tirto.id - Hari Pahlawan merupakan peringatan tahunan di Indonesia untuk mengenang jasa para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan. Lantas, apa latar belakang Hari Pahlawan?
Hari Pahlawan diperingati mengenang peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Peristiwa tersebut terjadi tak lama usai proklamasi kemerdekaan Indonesia digelorakan pada 17 Agustus 1945.
Pertempuran Surabaya merupakan perang besar antara rakyat Indonesia dan serdadu Sekutu. Dengan jumlah pasukan dan pasokan persenjataan seadanya, pejuang RI berhasil menahan Belanda dan Inggris selama kurang lebih tiga pekan.
Dalam kurun itu, Kota Surabaya luluh lantak, puluhan ribu nyawa melayang, dan ratusan ribu penduduk Surabaya terpaksa meninggalkan kota. Namun, peristiwa tersebut mengajarkan suatu hal penting, yaitu semangat perjuangan bangsa Indonesia yang begitu besar dalam mempertahankan kemerdekaan.
Latar Belakang Pertempuran Surabaya
Latar belakang pertempuran Surabaya terjadi karena pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigjen A.W.S Mallaby tewas dalam suatu insiden di Gedung Internatio.
Awalnya, Mallaby mendarat di Surabaya bersama pasukannya untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang. Menurut Johan Silas, dalam Pasak Sejarah Indonesia Kekinian: Surabaya 10 Nopember 1945 (2018), Mallaby berlabuh di Tanjung Perak pada 25 Oktober 1945.
Ia datang dengan membawa sekitar 3.000-4.000 pasukan yang terdiri dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan dua batalion Indian Army (Maharatta dan Rajput). Ribuan pasukan ini ditugaskan melucuti pasukan Jepang, yang baru saja dinyatakan kalah dalam Perang Dunia 2.
Namun, tak seperti di Jakarta dan beberapa kota lainnya, tentara Inggris sama sekali tak disambut baik oleh masyarakat Surabaya. Mereka sudah ditandai sebagai ancaman oleh para tentara dan rakyat Surabaya.
Dugaan rakyat Surabaya itu ada benarnya. Pihak Sekutu beberapa kali mengkhianati perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, baik dengan Doel Arnowo maupun Ir. Soekarno. Alhasil, atasan Mallaby, Mayjen Douglas Hawthorn, tetap memerintahkan pasukannya menduduki Kota Surabaya.
Pada 27 Oktober 1945 pasukan Mallaby menyebarkan pamflet yang berisi provokasi: hanya Sekutu dan militer saja yang boleh membawa senjata. Rakyat yang memiliki senjata diwajibkan menyerahkannya kepada Sekutu dalam waktu 48 jam.
Dalam pamflet yang sama turut tertulis ancaman bahwa siapapun yang kedapatan membawa senjata setelah kurun tersebut akan ditembak.
Seruan tersebut jelas membuat arek-arek Suroboyo naik pitam. Hal inilah yang menjadi pencetus kontak senjata pertama antara masyarakat Surabaya dengan tentara Sekutu, yang berlangsung sejak 27 Oktober 1945 hingga empat hari kemudian.
Puncaknya adalah ketika Jenderal Mallaby terbunuh di dekat Jembatan Merah, Surabaya, sekitaran lapangan Gedung Internatio, pada 30 Oktober. Kejadian yang menewaskan sang jenderal terbilang misterius: ada yang bilang ia mati tertembak, tetapi ada pula yang mencatat kematiannya disebabkan ledakan granat dalam mobil yang tengah ditumpanginya.
Tewasnya Mallaby membuat militer Inggris geram. Mereka memutuskan melancarkan serangan balasan dengan bala tentara yang jauh lebih banyak.
Menurut catatan A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas jilid I (1989), kematian Mallaby membuat Inggris mendatangkan sekitar 30.000 prajurit Inggris-India untuk menduduki Surabaya.
Pengiriman puluhan ribu serdadu itu disertai penambahan amunisi senjata-senjata api, tank, meriam, dan petugas kesehatan. Posisi Mallaby sebagai pemimpin digantikan oleh Mayjen Robert Mansergh.
Pada 9 November 1945, Mansergh memberi ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk segera menyerahkan senjata paling lambat pukul 6 pagi, 10 November 1945. Ia juga memerintahkan anak-anak dan wanita meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 WIB. Sementara itu, orang-orang yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diharuskan menyerahkan diri.
Namun, lagi-lagi ultimatum tersebut tak diindahkan arek-arek Suroboyo. Hal itu ditegaskan oleh Gubernur Soerjo melalui siaran radio pukul 23.00 WIB.
Ia menolak ultimatum Inggris dan menyebut bahwa rakyat Surabaya akan melawan hingga titik darah penghabisan. Tibalah pada 10 November 1945 Bung Tomo menggelorakan semangat para pejuang melalui orasinya di Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Surabaya.
Dalam orasinya tersebut, Bung Tomo mengajak arek-arek Suroboyo dan seluruh masyarakat Indonesia untuk melawan tentara Sekutu. Selanjutnya terjadilah Pertempuran 10 November 1945 Surabaya.
Apa Saja Akibat Pertempuran Surabaya?
Kerusakan kota dan ribuan korban korban jiwa menjadi akibat Pertempuran Surabaya yang paling nahas. Bagaimana tidak, meskipun jumlah pejuang RI di Surabaya lebih banyak, tentara Sekutu jauh lebih terlatih dan bermodal persenjataan lengkap.
Para pejuang hanya memanfaatkan senjata rampasan perang Jepang yang jumlahnya terbatas. Sementara itu, sisanya menggunakan senjata tradisional seperti pisau, bambu runcing, dan sebagainya.
Menurut catatan David Wehl dalam Birth of Indonesia (1949), arek-arek Suroboyo bukan lagi berani, melainkan nekad. Dengan hanya bersenjatakan pisau belati, mereka berani menyerbu beberapa Tank Sherman yang berlapis baja.
Di sisi lain, NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan AFNEI terus membombardir Kota Surabaya dengan tembakan dan meriam. Selama kurang lebih tiga pekan, serangan terus muncul dari berbagai arah, jalur udara, darat, dan laut.
Mayat-mayat manusia dan hewan bergelimpangan di jalanan. Bangunan-bangunan hancur lebur. Jumlah korban yang berjatuhan tidak pasti. Namun yang jelas mayoritas korban jiwa berasal dari para pejuang Indonesia.
Menurut buku Pedoman Hari Pahlawan Tahun 2022 (2022), sekitar 20 ribu orang meregang nyawa dan 150 ribu lainnya harus pergi dari Kota Pahlawan. Di lain pihak, korban jiwa pihak Inggris ada sekitar 1.600 jiwa.
Jika dilihat dari persentase korban, pihak Inggris hanya kehilangan 1 persen dari keseluruhan anggota militernya. Sebaliknya, jumlah korban dari pihak Indonesia mencapai 5 persen. Namun, Indonesia memperoleh kemenangan mental.
Dengan kekuatan seadanya rakyat mampu menewaskan dua perwira tinggi setara jenderal dalam pertempuran tersebut, meskipun itu harus dibayar dengan gugurnya banyak pasukan.
Kerugian yang dirasakan pihak Inggris sekaligus berdampak buruk bagi Sekutu. Hingga akhirnya pada 1946 pasukan Inggris ditarik seluruhnya dari Surabaya dan digantikan dengan pasukan Belanda.
Keberanian arek-arek Suroboyo dalam melawan pasukan Sekutu juga membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia. Perlawanan rakyat Surabaya itu turut menyita perhatian dunia sehingga membuka jalan bagi Indonesia untuk menyatakan kedaulatannya.
Bahkan, menurut Moehkardi dalam Peran Surabaya dalam Revolusi Nasional 1945 (2020), keberanian rakyat Surabaya turut diakui oleh pihak Inggris. Begitu pula dengan David Wehl yang menyebut, "Tidak ada pertempuran yang dilancarkan oleh Republik yang dapat dibandingkan dengan Pertempuran Surabaya, baik dalam keberanian maupun dalam kegigihannya."
Siapakah Pahlawan Pertempuran di Surabaya?
Pertempuran Surabaya 10 November 1945 dikuduskan sebagai Hari Pahlawan, diperingati saban tahun. Peringatan itu bukan tanpa alasan. Hari Pahlawan diperingati mengenang peristiwa Pertempuran Surabaya, dan para pahlawan yang gugur mempertahankan tanah air.
Usulan terkait peringatan Hari Pahlawan itu dikemukakan oleh Soemarsono dalam rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) pada 4 Oktober 1946.
Di antara pahlawan-pahlawan yang gugur, beberapa mendapat gelar status sebagai Pahlawan Nasional. Lantas, siapa saja tokoh pahlawan 10 November? Berikut ini beberapa di antaranya:
1. Bung Tomo
Sutomo alias Bung Tomo merupakan salah satu tokoh Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang berperan penting. Ia berjasa dalam membakar semangat arek-arek Suroboyo melalui orasi heroiknya yang berkumandang selama perang.Bekerja sama dengan BPRI, Bung Tomo menyerukan semangat kepada rakyat Indonesia di Surabaya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang belum lama dicapai.
2. Gubernur Suryo
Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau biasa dikenal dengan Raden Soerjo merupakan gubernur pertama Jawa Timur yang menjabat di era penyerbuan pasukan Inggris. Ia berjasa dalam memberikan ketetapan hati serta tekad kepada rakyatnya untuk mengusir sekutu dari tanah Surabaya.Hal itu ia lakukan melalui orasi yang digaungkan melalui radio pada 9 November 1945, malam hari. Gubernur Suryo dengan tegas menolak ultimatum Inggris dan menyerukan kepada arek-arek Suroboyo untuk melawan pasukan Sekutu dan memperjuangan kemerdekaan Indonesia.
3. Mayjen Sungkono
Mayjen Sungkono merupakan salah satu tokoh militer dengan pengaruh besar di kalangan pemuda Surabaya. Berdasarkan autobiografi Bung Tomo Bung Tomo, dari 10 Nopember 1945 ke Orde Baru (1982), Mayjen Sungkono memimpin barisan pertahanan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Jawa Timur.Berkat keahliannya, Mayjen Sungkono berhasil mendeteksi jalur logistik. Hal ini membuat dapur umum yang memasok kebutuhan perut republikan bekerja dengan baik.
4. K.H. Hasyim Asy'ari
K.H. Hasyim Asy'ari merupakan tokoh ulama sekaligus salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Ia berjasa di Pertempuran 10 November dalam menggerakkan kaum santri untuk ikut berjuang mempertahankan NKRI.Fatwa yang ia keluarkan untuk menggerakkan para santri itu kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad. Seruan tersebut ditetapkan pada 22 Oktober 1945 seiring dengan situasi krisis keamanan Indonesia sejak proklamasi.
Peristiwa dicetuskannya Resolusi Jihad K.H. Hasyim Asy'ari kemudian diabadikan sebagai Hari Santri Nasional, diperingati setiap 22 Oktober.
5. H.R. Mohammad Mangoendiprodjo
H.R. Mohammad Mangoendiprodjo merupakan tokoh Pahlawan Nasional yang juga berjasa di Pertempuran Surabaya 10 November. Ia termasuk sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berperan penting dalam Pertempuran Surabaya.Ia bertugas sebagai penghubung antara Inggris dan Indonesia untuk mencegah Inggris melebarkan pengaruh di Surabaya.
Editor: Fadli Nasrudin