tirto.id - Pertempuran Surabaya yang berpuncak pada 10 November 1945 menjadi tonggak diperingatinya tanggal bersejarah tersebut sebagai Hari Pahlawan. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya, Jawa Timur, itu adalah Sutomo alias Bung Tomo.
Peran Bung Tomo dalam Pertempuran Surabaya yang paling tampak di permukaan adalah pembacaan pidato heroiknya melalui siaran radio selama perang. Suara Bung Tomo yang lantang dan menggelegar berhasil membakar semangat arek-arek Suroboyo ketika menghadapi perlawanan pasukan Sekutu/Inggris.
Barlan Setiadijaya dalam 10 November '45: Gelora Kepahlawanan Indonesia (1992) mengungkapkan, Bung Tomo menggunakan siaran radio sebagai media propaganda perjuangan. Melalui pemancar radio milik Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI) itulah Bung Tomo melantangkan pidato heroiknya.
Peran Bung Tomo dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945
Pasukan Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia 2, datang lagi ke Indonesia pada September 1945. Pasukan Sekutu yang diawaki oleh para tentara Inggris ini tergabung dalam Allied Force Netherlands East Indies (AFNEI).
Ternyata, kedatangan AFNEI diboncengi oleh pasukan Belanda dengan nama Nederlands Indische Civil Administration (NICA).
Bung Tomo dan para pemuda Surabaya lainnya merespons kehadiran orang-orang asing itu dengan mendirikan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) pada 12 Oktober 1945. BPRI melancarkan propaganda kepada rakyat Indonesia di Surabaya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan yang belum lama diproklamasikan.
Menurut Chairul Riza melalui Radio Pemberontakan dan Perannya dalam Revolusi Kemerdekaan di Surabaya 1945-1947 (2006), BPRI bahkan mampu mendirikan studio pemancar yang diberi nama Radio Pemberontakan.
Markas pusatnya bertempat di Jalan Mawar No. 10-12 Surabaya. Akan tetapi, lokasi pemancar selalu berpindah-pindah dan dirahasiakan agar tidak mengundang kecurigaan pihak Sekutu.
Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 merupakan puncak dari serangkaian polemik yang terjadi sebelumnya. Tewasnya Brigjen A.W.S. Mallaby, pemimpin pasukan Inggris di Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945, membuat kubu Sekutu murka.
Mayjen E.C. Mansergh, Kepala Divisi Infanteri ke-5 Inggris yang menggantikan Mallaby, melayangkan ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk menyerah tanpa syarat. Para pemuda Surabaya jelas menolak. Bung Tomo dengan segala upaya menyerukan kepada arek-arek Suroboyo di mana pun mereka berada untuk pulang ke kota kelahiran.
Bung Tomo, melalui siaran radio, tak henti-hentinya menyerukan pesan kepada para pejuang untuk terus bergelora memperjuangkan kemerdekaan. Dikutip dari buku Pekik Takbir Bung Tomo (2020) oleh Fery Taufiq, propaganda perjuangan Bung Tomo menjadi santapan sehari-hari para pemuda.
Hingga akhirnya, pecahlah pertempuran di Kota Surabaya pada 10 November 1945. Para pemuda berjuang tanpa rasa takut dengan semangat yang dikobarkan Bung Tomo melalui orasinya.
Kendati kemudian Indonesia kalah, rakyat Surabaya sempat menahan pasukan Inggris selama beberapa pekan. Dengan persenjataan seadanya dan pasukan minim pengalaman, hal itu bisa dihargai sebagai prestasi tersendiri.
Keberhasilan ini menjadi salah satu titik penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Maka dari itu, tanggal 10 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Surabaya pun mendapat julukan sebagai Kota Pahlawan.
Di sisi lain, berkat peran Bung Tomo dalam Pertempuran Surabaya, ia mendapatkan pangkat militer Jenderal Mayor dan berkedudukan di Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Setelah Indonesia benar-benar menjadi negara yang berdaulat, terutama sejak pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada akhir 1949, Bung Tomo mulai menjalankan peran selanjutnya dalam pemerintahan.
Bung Tomo pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata (Veteran) pada 1955-1956, semasa Kabinet Burhanuddin Harahap. Ia juga terjun ke politik bersama Partai Rakyat Indonesia, memenangkan pemilu legislatif, kemudian menjadi anggota DPR periode 1955-1959.
Pada 7 Oktober 1981, Bung Tomo wafat di Padang Arafah saat menunaikan ibadah haji di Arab Saudi. Tak lama setelah kematiannya, jenazah Bung Tomo dipulangkan ke Indonesia, kemudian dikebumikan di TPU Ngagel Surabaya, bukan di taman makam pahlawan. Itu dilakukan atas wasiat Bung Tomo sendiri sebelum wafat.
Biografi Bung Tomo 10 November
Sebagai sosok yang berperan penting dalam Pertempuran Surabaya, terutama melalui orasinya yang ikonik, Bung Tomo cukup kondang. Biografi Bung Tomo pun bertebaran di media massa dan buku-buku sejarah.
Sutomo lahir di Kampung Blauran, Surabaya, Jawa Timur, tanggal 3 Oktober 1920 dari pasangan Kartawan Tjiptowidjojo dan Subastita.
Sutomo mengenyam pendidikan menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Surabaya yang merupakan sekolah menengah pertama pada masa Hindia Belanda. Pada 1932, Sutomo terpaksa putus sekolah akibat Depresi Besar yang melanda dunia kala itu.
Lahir dan dibesarkan di Surabaya membuat Bung Tomo berkarakter pemberani dan berotak tajam. Itulah alasan Bung Tomo piawai dalam melantangkan pidato.
Kepiawaiannya dalam berpidato tidak lepas dari napak tilas pendidikannya semasa muda. Dalam catatan William H. Frederick bertajuk "In Memoriam: Sutomo" yang terhimpun dalam jurnal Indonesia (1982), Bung Tomo pernah mengikuti organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) dan meraih predikat Scout Eagle pada 1937.
Organisasi itulah yang melatih kecakapan Bung Tomo dalam berpidato. Menginjak usia muda, Bung Tomo menjadi jurnalis. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989) menuturkan bahwa Bung Tomo telah menjadi redaktur mingguan Pembela Rakjat sejak 1938. Di tahun yang sama, Bung Tomo bahkan menjadi Pemimpin Redaksi Antara, beberapa waktu setelah mendirikan biro di Surabaya.
Kiprah Bung Tomo di ranah media berlanjut pada masa pendudukan Jepang. Ia bergabung dengan Kantor Berita Domei, media yang dikelola oleh pemerintah militer Jepang) di Surabaya, pada 1942 hingga 1945. Bung Tomo menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi.
Pada 1944, Bung Tomo juga terlibat dalam Gerakan Rakyat Baru, sebuah gerakan laskar rakyat yang disponsori oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia.
Tokoh Pertempuran Surabaya
Selain Bung Tomo, ada ribuan rakyat Surabaya yang berperan penting dalam perang melawan Sekutu. Berikut ini tokoh Pertempuran Surabaya yang paling terkenal:
- Bung Tomo
- KH Hasyim Asy'ari
- Mayjen Sungkono
- Doel Arnowo
- Gubernur Soerjo
- K'Tut Tantri (Muriel Stuart Walker)
- Soemarsono
- Mohammad Mangoendiprodjo
- Abdul Wahab Saleh
- Soegiarto
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Fadli Nasrudin