tirto.id - Pertempuran Surabaya menjadi latar belakang Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November. Perang melawan Sekutu kala itu merupakan pertempuran pertama Indonesia setelah mengumumkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Latar belakang Pertempuran Surabaya berkaitan dengan kedatangan Sekutu ke Indonesia setelah mereka memenangkan Perang Dunia 2 atas Jepang. Mereka mendarat di Nusantara dengan membawa pasukan bernama Allied Force Holland East Indies (AFNEI).
Sekutu yang berada di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby tiba di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Pergolakan besar di Surabaya mulai terjadi saat Sekutu menyebarkan pamflet berisi ultimatum agar rakyat angkat tangan dan menyerahkan senjatanya.
Terhitung sejak perintah itu dikeluarkan pada 27 Oktober, terjadilah pertempuran selama tiga hari. Bahkan, pertempuran tersebut menewaskan Jenderal Mallaby di sekitar Jembatan Merah Surabaya yang kemudian memantik amarah pasukan Sekutu. Itulah yang menjadi cikal bakal perang besar pada 10 November 1945.
Apa yang Terjadi Saat Pertempuran Surabaya?
Kematian Jenderal Mallaby membuat Inggris gaduh dan meminta pertanggungjawaban Soekarno. Mereka mengeluarkan ultimatum untuk kedua kalinya. Kali ini, Sekutu memerintahkan rakyat menyerahkan senjatanya paling lambat pada 10 November 1945 sebelum pukul 06.00 pagi. Bila masyarakat melawan, mereka mengancam akan membombardir seisi kota.
Catatan Vilomena Theorina dalam skripsi berjudul Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (2007) menjelaskan, ultimatum tersebut tidak membuat gentar arek-arek Surabaya, ditambah dengan adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada ulama NU.
Ultimatum tersebut pun tak diindahkan oleh rakyat Surabaya. Gubernur Suryo melalui pidatonya berseru agar seluruh rakyat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan berjuang melawan Sekutu.
Suasana pun memanas karena masing-masing pihak dalam keadaan siap tempur. Lantas, apa yang terjadi pada saat pertempuran Surabaya?
Barlan Setiadijaya dalam buku 10 November 1945 Gelora Kepahlawanan Indonesia (1992) menuliskan, pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, kapal-kapal perang The 5th Cruiser Squadron berlabuh di Surabaya. Kapal perang yang dipimpin Laksamana Muda W.R. Patterson itu lantas menembakkan meriamnya ke tengah Kota Surabaya.
Pihak Sekutu dengan kekuatan 15 ribu pasukan yang dibekali dengan persenjataan lengkap dan modern berhadapan dengan 18 ribu pemuda bersenjata seadanya. Serangan bertubi-tubi dari laut maupun udara membombardir pertahanan yang dibangun arek-arek Suroboyo.
Tentara Sekutu telah seharian bertempur. Kemudian, dalam keadaan penat, mereka membuat pertahanan di sekeliling tempat yang berhasil diduduki untuk beristirahat dan melanjutkan serangan esok hari.
Ketika serdadu Sekutu beristirahat dan lengah, pejuang RI di Surabaya menyerang dari berbagai titik. Serangan itulah yang kemudian memakan banyak korban dari pihak Sekutu hingga membuat mereka mundur dari tempat yang diduduki sebelumnya. Kegigihan arek-arek Surabaya pun membuahkan hasil kemenangan di hari pertama. Lalu, bagaimana akhir kisah pertempuran Surabaya?
Bagaimana Akhir dari Pertempuran di Surabaya?
Menanggapi serangan tiba-tiba dari arek-arek Suroboyo, pihak Sekutu pun tidak tinggal diam. Asmandi mencatat dalam buku Pelajar Pejuang (1985), pasukan Inggris dan Belanda terpacu amarahnya. Armada mereka pun ditingkatkan kekuatannya. Salah satunya dengan mendatangkan tank dan persenjataan lain.
Meski terdesak dan kalah dalam segi persenjataan, pemuda Surabaya tetap melawan. Para pejuang Indonesia bukan tentara terlatih. Mereka adalah para pemuda yang terpanggil untuk ikut berjuang dengan bekal senjata bambu runcing, pisau belati, dan senjata api hasil merampas dari pihak Jepang.
Pertempuran sengit pun terus berlangsung dengan keunggulan persenjataan dari pihak Sekutu. Pada minggu ketiga pertempuran, Sekutu berhasil menguasai 4/5 dari Kota Surabaya. Sementara itu, saat sudah benar-benar terdesak, kekuatan tempur Indonesia mundur ke wilayah-wilayah sekitar Surabaya.
Meski kekuatan tempur Indonesia telah mundur, kondisi keamanan di Surabaya tak benar-benar bisa dikendalikan oleh Sekutu. Para penembak runduk atau sniper dari pihak Indonesia masih menempati gedung-gedung tersembunyi. Mereka bertugas mengganggu pergerakan pasukan Sekutu saat memasuki kota.
Selain itu, penyelundupan para pejuang ke Surabaya pun masih berlangsung secara diam-diam. Masih dijalankan pula aksi gerilya kota secara sendiri tanpa koordinasi dengan pasukan Indonesia lainnya.
Catatan sejarah dari pihak Inggris, Pertempuran Surabaya disebut sebagai pengalaman tempur terberat setelah Perang Dunia II, sebagaimana dilansir Jurnal Inovasi Penelitian Vol. 2 No. 7 (Desember 2021). New York Times edisi 15 November 1945 memberitakan, serdadu Inggris menjuluki Pertempuran Surabaya atau The Battle of Soerabaja sebagai inferno atau neraka di timur Jawa.
Heroisme pertempuran Surabaya pun berpengaruh besar terhadap perjuangan daerah-daerah lain di Indonesia. Di beberapa titik wilayah Jawa lainnya, tentara Inggris harus menghadapi perlawanan-perlawanan yang tak kalah sengit dibanding Pertempuran Surabaya.
Dalam buku The Fighting Cock, Being the Story of the 23rd Indian Division 1942-1947 karya Letnan Kolonel A.F.J. Doulton dijelaskan, tentara Inggris yang telah kelelahan sekaligus kewalahan akhirnya mencari jalan keluar.
Dituliskan pada 15 November 1946, Lord Killearn, Komisioner Istimewa di Asia Tenggara periode 1946-1948 yang pernah ditugaskan oleh pemerintah Inggris untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia, menulis di buku hariannya bahwa membiarkan tentara Inggris lebih lama di Indonesia merupakan tindakan bunuh diri.
Meski pasukan Inggris akhirnya mundur, dalam akhir perang Surabaya, Indonesia tetap mengalami kekalahan telak. Lalu kapan berakhirnya pertempuran Surabaya?
Sejak pecah pada 10 November 1945, tentara Sekutu baru menghentikan bombardirnya pada Minggu, 2 Desember 1945. Pertempuran Surabaya memakan korban hingga puluhan ribu jiwa dan membuat seisi kota hancur lebur.
Dalam buku A History of Modern Indonesia (1993), M.C. Ricklefs mencatat bahwa peristiwa perang Surabaya menewaskan sekitar 6.000 hingga 16 ribu orang dari pihak Indonesia. Sementara itu, pasukan Sekutu yang tewas berkisar 600 hingga 2.000 orang.
Berdasarkan catatan Stanley Woodburn Kirby dalam buku The War Against Japan (1965), akibat dari pertempuran Surabaya, sekitar 200.000 rakyat sipil harus mengungsi ke daerah-daerah yang lebih aman.
Satu tahun setelah peristiwa berdarah Surabaya, tepatnya pada 10 November 1946, Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Hingga kini Hari Pahlawan terus diperingati untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Editor: Fadli Nasrudin