tirto.id - Secara geografis, Kota Surabaya terletak di bagian timur pesisir utara Pulau Jawa. Letaknya yang dekat dengan pantai membuat kota ini menjadi sentra labuhan dagang sejak beberapa abad silam.
Namun, tidak semua wilayah Surabaya menjadi basis perdagangan. Daerah pedalamannya yang berupa dataran rendah mengakomodasi tradisi agrikultura, sehingga industri agraris berkembang cukup mapan.
Di samping itu, sejarah Kota Surabaya dikaitkan dengan banyak kisah historis mengenai perubahan besar di Jawa Timur. Kisah-kisah ini merentang sedari masa kerajaan Majapahit sampai era kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945.
Sementara untuk asal usul nama Surabaya sendiri, seperti dikutip laman resmi Pemerintah Kota Surabaya, berasal dari penggabungan kata "sura" yang berarti keberanian dan "baya" yang artinya bahaya.
Ini secara harfiah dimaksudkan sebagai sikap yang berani dalam menghadapi situasi berbahaya.
Sejarah Berdirinya Kota Surabaya
Hipotesis tentang sejarah Surabaya dan awal berdirinya Kota Surabaya dapat dilihat dari nukilan G.H. von Faber dalam buku karya Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940 (1996).
Di catatan itu, Faber memperkirakan Kota Surabaya didirikan pada tahun 1275 M oleh Kertanegara, Raja Singasari terakhir (1268-1292).
Pembangunan kota itu dilaksanakan usai Kertanegara sukses melancarkan penumpasan terhadap pemberontakan Kanuruhan. Guna menyediakan pesanggrahan bagi para prajurit Singasari, sang raja menitahkan pendirian pemukiman di sekitar Kali Brantas (kelak secara administratif, masuk wilayah Surabaya).
Di Kitab Negarakertagama, tertulis Kaisar Mongol Kubilai Khan mengirim utusan ke Singasari pada pada 1289. Kubilai Khan menyuruh agar Singasari tunduk di bawah kekuasaan Kekaisaran Mongol.
Di masa tersebut, Kubilai Khan telah menguasai daratan Cina. Pasukan Mongol bahkan sudah melancarkan ekspansi jauh ke barat hingga meruntuhkan Kota Baghdad, pusat imperium Abbasiyah.
Meski demikian, Kertanegara terang-terangan menolak. Ekspedisi Pamalayu yang sebelumnya dilangsungkan terbukti sukses menyatukan Jawa dan Melayu (Sriwijaya). Dengan gagahnya, ia percaya diri jika kebesaran kerajaannya mampu menandingi kedigdayaan Mongol.
Reaksi yang ditunjukkan Kertanegara sangat provokatif. Ia justru merusak muka dan memotong kuping utusan Kubilai Khan. Hal tersebut lantas dianggap sebagai pernyataan perang terhadap Mongol.
Mengetahui tindakan Kertanegara terhadap para utusannya, Kubilai Khan murka. Dalam catatan Purwono bertajuk Sourabaya Kampung Belanda di Bantaran Jalur Perdagangan Kali Mas (2011), rombongan pasukan Tar-Tar dari Mongol berlayar ke Jawa pada 1292. Mereka dipimpin oleh laksamana Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing.
Tahun 1293, pasukan Mongol berlabuh di pesisir utara Jawa, Tuban, kemudian bergerak ke timur dan sampai di pesisir yang kini disebut Tanjung Perak.
Mereka terus menyusuri daerah pedalaman dengan menyeberangi sungai-sungai. Salah satunya Kali Mas yang kini membelah Kota Surabaya.
Napak tilasnya juga termuat di Prasasti Gunung Butak dan Kudadu 1294. Di situs Gunung Butak, yang kini dikenal sebagai Surabaya menjadi salah satu persinggahan pasukan Tar-Tar.
Prasasti Kudadu juga menerangkan, Kubilai Khan tak mengetahui gejolak perpolitikan di Singasari. Ia mengira Kertanegara masih memerintah Singasari. Padahal Kertanegara telah mati terbunuh oleh pemberontakan Jayakatwang, setahun sebelum tentara Mongol mendarat di Jawa.
Sementara itu, Raden Wijaya, menantu dari Kertanegara dan kelak menjadi raja pertama Majapahit, memainkan siasat dengan membujuk pasukan Tar-Tar agar menyerang kubu Jayakatwang.
Kisah berikutnya adalah serangan balik. Setelah Jayakatwang terbunuh, pasukan Raden Wijaya menyerbu tentara Tar-Tar untuk mengusir mereka dari Jawa. Bentrok kedua pasukan terjadi di muara Kali Mas pada 1293.
Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Tar-Tar. Kemenangan Raden Wijaya pada 31 Mei 1293 oleh pemerintah Republik Indonesia ditetapkan sebagai tonggak berdirinya Kota Surabaya.
Sejarah Surabaya Era Majapahit Hingga Mataram Islam
Diperkirakan, pada 1293 M atau sewaktu Majapahit baru dirintis, nama "Surabaya" belum dikenal. Wilayah ini baru tumbuh menjadi pelabuhan dagang seiring dengan kemajuan Majapahit.
Suwandi dkk melalui Surabaya dalam Lintas Sejarah (Abad XIII-XX) (2002) menerangkan, asal-usul nama Surabaya "Surabhaya" baru disebut dalam Prasasti Trowulan I atau Prasasti Canggu. Prasasti berangka tahun 1358 M ini ditulis semasa Hayam Wuruk bertakhta di Majapahit.
Ulasan Titi Surti Nastiti berjudul "Perdagangan pada Masa Majapahit" dalam Prooceedings Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II Jilid I memuat catatan, "Surabhaya" masuk daftar puluhan desa tepi sungai yang terpahat di Prasasti Trowulan I.
Nama "Surabhaya" sebagai salah satu labuhan dagang era Majapahit termaktub pula dalam Kakawin Nagarakrtagama pupuh XVII, berita-berita Cina dari masa Dinasti Yuan dan Ming, serta catatan Tome Pires pada dekade kedua abad 16.
Dalam disertasi berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari (1985), Edi Sedyawati merincikan beberapa pangkalan labuh kapal semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Di sebuah lokasi yang disebut nusa, kemudian diidentifikasi sebagai "tempat-tempat di tepi laut" karena terdapat 33 kanal air.
Kemudian juga ada 47 wilayah lebih kecil dari nusa yang serupa desa disebut naditirapradesa, yang artinya "tempat-tempat di tepi sungai."
Keterangan-keterangan di atas mempertegas tesis, pada paruh abad ke-15 bermunculan kota-kota pelabuhan di Jawa yang punya peranan penting dalam perekonomian Majapahit.
Selama masa Kerajaan Majapahit, Surabaya merupakan salah satu kota pelabuhan di pesisir utara Jawa yang sibuk.
Hilir mudik kapal dan tongkang di bandar-bandar sepanjang pantai serta sungai menambah kepopuleran kota ini. Melalui lintas Kali Brantas dan Kali Mas, Surabaya punya peran penting menghubungkan pionir bandar-bandar di Majapahit.
Menukil catatan Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (2000), pusat perdagangan Majapahit di Ujung Galuh (dekat Surabaya) dihubungkan oleh transportasi sungai Kali Mas dan Kali Pegirian.
Lalu lintas itu menghubungkan para pedagang lokal dengan asing, terutama Tionghoa. Akibatnya, banyak permukiman Tionghoa berdiri membentang sepanjang Kali Mas dan Kali Pegirian.
Hal ini serupa dengan catatan perjalanan Tome Pires pada dasawarsa kedua abad ke-16. Catatan itu termuat dalam The Suma Oriental of Tome Pires (1944) karya Armando Cortesao dan disertasi Sutjipto Tjiptoatmodjo yang bertitel Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai medio abad XIX) (1983).
Merangkum dari kedua sumber di atas, disebut deretan bandar-bandar populer di daerah pesisir utara dan timur Jawa.
Di antaranya ialah Cheroboam (Cirebon), Locari (Losari), Tetegual (Tegal), Camaram (Semarang), Demaa (Demak), Japara (Jepara), Ramee (Rembang), Cedayo (Sedayu), Domon (Demung yang kelak disebut Besuki), Touban (Tuban), Agacij (Gresik), Curubaya (Surabaya), Gamda (Garuda), sebuah tempat dekat Passourouan (Pasuruan), Blambangan, Pajarucam (Pajarakan), dan Panarunca (Panarukan).
Babak kronologis Surabaya berikutnya sebagai kota dagang dirincikan dalam buku Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial Ekonomi di Sekitarnya Pada Abad XX (2016) oleh Sri Retna Astuti dkk.
Di buku ini, dijelaskan bahwa pascakeruntuhan Majapahit, wilayah Surabaya beralih menjadi bawahan Kerajaan Demak (1482-1554 M).
Kemudian, setelah Demak runtuh dan digantikan Pajang (1568-1587), wilayah Surabaya sempat menjadi kota pesisir yang relatif independen sebelum ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram Islam.
Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) menulis, Surabaya pada awal abad 17 adalah "negara kota" yang kuat dan kaya.
Dokumen VOC dari tahun 1620 M memuat gambaran Surabaya yang seluas kira-kira 37 km2 dikelilingi parit dengan pertahanan meriam.
Pengaruh penguasa Surabaya menjangkau Gresik, Sidayu, dan Mojokerto, sementara kapal-kapal dagangnya mencapai Malaka dan Maluku. Namun, independesi Surabaya itu rontok akibat serbuan pasukan Sultan Agung, raja ketiga dinasti Mataram Islam.
Butuh waktu 5 tahun bagi Sultan Agung untuk menundukkan Surabaya. Setelah pengepungan lima tahun selama 1620-1625, pasukan Sultan Agung bisa menguasai Surabaya yang melemah karena banyak penduduknya mati kelaparan dan terserang penyakit.
Kekuasaan Mataram Islam di Surabaya bertahan hingga kerajaan pedalaman itu berada di bawah pengaruh Vereenigde Oost indische Compagnie (VOC).
Penerus Mataram Islam, Raja Kasunanan Surakarta pertama, Pakubuwono II yang menjalin kerja sama dengan VOC menghibahkan wilayah Surabaya pada 1743.
Di dalam traktat hibah itu, Pakubuwono II menyatakan, Gubernur Jenderal VOC Baron van Imhoff berhak atas seluruh wilayah pantai utara Jawa dan Madura.
Hibah ini imbalan untuk VOC karena membantu Pakubuwono II naik takhta kembali setelah mengalahkan pesaingnya, Amangkurat V.
Sejarah Surabaya di Masa Kolonial
Kendati telah dikuasai VOC, eksistensi Surabaya sebagai kota dagang terus dan semakin berkibar. Memoar yang disusun oleh P.J. Veth yakni Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1882) menuturkan, Surabaya merupakan Gezaghebber in den Oosthoek. VOC menjadikan Kota Surabaya sebagai pusat kuasa pemerintahannya di Jawa bagian timur.
Ketika VOC bangkrut pada 1799, daerah bekas kekuasaannya diambil alih pemerintahan Hindia Belanda. Di bawah pemerintah Hindia Belanda, Surabaya tetap menjadi sentra dagang dan pusat pemerintahan kolonial di Jawa bagian timur.
Megaproyek pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (1808-1809) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels meramaikan lalu lintas dagang di Pantai Utara Jawa. Mobilitas barang yang semula hanya melewati jalur laut, bisa melalui darat.
Laporan penelitian Sugiarti dkk. dengan judul Pelacuran Pada Masa Kolonial di Pelabuhan Tanjoeng Perak Soerabaya (2004) menjelaskan, Daendels juga membangun fasilitas kolonial lainnya demi kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Ia merancang hunian modern bergaya Eropa. Di sisi lain, perancangan kota pertahanan digalakkan dengan konsep kota benteng Lodewijk, yang dilengkapi pabrik senjata, asrama, serta rumah sakit militer.
Dikutip dari G.H. von Faber, Oud Soerabaia (1931), pemerintah Hindia Belanda lantas membangun benteng Prins Hendrik di muara Kali Mas pada 1830-an. Benteng ini mengelilingi sebagian besar pusat kota Surabaya waktu itu.
Masih dalam lingkup benteng, di sekitar Jembatan Merah, berdiri megah pemukiman orang-orang Eropa. Di sebelah timur benteng, dibangun pemukiman bagi orang-orang Arab, Melayu, dan Cina. Sementara itu, kaum pribumi, menghuni daerah luaran benteng.
Pusat kota berada di sebelah barat benteng. Di sana berdiri deretan perkantoran dan fasilitas publik yang meliputi kantor residen, kantor pos, ruko, barak, bengkel, gereja, dan lain sebagainya.
Surabaya yang semula hanyalah kota dagang dan agraris bermetafora menjadi kota megalopolitan. Jelang akhir abad 19, menurut H.W. Dick dalam Surabaya, City of Work (2006), Surabaya bahkan lebih penting dibandingkan Batavia. Dikenal sebagai kota bandar gula terbesar ketiga dunia pada awal abad 20, Surabaya bisa disejajarkan dengan bandar internasional seperti Kalkuta, Singapura, Bangkok, dan Shanghai.
Tahun 1906, Surabaya ditasbihkan menjadi poros karesidenan di Jawa Timur. Sebagai karesidenan, ia membawahkan 6 kabupaten: Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, dan Lamongan.
Secara general, wilayah Surabaya terbagi menjadi tiga sublokasi. Menurut Septina Alrianingrum dalam "Kembang Jepun (Handelstraat) sebagai Pusat Ekonomi Etnis China di Surabaya Tahun 1906-1930" yang termuat di jurnal Avatara (2017), ketiga sublokasi tersebut terbagi lantaran bentangan Delta Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya.
Nasution lebih detail menjelaskan distrik-distrik di Surabaya semasa pemerintahan kolonial itu. Ia merangkumnya dalam buku Ekonomi Surabaya Pada Masa Kolonial 1830-1930 (2006).
Misalnya, di bagian timur delta, wilayah Surabaya meliputi distrik Jabakota, Kota, dan Semeni. Karakteristik wilayah ini terbilang subur, dengan mayoritas berisikan lahan garapan agrikultura. Hanya Semeni yang karakteristik wilayahnya berawa, tak begitu diminati. Penduduknya sedikit dan lahannya tak produktif.
Kemudian untuk wilayah tengah delta, distrik-distrik dinamai Jenggala. Terdapat wilayah Jenggala I, II, III, dan IV.
Lantaran berada di tengah delta, wilayah ini sangat subur, dengan jalur irigasi dari Kali Brantas yang memadai. Karena itu, penduduknya padat dan mayoritas bekerja sebagai petani atau pedagang.
Selanjutnya di sebelah utara delta, mayoritas distriknya merupakan wilayah gundukan bekas rawa. Sekira abad ke-19, usai dibangun batas-batas antara sungai dan daratan, tanah yang semula lahan rawa menjadi produktif. Area distriknya mencakup Rawapulo, sekitar 45 km dari Sungai Porong.
Sejarah Surabaya Masa Kemerdekaan Indonesia 1945
Jelang keruntuhan pemerintahan Hindia Belanda, kondisi Kota Surabaya mendadak kacau. Kondisi tersebut merupakan akibat dari Perang Pasifik, saat Jepang menyerbu wilayah kekuasaan Eropa di Asia. Salah satunya Indonesia yang kala itu masih dikuasai Belanda.
Pada 1942, Jepang berhasil memenangkan Perang Pasifik dan merevolusi seluruh potensi di Hindia Belanda.
Setelah mengambil alih tampuk kekuasaan di Hindia Belanda, Jepang melancarkan aksi propaganda anti-Barat. Dai Nippon sekaligus memobilisasi rakyat agar tunduk pada mereka serta mendukung upaya Jepang memenangkan Perang Dunia II.
Menurut kesaksian Hartoyik, menukil dari Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang oleh M. Jasin [2010], rakyat Surabaya yang menyambut gegap gempita kedatangan bala tentara Jepang, berbondong-bondong turun ke jalan demi melihat "Sang Pembebas" memasuki kota.
Memoar itu mengisahkan, tentara Jepang datang sembari mengendarai sepeda pendek dan membunyikan petasan, bukan tembakan sebagai simbol "kebebasan dan harapan" yang menjadi tajuk utama propaganda Dai Nippon.
Struktur pemerintahan kota lalu diubah. Jepang mengganti seluruh pejabat daerah dengan orang-orangnya dan pribumi.
Pengaruh Belanda dan Eropa dibumihanguskan. Usai menduduki Surabaya, Jepang menetapkan Takahashi Ichiro sebagai walikota (shi tyo) dan Radjamin Nasution sebagai wakil walikota (fuku shi tyo).
Keadaan segera berbalik tatkala Jepang kalah di Perang Dunia II melawan Sekutu. Para penggawa Indonesia memanfaatkan kesempatan tersebut. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dibacakan oleh Soekarno-Hatta.
Berita perihal proklamasi ini meluas dengan cepat. Namun, berbeda situasinya dengan Surabaya. Keterbatasan akses sumber berita dari pusat menjadi kendala. Radio dan media cetak sebagai media siar utama di kawasan Surabaya masih di bawah komando Jepang.
Pemberitaan proklamasi dari Jakarta akhirnya sampai ke Surabaya melalui markonis Suwardi dan Yakub. Mereka kemudian segera memberitahukannya kepada R.M. Bintarti dan Sutomo. Dua nama terakhir merupakan jurnalis yang getol menyiarkan propaganda kemerdekaan.
Melalui kedua jurnalis itu, warta kemerdekaan berhasil sampai ke redaksi Soeara Asia dan masif diedarkan pada 20 Agustus 1945. Berita kemerdekaan Republik Indonesia menjadi sampul utama dari surat kabar terbitan edisi tersebut.
Berita proklamasi kemerdekaan RI segera mendapat sambutan luas di kalangan rakyat Surabaya. Kebencian terhadap penjajah mendorong laskar-laskar pemuda aktif menyerbu sejumlah markas tentara Jepang.
Batara Richard Hutagalung dalam 10 November '45: Mengapa Inggris membom Surabaya? (2001) mencatat, pada September hingga awal Oktober 1945, ada 11 markas tentara Jepang diserbu oleh arek-arek Suroboyo. Puluhan ribu pucuk senjata senapan, revolver, meriam, beserta mortir hingga amunisinya berhasil mereka rampas.
Berbagai jenis senjata yang dirampas dari tentara Jepang menambah nyali rakyat Surabaya saat menantang pasukan Sekutu dalam pertempuran 10 November 1945.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Dhita Koesno