dengan nama Djakarta Tokubetsu Shi.

Seusai Jepang kalah di Perang Dunia II dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, pemerintah RI tetap memakai nama Jakarta. Pusat pemerintahan RI sempat berada di Jakarta sebelum pindah sementara ke Yogyakarta sejak awal 1946 sampai tahun 1949. Kedatangan tentara Sekutu bareng pasukan Belanda (NICA) membikin Jakarta tidak lagi aman bagi petinggi RI.

Baru di akhir 1949, selepas perang revolusi kemerdekaan mereda dan sengketa Indonesia-Belanda tutup buku lewat Konferensi Meja Bundar (KMB), Jakarta kembali menjadi ibu kota RI. Supaya tak ada lagi penyebutan Batavia seperti saat pendudukan Belanda, nama itu lantas ditanggalkan lewat keputusan resmi.

Pada 30 Desember 1949 atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Penerangan Arnold Mononutu mengumumkan pergantian nama Batavia menjadi Jakarta. Mulai saat itu, nama ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta.

Di sisi lain, secara administratif, sejak 1945 sampai 1959, wilayah Jakarta masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada 1959, status Jakarta dinaikkan dari kota praja jadi daerah tingkat I (provinsi) dan dipimpin oleh gubernur.

Gubernur pertama Jakarta adalah Soemarno Sosroatmodjo yang langsung diangkat oleh Presiden Soekarno pada 9 Februari 1960. Baru pada 1961, Jakarta resmi menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).

Baca juga artikel terkait EDUKASI DAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Abi Mu'ammar Dzikri

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom