tirto.id - Setiap tahun, melalui Monumen Lintas Laut di Gilimanuk, peristiwa Pertempuran Selat Bali selalu diperingati pada tanggal 5 April. Peristiwa ini adalah pertempuran laut antara pejuang Republik Indonesia pimpinan Kapten Markadi, melawan pasukan Belanda yang terjadi pada 5 April 1946 lalu.
Peristiwa ini tercatat sebagai pertempuran laut pertama yang dilakoni angkatan perang Indonesia, sejak proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Pertempuran tersebut berawal pada bulan Oktober 1945, saat pasukan Belanda (NICA) mendarat di Singaraja, Bali, dengan membonceng Sekutu. Gelombang kedatangan tentara NICA itu terus berlangsung selama beberapa tahap. Hingga 2 Maret 1946 terdapat sekitar 2.000 tentara Belanda yang mendarat.
Selama gelombang pendaratan ini, telah terjadi pergesekan antara pasukan Belanda dengan para penduduk lokal. Salah satunya, sebagaimana dicatat Tirtoprojo dalam Sejarah Revolusi Nasional Indonesia (1963), ketika pendaratan kapal Abraham Gryns pada tanggal 25 Oktober 1945, para awak yang membawa senjata merampok beberapa karung beras dan tepung milik penduduk.
Bahkan, di hari kedua dan ketiga, awak kapal tersebut merampas bendera merah putih yang ada di depan kantor Bea Cukai Pelabuhan Buleleng, dan selanjutnya mengganti dengan mengibarkan bendera Belanda. Ketegangan pun terus meningkat dan menyebar ke seluruh Bali.
Komandan Resimen Sunda Kecil, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang mengetahui informasi itu kemudian tersebut, kemudian langsung berkonsultasi ke Markas Besar Umum Tentara Republik Indonesia (TRI) di Yogyakarta. Atas seizin mabes, Resimen Sunda Kecil menyiapkan serangan ke Bali.
Awalnya, Ngurah Rai hanya meminta pengiriman senjata untuk penyerangan ke Bali yang sudah diduduki Belanda dan NICA. Namun, Resimen Sunda Kecil juga meminta pasukan tambahan.
Melansir laman Forum Kajian Pertahanan Maritim (FKPM), tercatat ada 3 rombongan yang datang ke Bali. Pertama, yakni rombongan Waroka yang mendarat di Celukan, Bali pada 4 April 1946.
Lalu disusul dua rombongan lagi sehari setelahnya; pasukan I Gusti Ngurah Rai di Yeh Kuning, dan rombongan Kapten Markadi yang bergerak dari Banyuwangi ke Candi Kusuma. Dengan pasukan pimpinan Kapten Markadi inilah, tentara Belanda melakukan kontak senjata, yang berujung pada peristiwa Pertempuran Selat Bali 5 April 1946.
Kronologi Pertempuran Selat Bali
Kapten Markadi, bersama “Pasukan M” bentukannya, bahkan belum sempat mendarat. Dalam buku berjudul Pasukan-M (2012), pengamat militer Iwan Santoso mencatat, menjelang dini hari tanggal 5 April 1946, 2 perahu Madura yang ditumpangi Pasukan M nyaris merapat ke Pantai Penginuman.
Namun, dari kejauhan sudah terlihat dua kapal Angkatan Laut Belanda jenis LCM (Landing Craft Mechanized) yang tengah berpatroli bergerak mendekat. Kapten Markadi dan Pasukan M berusaha menghindar, meski langkah itu sia-sia karena gerak dua kapal patroli Belanda itu lebih cepat.
Kapten Markadi lantas memerintahkan pasukannya untuk melepaskan seragam hitam-hitam yang dikenakan dan menyembunyikan senjata. Mereka berpura-pura mencari ikan agar dikira nelayan. Kendati demikian, ia tetap meminta seluruh pasukannya dalam posisi siap menembak.
Saat jarak perahu Kapten Markadi dan Kapal Belanda hanya 5 meter, terlihat dua tentara Belanda yang berada di LCM terdepan mengarahkan mitraliur watermantel. Dalam bahasa Belanda, mereka memberi perintah berhenti dan meminta awak di perahu untuk melempar tali.
Markadi yang mengerti bahasa Belanda langsung melemparkan tali seraya memberikan perintah menembak dan langsung menceburkan diri ke laut selat Bali. Pertempuran laut pertama dalam sejarah angkatan perang Indonesia pun kemudian terjadi.
Tentara Belanda membalas serangan Pasukan M. Beruntung, karena terlalu dekat dan posisi LCM lebih tinggi dari perahu Madura, senapan mesin berada dalam sudut mati dan tembakan prajurit Belanda hanya mengenai tiang layar.
Kapten Markadi dan pasukannya berada dalam posisi menyelam. Sementara pasukan Belanda terus mengalami kegagalan menembak target. Dalam proses kontak senjata itu, Kapten Markadi memerintahkan Pasukan M serempak melemparkan granat ke arah dua LCM Belanda.
Granat-granat pun meledak di atas kapal Belanda dan diperkirakan menewaskan empat awaknya. LCM lain langsung melarikan diri dengan keadaan terbakar di bagian dek dan lambung kapal.
Sambil mundur ke arah Gilimanuk, LCM itu terus menembak, tetapi tidak ada yang kena sasaran. Pada akhirnya diketahui, berdasarkan laporan Angkatan Laut Belanda, LCM tersebut dikabarkan kembali beroperasi setelah diperbaiki.
Pertempuran yang berlangsung kira-kira 15 menit itu adalah perang laut pertama yang dimenangi angkatan perang Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam pertempuran itu, korban dari Pasukan M yang gugur atas nama Sumeh Darsono dan Tamali yang mengalami luka tembak.
Profil Singkat Kapten Markadi
Kapten Markadi lahir pada 9 April 1927 dengan nama lengkap Markadi Pudji Rahardjo. Oleh karena Restrukturisasi dan Rasionalisasi (RERA) TNI 1948, Markadi yang semula pentolan Angkatan Laut mau tak mau menjadi Angkatan Darat.
Menjelang operasi ke Bali, Kapten Markadi sempat mendapatkan tugas membantu Resimen Sunda Kecil membentuk pasukan berkekuatan 4 seksi bernama 'Pasukan M'. Komposisinya, tiga seksi pasukan tempur dan satu seksi pasukan khusus yang diberi nama Combat Intelligence Section (CIS).
Pasukan M awalnya berlatih di Malang. Baru pada pertengahan Maret 1946, Markadi menggeser pasukannya ke Banyuwangi untuk bersiap menyeberang ke Bali.
Selain Pasukan Kapten Markadi, TRI juga mengirim Pasukan Kapten Albert Waroka. Dua pasukan inilah yang tercatat mengadakan operasi amfibi pertama TNI dengan melintasi Selat Bali dari titik keberangkatan di Banyuwangi.
Kapten Markadi wafat pada 21 Januari 2008, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Addi M Idhom