tirto.id - Sejarah Insiden Hotel Yamato menjadi latar belakang meletusnya Pertempuran Surabaya pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Lantas, bagaimana sejarah terjadinya insiden Hotel Yamato, kapan berlangsung, bagaimana kronologi dan siapa saja tokoh yang terlibat serta apa saja dampak yang ditimbulkan?
Tanggal 15 September 1945 atau hanya beberapa pekan setelah Indonesia merdeka, rombongan pasukan Sekutu tiba di Jakarta. Sebagian tentara asing dari Inggris dan Belanda itu kemudian ada yang ditugaskan ke Kota Surabaya. Kehadiran Sekutu memicu kontra dari arek-arek Surabaya, terutama kaum pemuda pejuang.
Dikutip dari buku Sepuluh November Empat Puluh Lima (2001) karya Batara Richard Hutagalung, pasukan Sekutu yang terdiri dari Inggris dan Belanda tersebut tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) atau Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran. Mereka memasuki Kota Surabaya tanggal 18 September 1945.
Tujuan RAPWI datang ke Indonesia, termasuk Jakarta dan Surabaya, adalah untuk mengurusi sisa-sisa prajurit Jepang, juga tentara Belanda yang ditawan, usai kekalahan Dai Nippon dalam Perang Asia Timur Raya yang menjadi rangkaian dari Perang Dunia II dan membuka peluang Indonesia untuk merdeka.
Kapan dan Penyebab Terjadinya Insiden Hotel Yamato
RAPWI yang dipimpin oleh W.V.Ch Ploegman memakai Hotel Yamato sebagai markas selama ditugaskan di Surabaya. Hotel ini dibangun sejak masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, tepatnya tahun 1910, demikian tulis Nadia H. Wright dalam Respected Citizens: The History of Armenians in Singapore and Malaysia (2003).
Hotel ini semula bernama Hotel Oranje. Namun, sejak Jepang mengambil-alih wilayah Indonesia dari Belanda pada 1942, nama hotal diganti menjadi Yamato. Hingga kini, hotel di Surabaya ini masih berdiri megah dengan nama Hotel Majapahit.
Insiden Hotel Yamato terjadi tanggal 19 September 1945, atau hanya sehari setelah orang-orang asing tersebut tiba di Surabaya. Penyebab terjadinya insiden adalah karena dinaikkannya bendera triwarna Belanda, merah-putih-biru, di atas hotel tersebut.
Kelakuan para serdadu Belanda itu tak pelak membuat geram arek-arek Surabaya. Indonesia sudah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno-Hatta. Mengibarkan bendera negara lain di wilayah negara merdeka tanpa izin tentunya bukan hal yang bisa diterima.
Kronologi Terjadinya Insiden Hotel Yamato
Pengibaran bendera Belanda di Hotel Yamato memantik murka arek-arek Surabaya dan kaum pejuang yang kemudian beramai-ramai mendatangi hotel tersebut pada 19 September 1945. Residen Surabaya Soedirman berusaha mencegah terjadinya konflik yang lebih luas dengan mencoba berunding dengan pihak Belanda.
Seperti dikutip dari buku Surabaya Bergolak (1990) yang ditulis R.S. Achmad, dengan ditemani dua pemuda Surabaya bernama Sidik dan Hariyono, Residen Soedirman membujuk pemimpin tentara Belanda di hotel itu, W.V.Ch Ploegman, untuk segera menurunkan bendera yang semalam dinaikkan.
Permintaan Residen Soedirman kepada Ploegman agar bendera Belanda diturunkan justru dijawab dengan ketus.
“Pasukan Sekutu telah memenangkan perang, dan karena Belanda adalah bagian dari Sekutu, maka sudah menjadi haknya mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Kami tidak tahu itu apa!” tukas Ploegman, dikutip dari buku Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan yang disusun Irna Hadi Soewito (1994).
Pernyataan Ploegman tersebut berarti Belanda memang tidak pernah menganggap kemerdekaan Indonesia dan ingin kembali menguasai bekas wilayah jajahannya itu. Pengibaran bendera triwarna di Hotel Yamato semakin menguatkan hal tersebut.
Ploegman meninggalkan ruangan. Residen Soedirman masih bertahan di lobi hotel bersama Sidik dan Hariyono yang tetap setia mengawalnya. Namun, tak lama berselang, Ploegman kembali dengan membawa sepucuk pistol. Perwira Belanda itu mengacungkan senjatanya dan mengancam Residen Soedirman.
Menyadari keadaan semakin gawat dan sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Sidik bertindak cepat dengan menerjang Ploegman dan berusaha merebut pistolnya. Pergumulan seru pun berlangsung.
Ketika Sidik bergulat dengan Ploegman, Hariyono dengan sigap mengamankan Residen Soedirman dan membawanya lari ke luar hotel. Beruntung, saat dan usai perundingan di lobi yang menemui jalan buntu itu, tidak banyak prajurit Belanda yang berada di ruangan.
Sidik yang masih berjibaku melawan Ploegman bisa menyingkirkan pistol lawannya itu. Dalam suatu kesempatan, ia berhasil mencekik leher Ploegman yang akhirnya tewas karena kehabisan nafas.
Malangnya, Sidik tidak sempat melarikan diri karena orang-orang Belanda lainnya keburu berdatangan ke lobi. Mereka segera mengeroyok Sidik. Arek Suroboyo pemberani itu pun masih melawan dengan mengambil sepeda yang ada di situ sebagai senjata untuk membela diri.
Situasi yang tak seimbang itu tentunya tidak menguntungkan bagi Sidik yang kian terdesak. Dengan menggunakan bangkai sepeda sebagai tameng terakhirnya, ia tidak mampu mengelak ketika seorang prajurit Belanda melemparkan belati. Sidik pun ambruk dengan pisau tertancap di badannya.
Akhir dan Dampak Insiden Hotel Yamato
Dituasi di luar hotel semakin riuh. Massa yang datang semakin banyak hingga ratusan orang. Melihat Residen Soedirman dan Hariyono berlari ke luar yang mengindikasikan bahwa perundingan tidak berjalan mulus, maka beberapa orang pemuda memutuskan naik ke atap hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Setelah lembaran kain triwarna dilepas dari tiangnya, para pemuda Surabaya itu ternyata lupa membawa bendera Indonesia sebagai penggantinya. Akhirnya, seorang pemuda merobek bagian bawah bendera Belanda yang berwarna biru sehingga kain itu tinggal menyisakan warna merah dan putih: bendera Republik Indonesia.
Kain itulah yang kemudian dinaikkan kembali di tiang yang sama. Meskipun compang-camping karena bekas sobekan, sang Merah-Putih akhirnya bisa berkibar di puncak Hotel Yamato. Pekik “merdeka” dari massa-pemuda yang mencermati dari bawah terdengar berulangkali mengiringi naiknya bendera berwarna merah dan putih hasil sobekan bendera Belanda.
Peristiwa penyobekan bendera di Hotel Yamato itu membuat Belanda marah. Dampaknya, rangkaian konflik pun terjadi sejak awal Oktober 1945 dan mencapai puncaknya tanggal 10 November 1945 atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Pertempuran Surabaya.
Pertempuran Surabaya menewaskan puluhan ribu orang dari kedua belah pihak. Peristiwa ini juga menjadi salah satu pertempuran terbesar setelah Indonesia merdeka. Oleh pemerintah Republik Indonesia, tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Arti Penting Peristiwa Hotel Yamato
Banyak sejarawan dan veteran pertempuran Surabaya sepakat bahwa perang revolusi Indonesia-Belanda (1945-1949) dimulai dengan peristiwa bentrokkan kecil tapi mematikan di Hotel Yamato di Jalan Tunjungan tersebut. Dalam Sejarah Indonesia Modern (2008:2008) sejarawan M. Ricklef bahkan menyebutkan, “Surabaya menjadi ajang pertempuran yang paling hebat selama revolusi, sehingga menjadi lambang perlawanan nasional.”
Oleh karenanya latar belakang peristiwa tersebut harus diceritakan secara mendetail agar fakta di baliknya dapat terurai secara jelas.
Pada 19 September 1945 pihak Belanda mengambil keputusan untuk mengibarkan bendera mereka di wilayah jajahan, sekaligus mengirim sinyal ke dunia luar bahwa mereka tidak mengakui berdirinya republik yang baru diproklamirkan.
Konflik pada 19 September tidak hanya mengakhiri tahap persiapan bagi para pejuang Indonesia, melainkan juga sebagai penanda apa yang oleh Sukarno disebut “tahap revolusi fisik.”
Beberapa minggu kemudian akan diketahui bahwa puluhan ribu nyawa akan melayang dan ratusan ribu lainnya mengungsi menyelamatkan diri setelah pecahnya dua pertempuran dahsyat di Surabaya. Pertempuran ini tidak hanya akan melibatkan pihak Indonesia dan Belanda saja, melainkan juga Sekutu yang diwakili oleh Inggris.
Deretan perang di Surabaya ini nantinya juga mengubah wajah sejarah Indonesia untuk selamanya. Dengan peristiwa pertempuran 10 November 1945nya, Surabaya menjadi contoh cerita heroisme kolosal tentang keberanian dan semangat patriotik.
Editor: Addi M Idhom
Penyelaras: Yulaika Ramadhani