tirto.id - Kabar mengenai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sampai ke Surabaya pada tanggal 19 Agustus 1945. Setelah itu, rakyat Surabaya mulai berani mengibarkan bendera merah putih secara terang-terangan, tanpa meminta persetujuan dari tentara Jepang. Antusiasme rakyat Surabaya itu berkembang menjadi perlawanan terhadap aparat Dai Nippon.
Jauh hari sebelum bala tentara Sekutu datang dan pertempuran 10 November 1945 terjadi, laskar-laskar pemuda bersama anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Surabaya sudah kerap terlibat bentrok dengan pasukan Jepang.
Melalui bukunya, 10 November '45: Mengapa Inggris membom Surabaya? (2001), Batara Richard Hutagalung memaparkan, setidaknya ada 11 markas tentara Jepang di Surabaya diserbu selama September sampai awal Oktober 1945. Dari 11 markas itu, laskar pemuda merampas puluhan ribu senjata dari berbagai jenis, termasuk senapan, tank, meriam, hingga mortir dan amunisi.
Di tengah situasi panas itulah, tepatnya 19 September 1945, terjadi peristiwa heroik yang saat ini dikenal sebagai insiden Hotel Yamato (Hotel Oranje). Pada masa sekarang, hotel ini masih berdiri, meski sudah beralih nama menjadi Hotel Majapahit.
Insiden Hotel Yamato terjadi sekitar 1 bulan sebelum ribuan bala tentara sekutu mendarat di Kota Surabaya. Peristiwa ini berawal dari kedatangan sejumlah orang Belanda yang ditemani beberapa tentara Inggris dari RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees).
RAPWI merupakan organisasi militer bentukan Sekutu yang bertugas melakukan evakuasi tawanan Perang Dunia II di Asia Tenggara. Salah satu lokasi tugas RAPWI ialah Hindia Belanda (Indonesia).
Tiba di Surabaya pada 18 September 1945, rombongan di bawah pimpinan W.V.Ch Ploegman itu menginap di Hotel Yamato. Hari itu juga, atas perintah Ploegman, bendera Belanda (merah-putih-biru) dikibarkan di puncak salah satu menara hotel.
Pengibaran bendera triwarna yang mencolok mata segera memantik kemarahan banyak pemuda Surabaya. Mereka mengepung Hotel Yamato pada 19 September 1945.
Ploegman sebenarnya bukan orang baru di Surabaya. Dia sebelumnya jadi pengurus Indo Europese Verbond (IEV), organisasi yang beranggotakan orang-orang Indo-Belanda dan sejak lama memiliki loyalitas tinggi pada pemerintahan kolonial.
Mengutip buku karya Hario Kecik, Pemikiran Militer 1: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2009), sebelum Perang Dunia II, Ploegman yang merupakan seorang pengacara menempati posisi Ketua IEV Surabaya. Dia dan kelompoknya lalu membentuk organisasi Committee van Onvangst (Komite Penerimaan) untuk menyokong NICA (Netherland Indies Civil Administrastion), badan yang hendak memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia usai Jepang kalah pada 1945.
Saat ratusan pemuda dan rakyat Surabaya menggeruduk Hotel Yamato, negosiasi buat mendesak penurunan bendera Belanda sempat berlangsung. Negosiasi dengan Ploegman tersebut melibatkan Residen Surabaya Soedirman yang ditemani oleh dua pemuda bernama Sigit dan Haryono.
Tidak ada kesepakatan karena perundingan buntu. Bukan hanya buntu, negosiasi di Hotel Yamato ini berujung gelut. Ploegman yang mengacungkan pistol kepada Soedirman, disergap Sigit. Dalam pergumulan, Sigit menghabisi Ploegman. Sayangnya, ia pun roboh terkena lemparan pisau tentara Belanda. Ketika itu, Haryono sudah mengevakuasi Soedirman keluar hotel.
Ratusan pemuda yang menggeruduk Hotel Yamato kemudian bertambah beringas. Mereka segera memanjat menara hotel. Seorang pemuda merobek bagian bawah bendera Belanda. Usai tinggal berwarna merah-putih, bendera dikibarkan kembali.
Riwayat Hotel Yamato yang Kini Jadi Hotel Majapahit
Sebelum insiden pada 19 September 1945, Hotel Yamato telah lama berdiri di Surabaya. Hotel ini beroperasi sejak tahun 1911.
Pendiri atau pemilik pertama Hotel Yamato adalah Lucas Martin Sarkies. Mengutip dokumen di situs web resmi Hotel Majapahit, dalam tubuh Lucas mengalir darah Iran. Dia lahir di Teheran, Iran pada 1876. Sejak masih berusia 11 tahun, Lucas dibawa orang tuanya pindah ke Jawa Timur.
Ketika dewasa, Lucas menikah dengan sosialita asal Belgia, Charlotte Heyligers. Lucas meninggal dunia di Lawang, Malang tahun 1941. Sementara sang istri tewas dalam kamp tawanan Jepang di Jawa Tengah pada 1945.
Lucas lahir dari keluarga kaya raya. Ayahnya, Martin Sarkies adalah salah satu dari 4 pengusaha bersaudara yang sukses membikin jaringan bisnis hotel di Asia Tenggara sejak abad 19.
Dengan bendera Sarkies Brothers, keluarga pebinis Iran itu mengelola Eastern & Oriental Hotel di Penang (sejak 1880), Raffles Hotel di Singapura (1887), dan Hotel Strand di Burma (1901).
Melanjutkan bisnis keluarganya, Lucas Martin Sarkies memutuskan untuk membuka hotel di Kota Surabaya. Pada 1900, ia membeli lahan seluas 1000 meter persegi yang berada di Jalan Tunjungan guna membangun sebuah hotel mewah.
Lucas menggelontorkan duit sampai 500.000 gulden untuk biaya membangun hotel. Dalam urusan desain bangunan, dia menyewa jasa Alfred Bidwell. Nama terakhir adalah arsitek asal Inggris yang pernah membangun sejumlah hotel mewah di Singapura dan Malaysia. Salah satunya Raffles Hotel milik Sarkies Brothers.
Pembangunan hotel tuntas pada 1910. Tepat setahun kemudian, Lucas secara resmi membukanya dengan nama Hotel Oranje.
Memasuki tahun 1930, lobi Hotel Oranje dikembangkan dengan gaya Art Deco. Pengembangan ini diresmikan langsung oleh Putra Mahkota Leopold III dan Putri Astrid dari Belgia. Bintang dunia kala itu, Charlie Chaplin disebut-sebut turut hadir di Hotel Oranje.
Pada 1942, pasukan Kekaisaran Jepang mengambil alih Hotel Oranje dan menjadikannya sebagai markas pusat di Jawa Timur. Nama Hotel Oranje kemudian diganti menjadi Hotel Yamato.
Setelah insiden 19 September 1945, nama Hotel Yamato sempat berubah menjadi Hotel Merdeka. Namun, nama itu bertahan dalam waktu singkat.
Beberapa lama setelah pertempuran 10 Nevember 1945 berakhir, dan kondisi Kota Surabaya mulai pulih, aktivitas hotel hidup lagi. Pada 1946, keluarga Sarkies kembali ke Surabaya dan mengelola hotel tersebut.
Mereka menyematkan nama baru untuk hotelnya, yakni L.M.S. Hotel. Nama LMS buat mengenang Lucas Martin Sarkies yang sudah tutup usai 5 tahun sebelumnya.
Pada 1969, kepemilikan Hotel L.M.S. beralih ke tangan Manstrus Holdings Co. Mereka mengubah nama hotel tersebut menjadi Hotel Kerajaan Majapahit.
Akan tetapi pada tahun yang sama, kepemilikan hotel ini beralih ke perusahaan Mandarin Oriental Group yang berkongsi dengan Sekar Group. Pemilik baru merenovasi besar-besaran hotel tersebut dengan biaya 35 juta dolar AS dengan waktu 3 tahun pengerjaan.
Pada tahun 1996 silam, hotel ini mendapatkan penghargaan pelestarian arsitektur dan ditetapkan menjadi warisan nasional landmark Indonesia. Kala itu, hotel ini di bawah pengelolaan Mandarin Oriental Group .
Kemudian memasuki awal abad 21, tepatnya tahun 2006, CM Group mengambil alih kepemilikan hotel tersebut. CM Group mengalihkan nama hotel menjadi Hotel Majapahit.
Penulis: Mohamad Ichsanudin Adnan
Editor: Addi M Idhom